Hadiah Ramadhan
Anisa
tetap duduk diam di depan pusara bunda tercinta. Tersadar akan sentuhan sebuah
tangan, dia merasakannya memegang pundaknya. "Sudah sore, kita pulang,
Nis," ajak wanita separuh baya yang berdiri di sampingnya. Tanpa berkata
apa pun, Anisa bangkit dan mengusap papan nisan yang tertulis sebuah nama, Eti
Sunarsih. Keduanya melangkah meninggalkan area pemakaman.
Sampai
di rumah, Anisa bergegas membersihkan diri, merapikan segala keperluan untuk
dia bawa nanti malam, pergi ke Jakarta. Tak banyak yang bisa dia bawa untuk
kepindahannya kali ini. Selembar foto terus dipandanginya. "Semoga aku
bisa mewujudkan permintaan Ibu," gumam Nisa dalam hati sambil terus
merapikan barang apa yang ingin dia bawa. Wanita yang baru saja mengalami
problematika percintaan ini telah memutuskan untuk pindah ke Jakarta, menerima
tawaran Tante Pipin untuk bekerja di mini market.
Galang,
laki-laki yang telah 9 tahun membina hubungan dengan Nisa, berhasil menyimpan
rahasia hubungan dekat dengan tetangga sebelah rumah Nisa secara tersembunyi
hingga keduanya menikah tanpa Nisa ketahui. Sempurna sekali jalinan
perselingkuhan menyakitkan itu, dan inilah alasan mengapa Anisa memutuskan
untuk pergi ke Jakarta, selain menjalankan amanat dari almarhum ibunya.
Pukul
19.45, gadis berusia 21 tahun ini telah sampai di Stasiun Tugu Yogyakarta,
sedangkan kereta Taksaka Malam yang akan membawa dirinya ke Jakarta baru
berangkat pukul 21.35. Nisa turun dari mobil Pakde Ratno yang mengantarnya ke
stasiun, dan setelah berpamitan, Nisa melangkah ke peron stasiun. Namun,
langkahnya terhenti ketika mendengar suara memanggil namanya. "Nisa,
tunggu!" Nisa menoleh, diam menelan ludah, tak menduga suara itu adalah
Galang. Ingin rasanya Nisa lari sekencang-kencangnya, namun entah mengapa
kakinya seperti terbebani berton-ton batu. Galang berdiri tepat di hadapannya,
memandang dirinya dalam tatapan penuh arti. "Ada apa?" Nisa berkata
dengan sedikit memalingkan wajahnya, seakan dia tak ingin lebih lama lagi
bertemu dengan laki-laki penghianat ini. "Aku hanya ingin memberi ini
padamu," jawab Galang sambil mengeluarkan sebuah kotak berwarna kuning
dari dalam saku celananya. Galang menyerahkannya pada Nisa. "Itu aku beli
dan ku persiapkan untuk melamar kamu," tegas Galang mantap dengan terus
memandang mantan kekasihnya lekat. Lantas, dia juga menjelaskan bahwa itu
adalah untuknya yang telah dipersiapkan, uang untuk membelinya pun Galang
menabung sedikit demi sedikit sejak awal perkenalan mereka. Nisa menerima
dengan setengah hati; ini dia jelaskan dari raut mukanya yang masam. Dengan
sedikit malas, dia membuka kotak tersebut. Ternyata, cincin cantik berhias
namanya serta gelang tangan dan seuntai kalung emas. "Maksudnya apa?"
Nisa bertanya sambil menutup kembali kotak tersebut. Galang menarik napas dan
patah-patah dia menjelaskan. "Sebelum Pak Lukman meminta aku menikahi
Septi, sebenarnya aku ingin melamarmu. Namun, paksaan Pak Lukman dan bujukan
Septi, aku tak kuasa menolak, apalagi almarhum Bapakku ternyata berhutang pada
Pak Lukman." Galang diam sejenak, sekali lagi menarik napas panjang.
"Aku tidak mencintai Septi. Pernikahan ini karena Pak Lukman mengancam
dengan hutang Bapak yang jumlahnya bertambah terus dari bunga pinjaman."
"Aku sudah mencoba berjanji membayarnya, namun Septi merengek untuk
menikah dengannya dan urusan hutang pihutang lunas selesai bila aku mau menikah
dengan dia." Nisa hanya diam, membuang pandangannya. Galang melanjutkan
perkataannya. "Maafkan aku, Nisa. Aku bodoh, tak bisa melawan keadaan ini,
terlebih lagi kamu sadarkan bahwa Septi selalu mengganggu hubungan kita dengan
alasan dia lebih mencintai aku dan lebih layak untukku." Galang memejamkan
mata, diam lagi-lagi menarik napas panjang. "Terimalah, Nisa. Anggap itu
kenang-kenangan dari aku," sambungnya dalam tatapan penuh harap. Nisa
tersenyum menggeleng, tanpa berkata apa pun, dia lantas mengulurkan tangan
mengembalikan kotak itu pada Galang. "Aku tak mau. Simpan saja, kalau
perlu kau buang saja. Aku tak mau menerima apa pun dari pecundang seperti
mu," Nisa berkata dengan suara pelan namun bernada sinis dan membalikan
badan, melangkah sambil menarik kopernya, meninggalkan Galang.
Hari
pertama Nisa bekerja dinikmati dengan berjuta rasa, namun dari segenap kekuatan
yang telah dia kumpulkan, wanita pendiam ini berhasil melewati semua
aktivitasnya. Hari-hari berlalu dengan peredaran yang tak mungkin dihentikan.
Sebulan Nisa telah bekerja sebagai staf keuangan di mini market yang lumayan
besar ini.
Di
suatu sore, sepulang dari mini market, Nisa pergi ke toko buku. Gadis berbusana
muslim sederhana berdiri di rak novel. Nisa memang hobi membaca, dan kali ini
novel adalah bacaan yang dituju. Bola matanya menelusuri buku-buku yang
berbaris rapi, mengoda untuk diambil. Tiba-tiba, suara itu terdengar dari
seorang laki-laki yang berdiri tepat di samping Nisa. "Ini novel Islami,
kisahnya mendidik, namun romansa percintaannya tak kalah menarik,"
laki-laki di sebelahnya memegang sebuah buku, seolah memberikan penjelasan pada
Nisa tanpa memalingkan pandangannya yang tetap tertuju pada buku yang
dipegangnya. "Atau ini kisah keluarga yang penuh konflik, namun cinta
kasih sayang menyatukan keutuhan keluarga bahagia," dia mengambil satu
buku lagi dan memberi komentar. Nisa diam mendengar, sesekali mencuri pandangan
ke arah laki-laki di sebelahnya. "Ini kisah cinta segi tiga, namun tak
satupun mendapat kebahagiaan. Sederhana, namun perjalanan konflik yang mengiris
hati mampu membuat air mata menetes," sekali lagi sebuah buku dipegang dan
komentar diberi. "Sori... Cuma rekomendasi aja," sambung laki-laki
ini menoleh sejenak ke Nisa, lantas dia mengambil sebuah buku, namun kali ini
dia diam membaca sendiri tulisan di cover belakang. Keduanya diam, tak ada
pembicaraan apalagi perkenalan, dan laki-laki itu tak lama pergi tanpa berkata.
Ketika
laki-laki itu melangkah meninggalkan tempatnya, Nisa menoleh dan menatap
sejenak punggung laki-laki itu. "Aneh tuh orang," gumam Nisa, lantas kembali
dia terlena pada barisan novel di hadapannya.
Nisa
sudah tak mempunyai uang cash untuk itu, dia harus pergi ke ATM. Selagi asyik
dengan mesin ATM, suara itu terdengar lagi. "Kehabisan uang ya?"
Kata-kata itu terucap dari seorang laki-laki yang berbaris di belakangnya. Nisa
menoleh ke arah suara, dia tertegun, ternyata suara itu berasal dari laki-laki
yang sama sewaktu Nisa bertemu di toko buku tiga hari yang lalu. Tersenyum,
jawaban sederhana Nisa. "Alif," katanya sambil mengulurkan tangan.
Nisa membalasnya hingga mereka saling berjabat tangan. "Anisa."
Nisa
yang telah selesai bertransaksi di mesin ATM, dia segera melangkah pergi, namun
Alif menahanya. "Tungguin aku dulu, Nisa," kata Alif yang melangkah
maju ke depan mesin ATM. Entah mengapa Nisa menuruti permintaan Alif.
"Kita
makan yuk," ajak Alif menatap Nisa penuh harap ketika dia telah selesai
bertransaksi dengan mesin canggih itu. Nisa yang memang sedang lapar, serta
entah magnet apa yang membuat dia hanya mengangguk tanda setuju, hingga keduanya
melangkah menuju warung nasi padang di sebelah konter ATM.
Nisa
berbaring di atas ranjang sambil membaca sebuah novel, namun sayang lembaran
demi lembaran halaman buku hanya dibolak-balik, tidak Nisa baca satu kata pun,
sedangkan pikirannya entah mengapa mengarah ke Alif. Selagi pikirannya
melayang, ponselnya berdering. Nisa mengambil benda itu dan tertera nama Alif
di layar monitor. Berdebar jantung Nisa, tangannya gemetar menekan tombol
hijau. "Assalam mu'alaikum," Alif lebih dulu bersalam.
"Wa
alaikum salam," gemetar Nisa menjawab pelan, bahkan nyaris tak terdengar.
Hatinya masih bergemuruh, jantungnya berdegup kencang. Nisa meremas jemarinya,
mengusap wajah, berusaha menenangkan hatinya.
"Lagi
apa, Nis?" Alif membuka percakapan.
"Baca
novel," singkat Nisa menjawab, berusaha berkata sewajarnya. Perlahan Nisa
bisa menguasai diri, hatinya tidak canggung lagi, hingga terjadilah percakapan
perlahan, kenyamanan dirasa keduanya.
Hubungan
Nisa dan Alif bak sebuah dinamika tersendiri. Entah kekuatan apa yang membuat
keduanya cepat merasakan kedekatan, seolah Nisa sudah mengenal Alif jauh
sebelum mereka bertemu, begitu juga Alif, baginya Anisa bukanlah wanita baru
dalam hidupnya. Perjalanan hubungan mereka nyaris sempurna. Ada misteri apakah
yang telah menyatukan perasaan dua sejoli ini?
Alif
tak ingin memendam perasaannya. Untuk itu, sore ini Alif menjemput Nisa dan
mengajak makan di sebuah warung pecel ayam. Setiba di sana, Alif memilih duduk
di tepi belakang, duduk berhadapan keduanya, dan langsung memesan menu yang
mereka inginkan. Membuka obrolan, Alif menceritakan kisah masa kecilnya di kota
lain. Nisa sempat terkejut, ternyata Alif tinggal satu kota dengannya. Alif
bercerita sambil diselipkan lelucon ringan hingga keduanya asyik dalam
kebersamaan sambil menyantap makanan yang dipesan. Selesai makan, Alif
memberanikan diri mengungkapkan isi hatinya. "Nisa, aku ingin menjalin
hubungan serius denganmu," Alif dengan tegas menyampaikan hasratnya.
"Aku
tak ingin lebih lama kita berteman, untuk itu aku ingin mengenal keluarga mu
dan mengajak kamu bertemu kedua orang tua ku," sambung Alif yang menatap
Nisa penuh harap. Nisa diam tertunduk, laksana petir bergemuruh hatinya
tercambuk mendengar ungkapan dari Alif. Alif meraih tangan Nisa dan
mengenggamnya. "Aku serius, Nisa," katanya sambil lebih mempererat
genggamanya.
"Aku
bingung," jawab Nisa pelan. Nisa berusaha mengeluarkan tangannya dan
kembali diam tertunduk.
"Ayah
Ibu ku sudah meninggal, namun mereka adalah orang tua angkat ku, dan sebelum
Ibu meninggal, aku diberi amanat," Nisa mencoba menjelaskan siapa dirinya
hingga dia pindah ke kota ini.
"Kalau
gitu, besok kamu aku kenalkan pada kedua orang tua ku," Alif berkata penuh
semangat.
"Maaf,
besok aku ngga bisa. Kan besok malam kita sudah memasuki bulan Ramadhan,
makanya aku ingin tarawih pertama di masjid dekat kosan," jawab Nisa.
"Ya
sudahlah, mungkin di lain hari aja ya," Alif berkata mencairkan
perasaannya. Tak lama kemudian, mereka menyudahi kebersamaan. Alif mengantar
Nisa ke rumah kosnya.
"Terimakasih
ya, Lif," Nisa berkata setelah turun dari sepeda motor Alif. Alif
tersenyum dan berkata, "Siap bidadari surgaku, jangan lupa ya," jawab
Alif dalam nada gurauan.
"Lupa
apa?" tanya Nisa sedikit tersipu dengan tatapan Alif yang sedikit mengoda.
"Apa
aja boleh, asalkan hati mu selalu untuk ku," timpal Alif sambil
mengucapkan salam dan pergi meninggalkan Nisa.
Di
suatu sore, Alif sengaja mengajak Nisa datang ke rumah untuk diperkenalkan pada
kedua orang tuanya dan dilanjutkan berbuka puasa bersama. Nisa ragu, sungkan,
gugup menerima ajakan Alif pada awalnya, namun bujuk rayu Alif sangat
meyakinkan, melunturkan rasa kekhawatiran Nisa.
Sepeda
motor yang dinaiki Nisa dan Alif berhenti tepat di depan sebuah rumah
sederhana, mini malis bercat putih dengan pagar hitam.
"Kita
sudah sampai," ucap Alif menengok ke arah Nisa.
Nisa
turun dari motor, membuka helm, sementara Alif turun, melangkah membuka pagar
rumah, kembali ke motor, dan menuntunnya dengan Nisa yang mengikuti di
belakangnya.
Setiba
di teras rumah, Ibu Alif telah berdiri menyambut. "Assalam
mu'alaikum," Ibu Alif berkata, senyum manis terkembang dari wanita paruh
baya yang memakai gamis coklat susu.
Nisa
lebih dulu mendekati sang Ibu, mengulurkan tangan bersalaman, mencium punggung
tangan Ibu Alif. "Wa alaikum salam, saya Anisa, Bu," ucap Nisa
lembut.
Ibu
Alif menerima salam Nisa, dia memeluk Nisa, mencium pipi kanan Nisa. Hati Nisa
laksana dihujani kesejukan, damai sekali dia rasa, bahkan Nisa merasa kerinduan
pada ibunya tiba-tiba memuncak. Nisa menyimpan rasa itu, berusaha bersikap
wajar.
Ayah
Alif datang bergabung menyambut. "Assalam mu'alaikum," laki-laki yang
mengenakan kemeja batik bersalam.
Nisa
menjawab salam. "Wa alaikum salam, Pak," Nisa meraih tangan Ayah
Alif, mencium punggung tangan laki-laki di hadapannya.
Ayah
Alif menepuk bahu Nisa, dan entah apalagi ini batin Nisa, dia merasakan sebuah
kerinduan pada ayahnya.
Ibu
menyeruh masuk. Ayah Alif lebih dulu membalikan badan, melangkah masuk ke ruang
tamu, disusul Ibu yang menggandeng Nisa, sedangkan Alif yang telah selesai
menutup pintu pagar, merapikan motor juga ikut masuk ke dalam rumah.
Di
ruang tamu, obrolan hangat terjalin di antara mereka. Ayah Alif bertanya,
"Kamu asli dari mana, Nisa?" "Yogyakarta, Pak," jawab Nisa
singkat dan dilanjutkan percakapan lainnya. Tiba-tiba Nisa ingin ke toilet,
panggilan alam untuk membuang kantung air kemihnya tak bisa ditahan. Sopan Nisa
bertanya, "Maaf, Bu, saya izin boleh ke toilet?"
"Oh
ya, silakan," Ibu menjawab, berdiri ingin mengantar Nisa.
"Ngga
usah, Bu. Alif aja yang tunjukin, anter Nisa," Alif menimpali lebih dulu,
berdiri. Ibu tersenyum, mengarahkan tatapan persetujuan. Alif melangkah lebih
dahulu, mengikuti Nisa di belakangnya.
Keluar
dari kamar kecil, Nisa berjalan melangkah, tiba-tiba matanya terfokus pada
sebuah foto keluarga. Dalam hati dia membaca tulisan di pojok kanan bawah,
"Yogyakarta 2020, Keluarga Adi Haryanto," Nisa bergumam. Kedatangan
Alif membuyarkan kebingungannya. Dengan cepat Nisa berusaha menguasai diri.
Alif tersenyum, seakan mengerti pada apa yang Nisa pikirkan.
"Itu
foto keluarga kami," Alif menghampiri Nisa dan telah berdiri bersisian.
