Hadiah Ramadhan

Table of Contents

Anisa tetap duduk diam di depan pusara bunda tercinta. Tersadar akan sentuhan sebuah tangan, dia merasakannya memegang pundaknya. "Sudah sore, kita pulang, Nis," ajak wanita separuh baya yang berdiri di sampingnya. Tanpa berkata apa pun, Anisa bangkit dan mengusap papan nisan yang tertulis sebuah nama, Eti Sunarsih. Keduanya melangkah meninggalkan area pemakaman.

 

Sampai di rumah, Anisa bergegas membersihkan diri, merapikan segala keperluan untuk dia bawa nanti malam, pergi ke Jakarta. Tak banyak yang bisa dia bawa untuk kepindahannya kali ini. Selembar foto terus dipandanginya. "Semoga aku bisa mewujudkan permintaan Ibu," gumam Nisa dalam hati sambil terus merapikan barang apa yang ingin dia bawa. Wanita yang baru saja mengalami problematika percintaan ini telah memutuskan untuk pindah ke Jakarta, menerima tawaran Tante Pipin untuk bekerja di mini market.

 

Galang, laki-laki yang telah 9 tahun membina hubungan dengan Nisa, berhasil menyimpan rahasia hubungan dekat dengan tetangga sebelah rumah Nisa secara tersembunyi hingga keduanya menikah tanpa Nisa ketahui. Sempurna sekali jalinan perselingkuhan menyakitkan itu, dan inilah alasan mengapa Anisa memutuskan untuk pergi ke Jakarta, selain menjalankan amanat dari almarhum ibunya.

 

Pukul 19.45, gadis berusia 21 tahun ini telah sampai di Stasiun Tugu Yogyakarta, sedangkan kereta Taksaka Malam yang akan membawa dirinya ke Jakarta baru berangkat pukul 21.35. Nisa turun dari mobil Pakde Ratno yang mengantarnya ke stasiun, dan setelah berpamitan, Nisa melangkah ke peron stasiun. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara memanggil namanya. "Nisa, tunggu!" Nisa menoleh, diam menelan ludah, tak menduga suara itu adalah Galang. Ingin rasanya Nisa lari sekencang-kencangnya, namun entah mengapa kakinya seperti terbebani berton-ton batu. Galang berdiri tepat di hadapannya, memandang dirinya dalam tatapan penuh arti. "Ada apa?" Nisa berkata dengan sedikit memalingkan wajahnya, seakan dia tak ingin lebih lama lagi bertemu dengan laki-laki penghianat ini. "Aku hanya ingin memberi ini padamu," jawab Galang sambil mengeluarkan sebuah kotak berwarna kuning dari dalam saku celananya. Galang menyerahkannya pada Nisa. "Itu aku beli dan ku persiapkan untuk melamar kamu," tegas Galang mantap dengan terus memandang mantan kekasihnya lekat. Lantas, dia juga menjelaskan bahwa itu adalah untuknya yang telah dipersiapkan, uang untuk membelinya pun Galang menabung sedikit demi sedikit sejak awal perkenalan mereka. Nisa menerima dengan setengah hati; ini dia jelaskan dari raut mukanya yang masam. Dengan sedikit malas, dia membuka kotak tersebut. Ternyata, cincin cantik berhias namanya serta gelang tangan dan seuntai kalung emas. "Maksudnya apa?" Nisa bertanya sambil menutup kembali kotak tersebut. Galang menarik napas dan patah-patah dia menjelaskan. "Sebelum Pak Lukman meminta aku menikahi Septi, sebenarnya aku ingin melamarmu. Namun, paksaan Pak Lukman dan bujukan Septi, aku tak kuasa menolak, apalagi almarhum Bapakku ternyata berhutang pada Pak Lukman." Galang diam sejenak, sekali lagi menarik napas panjang. "Aku tidak mencintai Septi. Pernikahan ini karena Pak Lukman mengancam dengan hutang Bapak yang jumlahnya bertambah terus dari bunga pinjaman." "Aku sudah mencoba berjanji membayarnya, namun Septi merengek untuk menikah dengannya dan urusan hutang pihutang lunas selesai bila aku mau menikah dengan dia." Nisa hanya diam, membuang pandangannya. Galang melanjutkan perkataannya. "Maafkan aku, Nisa. Aku bodoh, tak bisa melawan keadaan ini, terlebih lagi kamu sadarkan bahwa Septi selalu mengganggu hubungan kita dengan alasan dia lebih mencintai aku dan lebih layak untukku." Galang memejamkan mata, diam lagi-lagi menarik napas panjang. "Terimalah, Nisa. Anggap itu kenang-kenangan dari aku," sambungnya dalam tatapan penuh harap. Nisa tersenyum menggeleng, tanpa berkata apa pun, dia lantas mengulurkan tangan mengembalikan kotak itu pada Galang. "Aku tak mau. Simpan saja, kalau perlu kau buang saja. Aku tak mau menerima apa pun dari pecundang seperti mu," Nisa berkata dengan suara pelan namun bernada sinis dan membalikan badan, melangkah sambil menarik kopernya, meninggalkan Galang.

