Memilih yang mana ya?

Daftar Isi

“Eh, Do, lo tahu enggak, besok si Jimmy mau ngelamar Triksi,” ucap Abrar, membuat Edo yang sedang melamun tergagap menoleh.

“Ah, gosip,” jawabnya singkat, kembali menatap lurus ke depan. Abrar nyengir, menggaruk kepala.

“Beneran, Do. Orang nyokap gue yang ngomong semalam.” Kembali Edo menoleh, memelototinya.

“Besok itu sampai seminggu ke depan gue mau ke luar kota sama Jimmy, Brar,” Edo menekankan ucapannya karena memang selama seminggu dia sudah mendapatkan tugas dari atasannya untuk meninjau pabrik di kota lain bersama tim kerjanya, dan salah satunya adalah Jimmy. Kembali Abrar nyengir. Hening sejenak, air muka Edo tampak tak bernyawa. Di tangannya, lintingan rokok hanya dipegangnya saja tanpa dinyalakan. Abrar yang sejak tadi memperhatikan teman kecilnya ini akhirnya bertanya,

“Lo kenapa sih, Do? Muka lo BT amat.” Edo menarik napas dalam, mengembuskannya kasar sambil meletakkan sebatang rokok di atas asbak plastik.

Diam beberapa saat, Edo menelan ludah.

“Gue kayaknya pengin resign aja deh,” lirih dia berucap, membuat Abrar memelototinya.

“Emang kenapa, Bro?” tanya Abrar tak mengerti.

“Bukanya di kerjaan, jabatan lo udah enak, gaji gede, tunjangan lengkap, fasilitas dapat. Terus lo mau cari yang gimana lagi, Do?” protes Abrar yang tahu bahwa Edo adalah salah satu karyawan terpilih dengan jenjang perjalanan kariernya di perusahaan elektronik ini yang merayap setapak demi setapak hingga Edo sekarang adalah salah seorang tim manajer di kantornya. Mendengar ucapan Abrar, Edo tersenyum sinis, meraih kembali sebatang rokok dan mengambil pula korek api. Dengan sorot mata kosong, dia menyalakan rokok di tangannya.

“Justru itulah, Brar, yang buat gue BT dan pengin usaha sendiri aja deh,” dia menghisap rokok dan menghembuskannya.

“Lo emang mau usaha apa, Do?” tanya Abrar. Edo menggeleng. Dan Abrar pun menggaruk kepala. Keduanya diam menatap lurus ke depan menikmati jalan selebar tiga meter yang lenggang.

Ketika keduanya asyik melamun, tiba-tiba sebuah sepeda listrik memasuki halaman rumah Edo. Seorang pria berambut keriting turun dari sepeda listrik yang telah diparkirkan.

“Assalamualaikum, hai, Bro. Ngapa kalian pada bengong gitu sih?” salam Rudi melangkah mendekati keduanya. Abrar berdiri menyambut.

“Eh, dari mana lo, Rud?” tanyanya dan duduk kembali setelah Rudi juga duduk.

“Gue abis demo di Monas,” jawab Rudi, langsung meraih gelas milik Abrar.

“Eh, itu punya gue,” Abrar protes karena es teh manisnya ditenggak Rudi.

“Sori, Brar, gue haus banget nih,” Rudi kembali menaruh gelas yang telah kosong.

“Rame enggak demonya, Rud?” tanya Abrar. Rudi mengacungkan dua ibu jarinya.

“Keren, Brar, presiden aja datang,” ucapnya, kini meraih bungkus rokok dan mengambilnya.

“Rud, Rud… lo datang-datang malah nyari yang gratisan aja,” omel Abrar.

“Tumben presiden datang,” lanjut Abrar. Rudi mengangguk.

“Pencitraan,” singkat Edo menjawab.

“Kok gitu lo, Do? Kayak enggak suka aja,” timpal Abrar. Edo menghela napas.

“Tapi bener sih, Do. Kayaknya baru presiden ini aja deh yang mau ngedatengin demo buruh pas hari buruh kayak gini,” ucap Rudi.

“Kalau buat gue, ini bukan pencitraan, Bro. Ini adalah dedikasi sang petinggi untuk nunjukkin rasa solidaritas sama kaum buruh,” Abrar berpendapat menoleh menatap temannya satu persatu.

“Kitanya aja setiap orang selalu mencari sisi negatif dari sosok yang selalu pro dan kontra,” sambung Abrar.

“Ah, lo, Brar,” ucap Rudi tanpa ekspresi karena tetap asyik menikmati rokoknya.

“Lah, emang kan. Makanya jangan negatif terus pikirannya,” bantah Abrar mempertahankan pendapat.

“Iya sih, presiden itu tadi beneran keren pidatonya, makanya antusias para pendemo itu teratur dan tertib banget, enggak kayak demo-demo sebelumnya,” ucap Rudi.