"Satu
bangku sengaja dikosongkan karena aku memiliki saudara kembar, berharap suatu
saat kami bisa berkumpul lagi," Alif menambahkan penjelasannya, sementara
Nisa yang masih diam memandang foto keluarga itu tak berkedip. Batinya
bergemuruh, dibenaknya keluar beribu pertanyaan.
"Apa
maksudnya ini dan apakah..." gumamnya dalam hati. Lukisan wajah Nisa yang
berubah setelah melihat foto itu jelas tertangkap Alif.
"Kamu
kenapa, Nis?" tanya Alif menatap menyelidik raut muka Nisa. Nisa menarik
napas panjang, menggeleng, menoleh ke Alif, lantas kembali mengarahkan
pandangannya ke foto keluarga itu. Kali ini, bola mata Nisa menatap penuh arti
pada sosok wanita yang duduk di tengah.
"Itu
siapa?" Nisa bertanya tanpa membuang pandangan matanya.
"Itu
Mbah Putri, tapi dia sudah meninggal setahun lalu," Alif menjawab. Alif
merasa ada keanehan dari tatapan Nisa pada foto keluarganya. Nisa menunduk,
membuang pertanyaan di hatinya sambil membuka tas yang menggantung di
pundaknya. Sebuah foto dikeluarkanya dan diperlihatkan pada Alif.
Alif
menerima dan penuh kebingungan dia bertanya. "Kok kamu punya foto Mbah
Putri?" Alif memandang Nisa penuh arti.
Disaat
itu, Ibu Alif masuk dan mendekati keduanya. Melihat Alif dan Nisa berdiri
saling pandang, serta ada sebuah foto, Bu Intan (nama Ibu Alif) mendekati
mereka.
"Ada
apa, Mas?" tanya Bu Intan pada Alif sambil ekor matanya melihat foto di
tangan Alif.
"Itu
foto Uti... kok ada sama kamu?" Bu Intan berkata dengan keingintahuan.
Pelan
Nisa yang menjawab. "Itu foto dari saya Bu. Almarhum Ibu saya yang
memberi, dan Ibu berpesan sebelum dia meninggal agar saya mencari keluarga Pak
Adi Haryanto," Nisa diam sesaat, kemudian melanjutkan penjelasannya.
"Setelah bertemu, saya disuruh menyerahkan foto ini," Nisa diam,
menahan debar jantungnya sambil jemari tangannya menggegam.
Bu
Intan memandang Nisa tajam, penuh makna, namun secepat kilat wanita separuh
baya ini merangkul Nisa, menangis mendekap tubuh Nisa sekuatnya.
Ayah
Alif yang sedari tadi mendengar percakapan mereka dan telah berdiri di samping
istrinya dengan sebelah tangan merangkul pundak Bu Intan. Dalam pelukan itu,
terbata-bata dalam isakan Bu Intan sembari berkata, "Ya Allah, kamu
kembali, Nak. Ini Ibu dan keluarga kamu sebenarnya." Nisa bingung, tak
mengerti apa maksud sebenarnya. Dia mencoba menarik diri dari rangkulan Bu
Intan, namun tangan Bu Intan sangat erat, seolah tak mau melepas. Nisa terpaksa
gadis ini ikut merangkul balik Bu Intan.
Pak
Adi akhirnya memaksa istrinya melepaskan rangkulan itu. Setelah mencerna
permasalahan, Pak Adi perlahan mencairkan suasana. Dia membimbing istrinya
duduk di sofa, diikuti Nisa dan Alif. Nisa duduk bersisian dengan Bu Intan yang
masih terus menggenggam erat tangan Nisa, masih terisak kecil. Pak Adi memulai obrolan
dengan bertanya, "Siapa nama Ibu mu, Nak?"
"Bu
Eti," singkat Nisa menjawab.
"Darimana
asal mu, maksud Bapak bisa kamu jelaskan lebih detil asal kamu," Pak Adi
mempertegas pertanyaannya, menatap Nisa menyelidik.
"Bantul,
Desa Kemiri, Pak," lagi-lagi Nisa berkata singkat, namun hatinya penuh
debaran.
"Kapan
tanggal lahir mu?" Pertanyaan selanjutnya Pak Adi ajukan.
"9
Februari, Pak," kali ini Nisa menjawab sambil menatap Pak Adi, seolah Nisa
ingin balik bertanya apa maksud pertanyaan-pertanyaan yang Pak Adi beri.