 

Hari pertama Nisa bekerja dinikmati dengan berjuta rasa, namun dari segenap kekuatan yang telah dia kumpulkan, wanita pendiam ini berhasil melewati semua aktivitasnya. Hari-hari berlalu dengan peredaran yang tak mungkin dihentikan. Sebulan Nisa telah bekerja sebagai staf keuangan di mini market yang lumayan besar ini.

 

Di suatu sore, sepulang dari mini market, Nisa pergi ke toko buku. Gadis berbusana muslim sederhana berdiri di rak novel. Nisa memang hobi membaca, dan kali ini novel adalah bacaan yang dituju. Bola matanya menelusuri buku-buku yang berbaris rapi, mengoda untuk diambil. Tiba-tiba, suara itu terdengar dari seorang laki-laki yang berdiri tepat di samping Nisa. "Ini novel Islami, kisahnya mendidik, namun romansa percintaannya tak kalah menarik," laki-laki di sebelahnya memegang sebuah buku, seolah memberikan penjelasan pada Nisa tanpa memalingkan pandangannya yang tetap tertuju pada buku yang dipegangnya. "Atau ini kisah keluarga yang penuh konflik, namun cinta kasih sayang menyatukan keutuhan keluarga bahagia," dia mengambil satu buku lagi dan memberi komentar. Nisa diam mendengar, sesekali mencuri pandangan ke arah laki-laki di sebelahnya. "Ini kisah cinta segi tiga, namun tak satupun mendapat kebahagiaan. Sederhana, namun perjalanan konflik yang mengiris hati mampu membuat air mata menetes," sekali lagi sebuah buku dipegang dan komentar diberi. "Sori... Cuma rekomendasi aja," sambung laki-laki ini menoleh sejenak ke Nisa, lantas dia mengambil sebuah buku, namun kali ini dia diam membaca sendiri tulisan di cover belakang. Keduanya diam, tak ada pembicaraan apalagi perkenalan, dan laki-laki itu tak lama pergi tanpa berkata.

 

Ketika laki-laki itu melangkah meninggalkan tempatnya, Nisa menoleh dan menatap sejenak punggung laki-laki itu. "Aneh tuh orang," gumam Nisa, lantas kembali dia terlena pada barisan novel di hadapannya.

 

Nisa sudah tak mempunyai uang cash untuk itu, dia harus pergi ke ATM. Selagi asyik dengan mesin ATM, suara itu terdengar lagi. "Kehabisan uang ya?" Kata-kata itu terucap dari seorang laki-laki yang berbaris di belakangnya. Nisa menoleh ke arah suara, dia tertegun, ternyata suara itu berasal dari laki-laki yang sama sewaktu Nisa bertemu di toko buku tiga hari yang lalu. Tersenyum, jawaban sederhana Nisa. "Alif," katanya sambil mengulurkan tangan. Nisa membalasnya hingga mereka saling berjabat tangan. "Anisa."

 

Nisa yang telah selesai bertransaksi di mesin ATM, dia segera melangkah pergi, namun Alif menahanya. "Tungguin aku dulu, Nisa," kata Alif yang melangkah maju ke depan mesin ATM. Entah mengapa Nisa menuruti permintaan Alif.

 

"Kita makan yuk," ajak Alif menatap Nisa penuh harap ketika dia telah selesai bertransaksi dengan mesin canggih itu. Nisa yang memang sedang lapar, serta entah magnet apa yang membuat dia hanya mengangguk tanda setuju, hingga keduanya melangkah menuju warung nasi padang di sebelah konter ATM.

 

Nisa berbaring di atas ranjang sambil membaca sebuah novel, namun sayang lembaran demi lembaran halaman buku hanya dibolak-balik, tidak Nisa baca satu kata pun, sedangkan pikirannya entah mengapa mengarah ke Alif. Selagi pikirannya melayang, ponselnya berdering. Nisa mengambil benda itu dan tertera nama Alif di layar monitor. Berdebar jantung Nisa, tangannya gemetar menekan tombol hijau. "Assalam mu'alaikum," Alif lebih dulu bersalam.

 

"Wa alaikum salam," gemetar Nisa menjawab pelan, bahkan nyaris tak terdengar. Hatinya masih bergemuruh, jantungnya berdegup kencang. Nisa meremas jemarinya, mengusap wajah, berusaha menenangkan hatinya.

 

"Lagi apa, Nis?" Alif membuka percakapan.

 

"Baca novel," singkat Nisa menjawab, berusaha berkata sewajarnya. Perlahan Nisa bisa menguasai diri, hatinya tidak canggung lagi, hingga terjadilah percakapan perlahan, kenyamanan dirasa keduanya.

 

Hubungan Nisa dan Alif bak sebuah dinamika tersendiri. Entah kekuatan apa yang membuat keduanya cepat merasakan kedekatan, seolah Nisa sudah mengenal Alif jauh sebelum mereka bertemu, begitu juga Alif, baginya Anisa bukanlah wanita baru dalam hidupnya. Perjalanan hubungan mereka nyaris sempurna. Ada misteri apakah yang telah menyatukan perasaan dua sejoli ini?

 

Alif tak ingin memendam perasaannya. Untuk itu, sore ini Alif menjemput Nisa dan mengajak makan di sebuah warung pecel ayam. Setiba di sana, Alif memilih duduk di tepi belakang, duduk berhadapan keduanya, dan langsung memesan menu yang mereka inginkan. Membuka obrolan, Alif menceritakan kisah masa kecilnya di kota lain. Nisa sempat terkejut, ternyata Alif tinggal satu kota dengannya. Alif bercerita sambil diselipkan lelucon ringan hingga keduanya asyik dalam kebersamaan sambil menyantap makanan yang dipesan. Selesai makan, Alif memberanikan diri mengungkapkan isi hatinya. "Nisa, aku ingin menjalin hubungan serius denganmu," Alif dengan tegas menyampaikan hasratnya.

 

"Aku tak ingin lebih lama kita berteman, untuk itu aku ingin mengenal keluarga mu dan mengajak kamu bertemu kedua orang tua ku," sambung Alif yang menatap Nisa penuh harap. Nisa diam tertunduk, laksana petir bergemuruh hatinya tercambuk mendengar ungkapan dari Alif. Alif meraih tangan Nisa dan mengenggamnya. "Aku serius, Nisa," katanya sambil lebih mempererat genggamanya.

 

"Aku bingung," jawab Nisa pelan. Nisa berusaha mengeluarkan tangannya dan kembali diam tertunduk.

 

"Ayah Ibu ku sudah meninggal, namun mereka adalah orang tua angkat ku, dan sebelum Ibu meninggal, aku diberi amanat," Nisa mencoba menjelaskan siapa dirinya hingga dia pindah ke kota ini.

 

"Kalau gitu, besok kamu aku kenalkan pada kedua orang tua ku," Alif berkata penuh semangat.

 

"Maaf, besok aku ngga bisa. Kan besok malam kita sudah memasuki bulan Ramadhan, makanya aku ingin tarawih pertama di masjid dekat kosan," jawab Nisa.

 

"Ya sudahlah, mungkin di lain hari aja ya," Alif berkata mencairkan perasaannya. Tak lama kemudian, mereka menyudahi kebersamaan. Alif mengantar Nisa ke rumah kosnya.

 

"Terimakasih ya, Lif," Nisa berkata setelah turun dari sepeda motor Alif. Alif tersenyum dan berkata, "Siap bidadari surgaku, jangan lupa ya," jawab Alif dalam nada gurauan.

 

"Lupa apa?" tanya Nisa sedikit tersipu dengan tatapan Alif yang sedikit mengoda.

 

"Apa aja boleh, asalkan hati mu selalu untuk ku," timpal Alif sambil mengucapkan salam dan pergi meninggalkan Nisa.

 

Di suatu sore, Alif sengaja mengajak Nisa datang ke rumah untuk diperkenalkan pada kedua orang tuanya dan dilanjutkan berbuka puasa bersama. Nisa ragu, sungkan, gugup menerima ajakan Alif pada awalnya, namun bujuk rayu Alif sangat meyakinkan, melunturkan rasa kekhawatiran Nisa.

 

Sepeda motor yang dinaiki Nisa dan Alif berhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana, mini malis bercat putih dengan pagar hitam.

 

"Kita sudah sampai," ucap Alif menengok ke arah Nisa.

 

Nisa turun dari motor, membuka helm, sementara Alif turun, melangkah membuka pagar rumah, kembali ke motor, dan menuntunnya dengan Nisa yang mengikuti di belakangnya.

 

Setiba di teras rumah, Ibu Alif telah berdiri menyambut. "Assalam mu'alaikum," Ibu Alif berkata, senyum manis terkembang dari wanita paruh baya yang memakai gamis coklat susu.

 

Nisa lebih dulu mendekati sang Ibu, mengulurkan tangan bersalaman, mencium punggung tangan Ibu Alif. "Wa alaikum salam, saya Anisa, Bu," ucap Nisa lembut.

 

Ibu Alif menerima salam Nisa, dia memeluk Nisa, mencium pipi kanan Nisa. Hati Nisa laksana dihujani kesejukan, damai sekali dia rasa, bahkan Nisa merasa kerinduan pada ibunya tiba-tiba memuncak. Nisa menyimpan rasa itu, berusaha bersikap wajar.

 

Ayah Alif datang bergabung menyambut. "Assalam mu'alaikum," laki-laki yang mengenakan kemeja batik bersalam.

 

Nisa menjawab salam. "Wa alaikum salam, Pak," Nisa meraih tangan Ayah Alif, mencium punggung tangan laki-laki di hadapannya.

 

Ayah Alif menepuk bahu Nisa, dan entah apalagi ini batin Nisa, dia merasakan sebuah kerinduan pada ayahnya.

 

Ibu menyeruh masuk. Ayah Alif lebih dulu membalikan badan, melangkah masuk ke ruang tamu, disusul Ibu yang menggandeng Nisa, sedangkan Alif yang telah selesai menutup pintu pagar, merapikan motor juga ikut masuk ke dalam rumah.

 

Di ruang tamu, obrolan hangat terjalin di antara mereka. Ayah Alif bertanya, "Kamu asli dari mana, Nisa?" "Yogyakarta, Pak," jawab Nisa singkat dan dilanjutkan percakapan lainnya. Tiba-tiba Nisa ingin ke toilet, panggilan alam untuk membuang kantung air kemihnya tak bisa ditahan. Sopan Nisa bertanya, "Maaf, Bu, saya izin boleh ke toilet?"

 

"Oh ya, silakan," Ibu menjawab, berdiri ingin mengantar Nisa.

 

"Ngga usah, Bu. Alif aja yang tunjukin, anter Nisa," Alif menimpali lebih dulu, berdiri. Ibu tersenyum, mengarahkan tatapan persetujuan. Alif melangkah lebih dahulu, mengikuti Nisa di belakangnya.

 

Keluar dari kamar kecil, Nisa berjalan melangkah, tiba-tiba matanya terfokus pada sebuah foto keluarga. Dalam hati dia membaca tulisan di pojok kanan bawah, "Yogyakarta 2020, Keluarga Adi Haryanto," Nisa bergumam. Kedatangan Alif membuyarkan kebingungannya. Dengan cepat Nisa berusaha menguasai diri. Alif tersenyum, seakan mengerti pada apa yang Nisa pikirkan.

 

"Itu foto keluarga kami," Alif menghampiri Nisa dan telah berdiri bersisian.

 

"Satu bangku sengaja dikosongkan karena aku memiliki saudara kembar, berharap suatu saat kami bisa berkumpul lagi," Alif menambahkan penjelasannya, sementara Nisa yang masih diam memandang foto keluarga itu tak berkedip. Batinya bergemuruh, dibenaknya keluar beribu pertanyaan.

 

"Apa maksudnya ini dan apakah..." gumamnya dalam hati. Lukisan wajah Nisa yang berubah setelah melihat foto itu jelas tertangkap Alif.

 

"Kamu kenapa, Nis?" tanya Alif menatap menyelidik raut muka Nisa. Nisa menarik napas panjang, menggeleng, menoleh ke Alif, lantas kembali mengarahkan pandangannya ke foto keluarga itu. Kali ini, bola mata Nisa menatap penuh arti pada sosok wanita yang duduk di tengah.

 

"Itu siapa?" Nisa bertanya tanpa membuang pandangan matanya.

 

"Itu Mbah Putri, tapi dia sudah meninggal setahun lalu," Alif menjawab. Alif merasa ada keanehan dari tatapan Nisa pada foto keluarganya. Nisa menunduk, membuang pertanyaan di hatinya sambil membuka tas yang menggantung di pundaknya. Sebuah foto dikeluarkanya dan diperlihatkan pada Alif.

 

Alif menerima dan penuh kebingungan dia bertanya. "Kok kamu punya foto Mbah Putri?" Alif memandang Nisa penuh arti.

 

Disaat itu, Ibu Alif masuk dan mendekati keduanya. Melihat Alif dan Nisa berdiri saling pandang, serta ada sebuah foto, Bu Intan (nama Ibu Alif) mendekati mereka.

 

"Ada apa, Mas?" tanya Bu Intan pada Alif sambil ekor matanya melihat foto di tangan Alif.

 

"Itu foto Uti... kok ada sama kamu?" Bu Intan berkata dengan keingintahuan.

 

Pelan Nisa yang menjawab. "Itu foto dari saya Bu. Almarhum Ibu saya yang memberi, dan Ibu berpesan sebelum dia meninggal agar saya mencari keluarga Pak Adi Haryanto," Nisa diam sesaat, kemudian melanjutkan penjelasannya. "Setelah bertemu, saya disuruh menyerahkan foto ini," Nisa diam, menahan debar jantungnya sambil jemari tangannya menggegam.

 

Bu Intan memandang Nisa tajam, penuh makna, namun secepat kilat wanita separuh baya ini merangkul Nisa, menangis mendekap tubuh Nisa sekuatnya.

 

Ayah Alif yang sedari tadi mendengar percakapan mereka dan telah berdiri di samping istrinya dengan sebelah tangan merangkul pundak Bu Intan. Dalam pelukan itu, terbata-bata dalam isakan Bu Intan sembari berkata, "Ya Allah, kamu kembali, Nak. Ini Ibu dan keluarga kamu sebenarnya." Nisa bingung, tak mengerti apa maksud sebenarnya. Dia mencoba menarik diri dari rangkulan Bu Intan, namun tangan Bu Intan sangat erat, seolah tak mau melepas. Nisa terpaksa gadis ini ikut merangkul balik Bu Intan.

 

Pak Adi akhirnya memaksa istrinya melepaskan rangkulan itu. Setelah mencerna permasalahan, Pak Adi perlahan mencairkan suasana. Dia membimbing istrinya duduk di sofa, diikuti Nisa dan Alif. Nisa duduk bersisian dengan Bu Intan yang masih terus menggenggam erat tangan Nisa, masih terisak kecil. Pak Adi memulai obrolan dengan bertanya, "Siapa nama Ibu mu, Nak?"

 

"Bu Eti," singkat Nisa menjawab.

 

"Darimana asal mu, maksud Bapak bisa kamu jelaskan lebih detil asal kamu," Pak Adi mempertegas pertanyaannya, menatap Nisa menyelidik.

 

"Bantul, Desa Kemiri, Pak," lagi-lagi Nisa berkata singkat, namun hatinya penuh debaran.

 

"Kapan tanggal lahir mu?" Pertanyaan selanjutnya Pak Adi ajukan.

 

"9 Februari, Pak," kali ini Nisa menjawab sambil menatap Pak Adi, seolah Nisa ingin balik bertanya apa maksud pertanyaan-pertanyaan yang Pak Adi beri.

 

Dari pertanyaan terakhir Pak Adi dan Nisa menjawab dengan jelas, sejenak ruangan itu sunyi. Keempat orang yang duduk diam dalam pertanyaan serta rasa di hati masing-masing.

 

Tarikan napas Pak Adi memulai perkataannya. "Kamu anak saya," tiga kata ini membuat Nisa dan Alif berpandangan dan secara bareng mereka menatap Pak Adi. Bu Intan yang sedari tadi masih menangis, bertambahlah jadi tangisan haru. Pak Adi pun tak kuasa menahan air matanya. Dalam isakan,  dia menjelaskan permasalahannya.