“Ah, percuma demo, tapi nanti pas selesainya juga biasa cuma klise aja tuh janji-janji manis,” Edo sinis menimpali. Abrar merengut.

“Tapi bener sih, Brar, tapi kan si antek-antek bawahannya aja tuh yang suka cari perkara mempersulit pihak yang bersangkutan,” timpal Edo, Rudi melirik.

“Kayak di kantor gue aja, bos besar sih orangnya asyik-asyik aja, eh pas ketemu bawahannya itu sok berwibawa gitu, pencitraan,” lanjut Edo mencibir.

“Lihat aja, yang jabatan enak, ya tetap menikmati fasilitas, eh yang ngebelangsak tetap aja jungkir balik kerja dengan segala tuntutan,” sambung Edo yang menambah Rudi semakin menatapnya heran.

“Lo kenapa, Do? Kayaknya sewot banget,” tanya Rudi menatap Edo lekat. Edo meringgis sinis.

“Gue BT aja sama para staf di kantor gue yang sok berwibawa mengatasnamakan tugas dan tanggung jawab,” jawab Edo mengubah posisi duduknya.

“Dia itu mau berhenti kerja, Rud,” timpal Abrar membuat Rudi terbatuk-batuk.

“Serius lo, Do?” Rudi menatapnya meminta penegasan, Edo mengembuskan napas, menggeleng.

“Entahlah, yang pasti gue itu BT amat di kantor dengan segudang peraturan.”

“Ah, Do, Do, di mana pun kita berada, pastilah peraturan itu diadakan dan ingat kan lo yang bilang kalau peraturan itu dibuat untuk dilanggar,” tawa kecil Abrar membuat Rudi juga tersenyum.

“Iya sih, gue tahu, tapi gue kesel banget sama para atasan yang seenak udelnya memberikan peraturan baru tanpa mereka memikirkan apakah para pekerja bawahan suka sama peraturan itu,” kembali Edo mengungkapkan kekesalannya.

“Jimmy itu enggak bisa nikahin Triksi dalam setahun ini,” ucap Edo membuat Abrar menatapnya.

“Kenapa emang, Do?” tanyanya penasaran.

“Bulan depan Jimmy mau ditugaskan keluar negri dan salah satu persyaratannya adalah harus belum menikah,” jelas Edo.

“Wah, kasihan dong si Triksi,” sela Abrar, Edo mengangguk.

“Dan itu sebabnya gue BT, soalnya gue mau ngelamar Ratih rencananya bulan depan,” Edo mengerakan kedua bahunya membuat Rudi dan Abrar menatapnya.

“Kenapa kalian ngelihatin gue kayak gitu?” jengah ditatap kedua sahabatnya seperti itu, Edo protes.

“Lo serius, Do? Emang Ratihnya mau apa sama lo?” tanya Abrar, Edo tersenyum bangga.

“Gue mau ta’arufan sama dia dan Pak Ustad Zainal dan istrinya yang menjembatani proses ta’arufan ini,” jelas Edo membuat Rudi lebih membesarkan matanya.

“Lo serius, Do?” sekali lagi Edo mengangguk tegas.

“Terus gimana karier lo di kantor? Kan kalau Jimmy dikirim ke luar negri, lo juga pasti dikirim,” Rudi mengemukakan pendapatnya.

“Ya, itu masalahnya yang buat gue BT, dan pastinya gue harus mutusin berhenti kerja,” jawab Edo.

“Gila lo, Do, kan lo udah enak di sana,” protes Rudi, Edo mengangkat satu bahunya.

“Ya, gimana lagi, gue harus memilih.”

“Do, Do, coba lo pikirin lagi keputusan lo. Terus kalau lo berhenti kerja, nanti gimana urusannya setelah lo kawin?” tanya Rudi lebih menegaskan.

“Itu dia, Rud, yang tadi gue tanyain sama Edo. Gue sendiri enggak habis pikir sama jalan otaknya dia,” Abrar memberikan penegasan lebih lanjut.

“Tenang, Bro, gue udah pikirin. Gue mau buka usaha aja, rencananya gue mau buka warung nasi padang. Kan Um Ilia, nyokapnya Ratih, itu jago masak dan asli Minang. Jadinya gue mau kolaborasi sama calon mertua buka usaha rumah makan padang. Toh nyokap gue kan punya ruko di pasar Inpres, jadinya bisa gue pakai tempat itu,” jelas Edo membuat kedua sahabatnya diam, hening kembali dan tiba-tiba suara kentongan khas tukang bakso membuat Rudi berdiri.

“Ah, makan bakso dulu aja,” dia melangkah diikuti Abrar.

“Bener, bener tuh, Rud,” ucap Abrar yang menjajari langkahnya.

  

Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar