“Ih, kenapa sih, aku enggak mood banget ya nulis kali ini?” gerutu Tia sambil
menepuk-nepuk kepalanya. Gadis berhidung mancung ini menghempaskan punggungnya
ke sandaran kursi, meski pandangannya tetap ke arah layar komputernya. Dia
menghela napas panjang, lalu mengembuskannya dengan kasar.
“Ah, bodo amat deh!”
Tia memejamkan matanya. Entah mengapa, seketika itu juga hadir siluet sosok
yang ingin sekali dia lupakan.
“Yogi…” keluhnya
dengan senyum sinis. Kembali dia membuka matanya dan sekali lagi mengembuskan
napasnya dengan kasar. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, sementara kedua
tangannya mengusap seluruh kepalanya.
“Ya ampun, Tia
kenapa sih kamu?” omelnya pada diri sendiri. Lalu gadis berambut ikal sebahu
itu beranjak dan berjalan ke arah kulkas. Tia mengambil sebotol jus lalu
kembali duduk di tempat semula.
“Mana deadline-nya tinggal lima hari lagi, nih,” keluhnya sambil
meminum jus jambu merahnya. Tatapannya lekat ke layar monitor dan bola matanya
berputar seakan dia sedang mencari sesuatu.
“Ah, BT!” sentaknya,
lalu meletakkan botol berukuran 250 ml yang telah kosong itu di samping
komputernya.
“Mending tidur aja
ah, daripada nulis juga enggak jelas,” ucap Tia seraya melangkah ke ranjangnya.
Gadis berusia 25
tahun ini langsung menjatuhkan tubuhnya di springbed ukuran 180x200 cm yang ditutupi sprei bermotif
bunga mawar kecil. Tia menarik guling dan memeluknya. Dia memejamkan matanya
berusaha untuk tidur, tetapi usahanya gagal. Tak sedetik pun dia terlelap meski
matanya sudah terpejam dan dia berusaha menenangkan pikirannya.
“Ah, sial banget sih
aku!” omelnya sambil melemparkan guling ke samping. Dia menutup wajahnya dengan
bantal yang ada di samping kanannya.
“Tia, ayo tidur,
tenangkan pikiranmu,” pintanya pada dirinya sendiri dari balik bantal.
Usaha Tia untuk
tidur tersentak ketika pintu kamarnya diketuk seseorang.
“Ti, Ti, Ti…” suara
seorang wanita memanggil dirinya. Tia melempar bantal kesembarang arah,
mendesah, menggigit bibirnya, menggaruk kepala, menarik napas, dan
mengembuskannya kasar.
“Linda? Ngapain dia
kemari?” tanyanya sendiri, mengenali suara yang mengetuk pintu kamarnya.
Tak ada jawaban.
Linda yang masih berdiri di depan pintu kamar sekali lagi mengetuknya.
“Tia, gue masuk ya?”
Lalu Linda mendorong pintu kayu cokelat itu dan melangkah masuk. Tia yang
berpura-pura tidur mendengarkan apa yang dilakukan Linda. Gerak-gerik Linda
diperhatikannya penuh keingintahuan.
“Lo udah tidur, apa
pura-pura tidur aja, Ti?” tanya Linda yang sudah duduk di tepi ranjang. Hening,
tak ada jawaban dari Tia. Linda menarik napas dan mengembuskannya perlahan.
“Ti, itu bukan
keinginan kita berdua, tapi orang tua kamilah yang memutuskan perjodohan ini,”
Linda mulai mengutarakan isi hatinya.
“Gue tahu lo belum
tidur, makanya gue akan nyeritain semua ini sama lo, Ti,” Linda mengubah posisi
duduknya. Dia mengambil satu guling yang ada di dekatnya lalu memeluk guling
itu.
“Ti, ternyata
kakeknya Yogi itu adalah teman seperjuangan abah gue. Jadinya mereka berniat
menyatukan keluarga dengan menjodohkan gue sama Yogi,” Linda mulai menceritakan
permasalahannya. Dia memutar bola matanya menelusuri seisi ruangan itu.
“Yogi juga syok kok
mendengar permintaan itu, tapi…” Linda mendesah, menepuk-nepuk guling di
pangkuannya.
Tia yang
mendengarkan semua omongan Linda mencibir.
“Tapi, kalian suka
kan sama perjodohan itu?” omelnya sinis dari balik bantal.
Sekali lagi Linda
menarik napas, lalu dia menjatuhkan tubuhnya berbaring di ranjang.
“Gue enggak mau
dijodohkan sama Yogi, bukan berarti gue menjaga persahabatan kita, tapi…” Linda
kembali menjeda ucapannya. Tak sabar, Tia menerka dalam hatinya.
“Tapi, apaan??
Buruan, Lin, lo ungkapin!”
“Gue itu udah
ngejalanin hubungan sama Mas Teguh, kakak lo, Ti,” pelan Linda berucap, bahkan
nyaris tak terdengar, tapi Tia jelas sekali menangkapnya.
“Jadi, mereka
beneran udah jadian?” terheran Tia akhirnya membuka bantal yang menutupi
kepalanya.
“Beneran kalian udah
jadian, Lin?” tanya Tia seraya beranjak duduk. Linda tergagap, wajahnya memerah
karena malu, tapi dia mengangguk.
“Udah nyaris sebulan
gue jadian sama abang lo. Dan cowok yang sering gue ceritain itu adalah Mas
Teguh, kakak lo,” jawab Linda. Tia menepuk jidatnya.
“Astaga!”
Linda bangkit duduk.
Mereka saling bertatapan.
“Makanya udah deh,
Ti, lo jangan cemburu lagi. Gue akan ngejelasin sama Abah dan Ayah, dan Bunda
masalah ini,” Linda menatap Tia, mengangguk.
“Tapi apa Abah Rokib
akan ngerti masalah ini?” tanya Tia ragu, balik menatap Linda. Linda mendesah,
mengubah posisi duduknya. Kini dia menghadap ke meja belajar Tia, di mana
laptopnya masih menyala.
“Gue udah cerita ke
Yogi dan dia mau bantu. Yogi itu beneran cinta sama lo, Ti, jadi lo juga kudu
meyakinkan keluarga Yogi kalau mereka meminta segera melamar lo.” Tia melotot
menatap Linda dari samping.
“Ngelamar…???” ucapnya
penuh tanya.
“Lah iya, kan
keluarga Yogi itu pengin banget secepatnya Yogi nikah agar Yanti, adik Yogi,
yang udah diminta sama pacarnya itu segera nikah,” Linda menjelaskan
permasalahan di keluarga Yogi yang tak ingin Yogi dilangkahi oleh adiknya. Tia
menggaruk kepala.
“Dah, makanya lo
kudu ngejelasin sama nyokap bokap lo, Ti, masalah ini. Kan lagian usia kita ini
udah ngepas buat nikah, jadi lo harus siap dilamar keluarga Yogi,” Linda
berbalik badan, dia menatap Tia. Keduanya saling bertatapan, lalu Linda meraih
bahu Tia dan mereka pun saling berpelukan.
“Ah, akhirnya salah
paham ini tuntas ya, Ti,” ucap Linda sambil menepuk-nepuk punggung Tia. Tia
menjawab dengan anggukan.
Posting Komentar