 

"Sewaktu Ibu melahirkan, sesuai prediksi dokter, bayi kembar satu laki-laki dan satunya perempuan sehat sempurna kami dapati. Entah apa permasalahannya, Ibu Surti, orang tua Bu Intan, memisahkan si kembar, dan entah mengapa saat itu saya dan Ibu tak kuasa menentang perintah Mbah Uti. Yang laki-laki kami asuh, kami beri nama Alif, dan itu adalah kamu, Mas," Pak Adi menoleh ke arah Alif, menatap penuh kasih sayang. Pak Alif diam sesaat, lantas melanjutkan kisahnya. "Sedangkan yang perempuan dititipkan pada mantan asisten rumah tangganya, Bu Eti, namun sebelumnya Ayah telah memberi nama Anisa." Kini Pak Adi menoleh ke arah Nisa, tersenyum. "Sejak itulah Bu Eti menjadi Ibu untukmu, Nisa." Pak Adi menarik napas, menghembuskan, memejamkan mata, menggeleng. "Mungkin itulah alasannya kenapa Bu Eti meminta Nisa mencari keluarga Pak Adi dengan dibekali foto Mbah Uti," lanjut Pak Adi.

 

Nisa mengadahkan kepalanya ke atas, menarik napas, dan mencoba untuk menerima kenyataan ini. Hati dan jiwanya terhantam batu besar dan menekan dirinya pada suatu kepahitan. Tak tahu apa yang harus dilakukan, apa yang mesti dikatakan. 'Diam', hanya itu yang dia lakukan, sementara Bu Intan sudah menarik tubuh Nisa ke dalam pelukannya lagi. Alif yang juga tak percaya pada peristiwa ini hanya diam, namun sesaat kemudian Alif berdiri dan duduk kembali mendekat di samping Nisa. Dia pun ikut merangkul Nisa dan seraya berkata, "Nisa, kamu adalah saudara kembarku." Nisa menatap Alif kosong, dia masih belum bisa terima kenyataan ini. "Apakah aku bermimpi?" batin Nisa berkata, namun akal sehatnya membisik, "Bukan, Nisa, ini adalah kenyataan, inilah keluarga kamu sesungguhnya." Berulang kali Nisa menarik napas, menghela, membolak-balik pandangannya ke Bu Intan, ke Alif, dan ke Pak Adi, sementara Bu Intan terus mempererat pelukan pada Nisa. Sedikit demi sedikit isakanya mulai tak terdengar, dan Alif terus menepuk bahu Nisa, sedangkan Pak Adi diam menyaksikan pemandangan haru keluarga kecilnya.

 

Pak Adi mengambil alih suasana, dia menghentikan keharuan ini dengan mengucap syukur pada Sang Ilahi. "Alhamdulillah. Terimakasih ya Allah, kini keluarga ku lengkap telah berkumpul dan telah Kau ijinkan putri kami kembali." Pak Adi menambahkan kembali rasa syukurnya dengan memberikan satu kata indah pada keluarganya. "Ini adalah hadiah Ramadhan terindah, dan di Idul Fitri kita bisa merayakan lengkap seluruh keluarga." Senyum bahagia lekat menghias wajah Pak Adi. Masih dalam ketidakpercayaan, Nisa hanya mampu melukiskan dalam senyuman. Di dalam hatinya terucap kata, "Alhamdulillah... terimakasih ya Allah. Telah Kau ijinkan aku bertemu dengan keluarga ku yang sebenarnya."

 

Kebahagian keluarga ini berlanjut dalam rasa syukur atas hadiah Ramadhan yang terindah dari Sang Maha Pencipta.

 

 


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

2 komentar

Yuk komennya, boleh banget kalau mau request atau yang lainnya. kami harapkan Masukan berupa kritikan dari kalian dengan bahasa yang membangun
Comment Author Avatar
Anonim
Jumat, 23 Agustus 2024 pukul 09.34.00 WIB Delete
Terharu Mbak, aku sampai menangis baca ceritanya
Comment Author Avatar
Anonim
Kamis, 07 November 2024 pukul 11.25.00 WIB Delete
Kok, Nisa nggak dilengkapi alamat yang harus dicari? Eh, itu ke kamar mandi kenapa bawa tas punggung segala? Oh, ya, menurutku ada beberapa kalimat yang kurang efektif.