Ke mana Warungnya ya?

Daftar Isi

Hari terakhir libur panjang ini adalah waktunya keluargaku kembali ke rumah setelah lima hari kami berada di kampung halaman.

Hai, namaku Pratiwi, biasanya aku disapa Mbak Tiwi. Aku telah menikah dengan Arsata Wijaya dan kami telah memiliki dua buah hati yang kami beri nama Prasetyo Wijaya, yang kini putra pertamaku telah berusia 14 tahun, dan si bungsu yang bernama Larasati Wijaya baru berusia 7 tahun.

Ya, ini adalah liburan pergantian tahun dan keluargaku malam ini sedang dalam perjalanan pulang ke kota tempat tinggal kami.

Rombongan kami terdiri dari aku, suami, dan dua anakku, serta Aldi, adik iparku, dengan Dian istrinya.

Selesai kami mengerjakan salat Isya di sebuah masjid yang kami temui dalam perjalanan, kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Gantian sekarang Aldi yang mengendarai mobil dan Dian duduk di sampingnya. Sedangkan aku dan Laras duduk di bangku tengah, lalu di belakang ada suamiku dan si sulung, Pras, anakku.

“Mi, kita enggak makan malam dulu, nih?” ucap Pras ketika mobil berjalan memecah kegelapan malam. Di samping kiri kanan hanya terlihat barisan pepohonan yang entah apa namanya, aku tak mengenalnya. Sedangkan hanya sesekali saja kami bertemu kendaraan lain yang berlawanan arah, benar-benar sepi jalanan ini.

“Emang Abang lapar?” jawabku balik bertanya tanpa menolehkan pandanganku ke luar jendela.

“Enggak begitu sih, Mi, kan lagian ada biskuit sama roti ini,” jawab Pras yang bersandar di bangku belakang.

“Ya udah, kalau enggak lapar kenapa nanyain makan,” timpal Bang Ata, suamiku. Pras nyengir. Selanjutnya suasana hening kembali. Dian lalu mengisi dengan menyalakan tape mobil.

“Stel murotal aja, Tante,” pinta Pras sedikit menekankan ucapannya, refleks aku menoleh menatapnya, tersenyum.

“Kenapa, Bang?” tanyaku sedikit heran dengan air muka Pras. Pemuda kecilku ini tak menjawab, dia memejamkan matanya. Dian pun memutarkan murotal dari sang qori terkenal melalui media sosialnya. Hening kembali, aku pun berusaha memejamkan mata sambil mengusap kepala Laras yang tidur di pangkuanku.

Serasa baru saja aku terlelap, tiba-tiba Laras membangunkanku.

“Mi, Ade mau pipis.” Aku membuka mata menoleh menatapnya, lalu mengarahkan pandanganku ke Aldi.

“Oh, Ade mau pipis ya? Bentar nanti kalau ada SPBU, Didi arahkan ke sana ya.” Aldi yang menjawab, Didi memang panggilan untuk Aldi dari kedua anakku. Beruntung tak lama kemudian Aldi membelokkan arah mobil ke sebuah SPBU. Setelah Aldi memarkirkan mobil, aku langsung membuka pintu keluar dari mobil, disusul Laras dan Dian. Kami bertiga melangkah ke toilet yang ada di tempat itu. Suasana malam membuat keadaan di sekitar benar-benar tampak sepi, sunyi senyap. Toilet itu kosong tanpa ada seorang penjaga, tapi kondisi kamar mandinya bersih, nyaman untuk kami mengeluarkan kebutuhan ini. Setelah selesai, kami bertiga kembali ke mobil dan Aldi pun kembali mengendarai Fortuner hitam metalik ini menembus jalan raya ke arah kota dengan suasana malam yang benar-benar sangat sepi. Dan lagi-lagi pemandangan gelap dengan bayangan pepohonan besar yang tertimpa sorotan lampu dari mobil yang melintas adalah pemandangan yang bisa dinikmati.

Aldi melajukan si roda empat ini dengan kecepatan sedang karena memang jalan yang lengang, dengan suara murotal sang qori melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Kami pun merasakan ketenangan hingga aku dan Laras pun kembali terlelap.

Lagi-lagi serasa baru saja aku pulas menikmati tidurku, Pras tiba-tiba berucap.

“Mi, Abang lapar, nih.” Aku yang remang-remang mendengar permintaannya baru menyadari ketika Pras mengguncang kecil pundakku.

“Mi, Abang lapar.” Perlahan aku membuka mata, tapi Aldi yang menimpali.

“Ah, Bang, di tempat kayak gini mana ada warung lagi.” Pras mendesah.

“Pop mie juga enggak apa-apa, Di,” rajuk Pras.

“Pop mie juga belinya di mana, Bang?” Dian yang ikutan berkomentar.

“Sabar ya, Bang,” bujukku menoleh tersenyum memberikan pengertian padanya. Pras menggigit bibirnya membuang pandangannya ke luar jendela.

Belum sempat aku memejamkan mata, tiba-tiba Aldi memasang lampu sen kiri, perlahan menepikan mobil.

“Kenapa berhenti, Di?” tanya Bang Arsata dari bangku belakang.

“Tuh, di seberang ada warung kopi, Bang,” jawab Aldi sambil memberi tahu sebuah warung di seberang jalan, refleks kami kompak menoleh ke seberang. Benar, di sana ada sebuah bangunan seperti pendopo dengan tatanan meja kursi seperti warung kopi. Ada dua meja panjang dan kursi yang saling berhadapan, serta dua buah bohlam tergantung membuat terang ruangan sekitar 4x5 meter.

“Kamu mau makan mie kan, Bang Pras?” tanya Aldi menatap Pras dari spion depan.

“Iya, Di, boleh tuh,” sorak Pras bersemangat memajukan tubuhnya membesarkan mata memperhatikan warung di seberang jalan.

“Ayah juga mau ngopi ah,” suamiku ikut mengajukan diri. Lalu kami pun keluar dan berjalan menyeberang menuju warung itu.

“Mobil aman kan, Mas?” tanya Dian pada Aldi suaminya.

“Insya Allah aman, kan kelihatan dari seberang,” jawab Aldi menggandeng Dian.

Laras yang memang tadi sedang tidur tampak sedikit malas melangkah.

“Mi, Ade ngantuk,” keluhnya. Aku yang menggandeng dirinya mengelus lengannya lembut.

“Kita makan dulu ya, Sayang. Abang Pras lapar tuh, dan Ayah juga mau ngopi dulu,” aku berusaha memberikan pengertian.

Kami berlima telah sampai di depan warung itu, tak ada satupun orang di sana. Sunyi sepi senyap itu yang kurasakan, bahkan entah mengapa perasaanku tiba-tiba merasa aneh yang aku sendiri tak tahu apa.

“Permisi…” ucap Aldi sedikit bersuara keras, tak ada jawaban, sepi.

Sekali lagi Aldi bersalam.

“Assalamualaikum. Permisi.” Tapi tetap tak ada yang membalas. Bang Arsata suamiku melangkah masuk dan Aldi mengikutinya, sedangkan aku dan Laras yang memang sangat mengantuk memilih duduk, Dian pun mengikuti aku duduk di sebelah kiriku.

“Permisi, permisi, kami mau pesan makan,” ucap Bang Arsata lebih mengeraskan suaranya.

Tetap saja tak ada jawaban. Setelah kami menunggu beberapa saat, Aldi yang merasa penasaran terus mengitari warung itu. Hanya ada sebuah etalase kaca yang terpasang di sana dengan barisan mi instan serta aneka minuman seduh dalam kemasan. Debu tipis menutupi bagian atas etalase, seolah sudah lama tidak tersentuh.

“Kemana sih nih penjualnya,” gerutu Aldi yang sudah melihat ke arah dalam tapi tetap tak ada orang. Bang Arsata pun ikutan mengeluh dan duduk di samping Laras yang tidur di pahaku.

“Enggak ada penjualnya, Di?” tanya Pras yang sejak tadi mengekor Aldi.

“Iya,” singkat dia menjawab lalu duduk di hadapanku.

“Yah, kok aku merinding sih,” aku membisikkan kalimat itu pada suamiku yang terlebih dulu aku mencoleknya. Bang Arsata mengerutkan dahi menatapku, aku mengangguk.

“Kok serem amat sih nih tempatnya, aku merinding,” Dian berucap membuat kami refleks menoleh.

“Iya, Yan, Mbak juga merasa gitu,” jawabku memberikan pendapat.

“Kita balik aja yuk ke mobil,” pinta Dian, tapi Pras tak terima.

“Sabar aja, Tante, mungkin orangnya lagi ke kamar mandi,” Dian membuang pandangannya dengan menoleh ke arah kiri.

“Tapi bener juga sih, Pras, Didi juga kok merasa aneh sih,” Aldi berkomentar.

“Tapi Pras lapar, Di,” protes Pras menatap Aldi penuh harap.

“Kita tunggu sebentar lagi aja deh,” Bang Arsata menengahi, dan kami pun menunggu sejenak. Tetap sepi, bahkan aku sendiri tak merasakan hembusan angin, seolah angin pun diam ikut mengosongkan suasana malam ini. Binatang malam pun tak satupun terdengar, aneh memang, aneh sekali kesenyapan yang aku rasakan, tetapi aku tetap memilih diam sambil mengelus kepala Laras.

Namun, sudah sepuluh menit tetap saja tak ada siapapun yang datang, bahkan mobil yang melintas dari kedua arah pun kini jaraknya cukup jauh.

“Kok, tempat ini lama kelamaan sepi amat ya,” ucap Dian beranjak berdiri.

“Mau kemana, Bun?” tanya Aldi yang ikutan berdiri.

“Mbak, kita balik aja yuk ke mobil,” Dian mengarahkan mukanya dengan menoleh dan menunduk sedikit ke aku yang masih duduk. Aku menatap Pras.

“Abang, sabar ya,” ucapku mencoba membesarkan hati Pras.

“Iya, Bang, kasihan Tante Dian yang kelihatannya tak nyaman dan lihat ini…” Bang Arsata menoleh dengan sudut matanya dia mengarahkan pada Laras yang pulas tidur.

“Ya, udah deh,” dengan merengut Pras akhirnya mengalah, Aldi menepuk pundaknya dan kami pun kembali melangkah menuju ke mobil di seberang jalan. Karena sepi maka dengan leluasa kami menyeberang jalan.

Baru saja aku menjejaki kaki di seberang, Laras yang aku gandeng tiba-tiba menoleh dan berseru.

“Mimi, kok warung yang tadi enggak ada!” Sontak dengan refleks kami semua menoleh ke belakang, dan benar warung itu lenyap. Seperti terhipnosis kami semua diam mematung menatap ke depan ke arah warung yang tadi kami datangi. Hanya ruang hitam kosong, tak ada warung yang terang seperti awal tadi kami melihatnya. Sejurus kemudian Bang Arsata menyalakan senter ponselnya dan mengarahkan ke tempat semula warung itu.

“Enggak ada apapun ya,” ucapku pelan seperti berbisik. Bang Arsata mendesah menarik napas lalu,

“Ya udah, kita secepatnya tinggalkan tempat ini,” perintahnya membuat kami masuk ke dalam mobil tanpa berkata apapun dan Aldi pun segera menyalakan mesin lalu menjalankan mobil meninggalkan tempat itu.

  

Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar