Pertemuan yang tak diinginkan
Tepat
saat aku tiba di Terminal Pasar Minggu, angkutan gratis dari Pemda DKI Jakarta
itu hendak berangkat. Beruntung, masih ada tempat duduk tersisa untukku dan
putri semata wayangku. Kami langsung naik dan duduk di tempat yang kosong.
Keberuntungan kedua, Mentari, putriku, mendapat tempat favoritnya, yaitu di
pojok belakang. Aku duduk di sampingnya. Angkutan bernama JakLingko ini
langsung melaju membelah kemacetan di kawasan Pasar Minggu. Keberuntungan
ketiga, aku bisa naik JakLingko ber-AC. Kenyamanan di dalam mobil terasa dengan
pendingin yang lumayan sejuk, sehingga laju mobil yang sedikit tersendat tak
begitu menjadi masalah.
Entah
mengapa, Mentari yang memang sudah mengantuk, sekejap saja pulas bersandar di
pangkuanku. Ya, putriku yang masih berusia 10 tahun ini memang terlihat sangat
letih. Bagaimana tidak, seharian ini Mentari asyik bermain dengan Kalista,
temannya. Bahkan mereka sempat berjalan ke pasar tradisional untuk sekadar
jajan.
Laju
JakLingko akhirnya lancar setelah melewati kawasan Universitas Nasional, dan
tak ada satu pun penumpang yang turun atau naik. Barulah di halte Jati Padang,
JakLingko berhenti di tempat pemberhentian yang semestinya. Satu penumpang
turun, lalu naiklah dua orang penumpang baru. Salah satu penumpang duduk di
sampingku. Aku bersikap biasa saja karena bagiku siapapun penumpang itu tak
akan mengganggu, terlebih lagi Mentari sedang terlelap. JakLingko berjalan
lagi. Ketika pria di sampingku menoleh ke arahku dan aku pun mengarahkan muka
ke depan jalan, dia menegurku.
“Sarah?”
ucapnya sedikit ragu. Refleks, aku tersentak mendengar suara yang sangat aku
kenali.
“Erno?”
ucapku tertahan. Erno tersenyum.
“Apa
kabar, Rah?” tanyanya menatapku selidik. Aku tersenyum.
“Baik.”
Dia juga memperhatikan Mentari yang pulas.
“Ini
anak kamu?” tanyanya memperhatikan Mentari.
“Iya.”
Aku hanya menjawab singkat setiap pertanyaannya. Bagaimana tidak, aku sangat
terkejut bertemu Erno setelah hampir 25 tahun aku tak bertemu dengannya. Erno
adalah cinta pertamaku ketika kami masih remaja. Erno adalah kakak kelasku, dan
kami sempat menjalin hubungan tanpa status. Ya, itu karena kami dekat, tapi
Erno belum pernah mengungkapkan perasaannya padaku, padahal kedekatan kami
sangat akrab sekali seolah kami adalah pasangan kekasih. Ketika Erno meneruskan
kuliah di Yogyakarta pun, kami masih saling berkirim kabar meski lewat surat
menyurat. Ya, karena di masa itu ponsel masih belum secanggih sekarang, surat
menyurat atau kartu pos adalah jembatan hubungan jarak jauh aku dan Erno. Baru
ketika nyaris setahun Erno tak pernah membalas surat-suratku, aku mendengar
kabar bahwasanya Erno telah menikah di Yogya.
Hancur
luluh lantak perasaanku saat itu. Bagaimana tidak, Erno-lah cinta pertamaku,
dan Erno-lah idola pria pertama yang ada di hatiku, itu karena ayah telah
meninggal dunia saat aku berusia tiga tahun dan ibu tak lagi menikah. Ibu
membesarkan aku sendiri dengan membuka warung gado-gado di teras rumah.
Hari
ini, di dalam angkot dalam perjalanan pulang, kembali kisah itu terpampang
jelas, dan sosok yang selama ini menghantui pikiranku nyata berada di sisi
kananku. Aku diam membisu, berusaha mengatur emosiku dengan debaran jantung
yang seakan bisa kudengar detaknya.
“Kamu
tinggal di mana, Sarah?” tanya Erno memecah lamunanku. Aku menoleh sejenak.
“Di
Ciganjur,” masih dengan jawaban singkat aku menimpali setiap pertanyaan Erno.
“Kok
pulangnya berdua aja? Di mana suami kamu?” tanyanya kembali. Aku menelan ludah
menahan gejolak rasa di hatiku.
“Dia
naik motor.” Seolah tak bisa berkata lebih panjang, kalimat singkatlah yang
mampu keluar dari lisanku.