Dari
pertanyaan terakhir Pak Adi dan Nisa menjawab dengan jelas, sejenak ruangan itu
sunyi. Keempat orang yang duduk diam dalam pertanyaan serta rasa di hati
masing-masing.
Tarikan
napas Pak Adi memulai perkataannya. "Kamu anak saya," tiga kata ini
membuat Nisa dan Alif berpandangan dan secara bareng mereka menatap Pak Adi. Bu
Intan yang sedari tadi masih menangis, bertambahlah jadi tangisan haru. Pak Adi
pun tak kuasa menahan air matanya. Dalam isakan, dia menjelaskan permasalahannya.
"Sewaktu
Ibu melahirkan, sesuai prediksi dokter, bayi kembar satu laki-laki dan satunya
perempuan sehat sempurna kami dapati. Entah apa permasalahannya, Ibu Surti,
orang tua Bu Intan, memisahkan si kembar, dan entah mengapa saat itu saya dan
Ibu tak kuasa menentang perintah Mbah Uti. Yang laki-laki kami asuh, kami beri
nama Alif, dan itu adalah kamu, Mas," Pak Adi menoleh ke arah Alif,
menatap penuh kasih sayang. Pak Alif diam sesaat, lantas melanjutkan kisahnya.
"Sedangkan yang perempuan dititipkan pada mantan asisten rumah tangganya,
Bu Eti, namun sebelumnya Ayah telah memberi nama Anisa." Kini Pak Adi
menoleh ke arah Nisa, tersenyum. "Sejak itulah Bu Eti menjadi Ibu untukmu,
Nisa." Pak Adi menarik napas, menghembuskan, memejamkan mata, menggeleng.
"Mungkin itulah alasannya kenapa Bu Eti meminta Nisa mencari keluarga Pak
Adi dengan dibekali foto Mbah Uti," lanjut Pak Adi.
Nisa
mengadahkan kepalanya ke atas, menarik napas, dan mencoba untuk menerima
kenyataan ini. Hati dan jiwanya terhantam batu besar dan menekan dirinya pada
suatu kepahitan. Tak tahu apa yang harus dilakukan, apa yang mesti dikatakan.
'Diam', hanya itu yang dia lakukan, sementara Bu Intan sudah menarik tubuh Nisa
ke dalam pelukannya lagi. Alif yang juga tak percaya pada peristiwa ini hanya
diam, namun sesaat kemudian Alif berdiri dan duduk kembali mendekat di samping
Nisa. Dia pun ikut merangkul Nisa dan seraya berkata, "Nisa, kamu adalah
saudara kembarku." Nisa menatap Alif kosong, dia masih belum bisa terima
kenyataan ini. "Apakah aku bermimpi?" batin Nisa berkata, namun akal
sehatnya membisik, "Bukan, Nisa, ini adalah kenyataan, inilah keluarga
kamu sesungguhnya." Berulang kali Nisa menarik napas, menghela,
membolak-balik pandangannya ke Bu Intan, ke Alif, dan ke Pak Adi, sementara Bu
Intan terus mempererat pelukan pada Nisa. Sedikit demi sedikit isakanya mulai
tak terdengar, dan Alif terus menepuk bahu Nisa, sedangkan Pak Adi diam
menyaksikan pemandangan haru keluarga kecilnya.
Pak
Adi mengambil alih suasana, dia menghentikan keharuan ini dengan mengucap
syukur pada Sang Ilahi. "Alhamdulillah. Terimakasih ya Allah, kini
keluarga ku lengkap telah berkumpul dan telah Kau ijinkan putri kami
kembali." Pak Adi menambahkan kembali rasa syukurnya dengan memberikan
satu kata indah pada keluarganya. "Ini adalah hadiah Ramadhan terindah,
dan di Idul Fitri kita bisa merayakan lengkap seluruh keluarga." Senyum
bahagia lekat menghias wajah Pak Adi. Masih dalam ketidakpercayaan, Nisa hanya
mampu melukiskan dalam senyuman. Di dalam hatinya terucap kata,
"Alhamdulillah... terimakasih ya Allah. Telah Kau ijinkan aku bertemu
dengan keluarga ku yang sebenarnya."
Kebahagian
keluarga ini berlanjut dalam rasa syukur atas hadiah Ramadhan yang terindah
dari Sang Maha Pencipta.