“Emang
kamu dari mana?” tanyanya lagi. Ya, memang Erno-lah yang banyak bertanya
daripada aku yang hanya diam mengatasi perasaanku.
“Dari
Cawang.”
“Oh,
ibu masih tinggal di sana?” Aku menggeleng.
“Ibu
udah tiga tahun yang lalu meninggal dunia.” Erno kaget menatapku penuh haru.
“Innalillahi
wa innalilahi rojiun,” ucapan duka dilontarkannya.
“Sakit
apa?”
“Kanker.”
Entah mengapa aku masih sulit berkata, hanya kalimat singkat setiap kali
kuberucap, dan aku juga tak bisa bertanya balik pada Erno.
Kembali
jalanan macet, laju JakLingko sedikit merayap. Suasana jalan yang ramai tak
mengobati kecamuk debaran hatiku. Tanganku mulai terasa dingin, dan detak
jantung ini mengapa ikut bertalu lebih kencang? Aku berusaha mengusirnya dengan
memalingkan wajah ke arah belakang, menikmati kemacetan meski ingin sekali aku
bertanya pada Erno dengan ribuan pertanyaan.
“Sarah?”
“Mas
Erno?”
Lagi-lagi
entah mengapa kami berucap dalam waktu yang bersamaan. Aku tersenyum kembali
membuang tatapan, dan Erno tertawa kecil.
“Kok
bisa bareng ya?”
“Ya
udah, Mas Erno aja dulu,” kataku mempersilahkan Erno. Erno menggeleng.
“Enggak
ah, kan wanita itu lebih diutamakan,” sedikit berbisik dia mengatakannya.
Tanganku yang terus mengusap kepala Mentari sejenak berhenti.
“Mas,
mau ke mana dan dari mana?” akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya. Erno
tersenyum.
“Aku
mau ke rumah teman di Tanah Baru, tadi dari rumah,” jawabnya.
“Sarah,
aku minta maaf ya, baru sekarang aku memohon maaf itu padamu,” lanjut Erno berbisik
ke telingaku berharap semua orang tak mendengarnya.
“Jujur,
selama aku mengenalmu itu aku hanya menganggapmu sebagai adikku, tak lebih dari
itu. Makanya, ketika aku menemukan wanita yang memang aku cari, aku pun
langsung meminangnya, dan sekarang aku sudah punya tiga orang anak dari wanita
itu,” ucapnya yang membuat jantungku seakan tersengat listrik tegangan tinggi.
Bagaimana tidak, mengapa baru sekarang dan di tempat seperti ini Erno
mengungkapkan kenyataan itu? Aku langsung menoleh ke kiri menyatukan tatapanku
pada hiruk pikuk keramaian jalan. Beruntung Mentari terbangun dan dia berkata,
“Bun,
aku pengen pipis.” Aku gelagapan menyadari permintaan putriku yang
menyadarkanku dari luka yang menusuk hatiku yang telah membeku.
“Yah,
Kak, nanggung, di sini kita susah turunnya, nanti ya, sabar, kita turun di Famili
aja,” ucapku membujuk Mentari.
“Ya,
udah deh aku tahan aja.” Aku tersenyum mengusap pahanya.
“Hebat
anak salehah Bunda, tapi Kakak jangan tidur lagi ya, nanggung sebentar lagi
kita turun,” pintaku dan Mentari mengangguk.
“Hai,
cantik,” Erno menyapa Mentari. Refleks, Mentari menoleh menatap Erno tak
mengerti.
“Ini
teman sekolah Bunda, Kak, namanya Om Erno, ayo salam,” jelasku memberikan
penjelasan siapa pria yang menegurnya.
“Hai,
Om,” Mentari berucap tersenyum.
“Siapa
nama kamu?” tanya Erno.
“Mentari,”
jawabnya singkat.
Keberuntungan
kembali datang padaku karena JakLingko hampir sampai di pemberhentian Famili di
kawasan Cilandak.
“Famili
ya, Pak,” ucapku pada sopir meminta berhenti, dan tepat di tempat pemberhentian
Famili aku pun turun. Sebelum turun, aku sempat mengatakan sesuatu pada Erno,
“Makasih
ya tuk kejujurannya, asal tahu aja, semua itu pasti ada balasannya. Kamu udah
memberikan harapan palsu, semoga anak perempuan kamu tidak mengalami apa yang
aku rasakan padamu.” Erno tercengang mendengar ucapanku. Ketika mobil berhenti,
aku pun beranjak turun bersama putriku.
Sungguh
pertemuan yang tak pernah diinginkan, itu yang kurasakan di sore ini. Semoga
ini pertama kalinya aku bertemu Erno dan takkan ada lagi pertemuan berikutnya.
Posting Komentar