Jika ada yang bilang memiliki anak inklusi, atau anak
berkebutuhan khusus yang sangat spesial itu merepotkan, memang ada benarnya.
Namun, menurutku, ketika Allah memberikan kita amanah berupa kehadiran anak
berkebutuhan khusus, itu adalah ladang bagi kita untuk banyak belajar darinya.
Belajar sabar adalah hal utama, dan belajar menempatkan diri untuk
bersosialisasi di lingkungan juga amat diperlukan. Bagaimana tidak, tak jarang
sindiran atau cibiran menjadi pemandangan umum ketika kita mengajak anak spesial
ini bersosialisasi di lingkungan atau bermain dengan teman sebaya. Kebanyakan
anak-anak seusianya sering mengolok atau bahkan membulinya.
Dan yang tak kalah
penting, aku belajar dari anak spesial ini tentang kepekaan serta kepedulian
yang jauh lebih bermoral daripada anak pada umumnya.
Hal inilah yang
terjadi padaku, seorang ibu yang memiliki putra berusia 10 tahun yang tidak
bisa berbicara.
Kuberinama dia
Bintang Saputra. Aku berdoa agar dengan nama itu, dia akan selalu menjadi
bintang yang menerangi kehidupan aku dan suami.
Aku melahirkan
Bintang secara normal tanpa bantuan alat medis. Seolah sebuah keajaiban
kurasakan karena aku tidak mendapatkan jahitan seusai persalinan. Mungkin
karena aku menjalaninya dengan mudah dan tanpa butuh waktu lama, bayiku lahir
dengan berat 3225 gram dan tinggi 48 sentimeter.
Tumbuh kembang
Bintang normal seperti bayi seusianya. Tetapi petaka itu mulai kurasakan ketika
Bintang berusia 9 bulan. Inilah kisah awal mengapa Bintang menjadi difabel tuna
rungu.
Aku masih ingat,
hari itu adalah hari Selasa, di mana seharusnya Bintang mendapatkan imunisasi
polio di posyandu. Tetapi sejak azan Subuh, entah mengapa suhu badan Bintang
meninggi dan sudah tiga kali Bintang muntah. Aku yang sedikit panik berusaha
menenangkan diri dengan meminum obat demam untukku dan juga untuk Bintang. Aku
berpikir, karena Bintang masih menyusu padaku, air susuku akan membantu Bintang
meredakan demamnya. Namun, tidak ada hasil. Demam Bintang bukannya menurun,
justru kini Bintang buang air besar dan muntahnya semakin sering. Panik, ya,
itulah yang kurasakan saat itu hingga kami membawa Bintang ke UGD rumah sakit
terdekat dari rumahku.
Dengan cekatan, tim
medis menangani Bintang. Jarum infus itu menembus kulit sang bayi yang bagiku
masih teramat kecil. Andaikan bisa aku gantikan, aku siap menggantikan Bintang.
Aku sendiri merasa ngilu melihat perawat terus mencari aliran nadi Bintang
untuk dimasukkan jarum infus. Memang sedikit terlambat aku membawanya ke rumah
sakit karena Bintang sudah terlanjur dehidrasi sehingga sulit sekali mencari
jalan untuk infus. Walhasil, sekujur badan Bintang penuh bekas tusukan jarum
infus. Tetapi, keberuntungan masih Allah berikan untuk Bintang. Kerja perawat
yang sangat teliti akhirnya menemukan aliran nadi Bintang tepat di nadi besar
di leher sebelah kiri. Namun, teramat mahal bayaran yang harus kami terima dari
konsekuensi dehidrasi Bintang. Bintang masuk dalam masa kolaps di mana
kesadarannya tidak sepenuhnya ada. Alat bantu medis pun terpasang di tubuhnya,
dari infus, oksigen, dan alat detak jantung. 14 hari Bintang berjuang
melawannya, dan tepat di hari ke-15 kesadaran Bintang berangsur pulih, itupun
karena tindakan emosiku. Ya, bagaimana aku bisa menahannya, kejadian itu tak
akan pernah hilang dari ingatanku.
Di jam besuk siang hari,
tepatnya sekitar azan dzuhur, ada tujuh ibu tetangga rumahku datang membesuk
Bintang yang masih kolaps tak berdaya. Aku ingat selentingan ucapan dari
beberapa ibu yang mengatakan,
“Mbak Santi, Bintang
ganteng banget, deh.”
“Iya, bersih banget
ya wajahnya.”
“Tenang dan sejuk
sekali ya dipandangnya.”
“Sabar ya, Mbak
Santi.”
Ucapan yang aneh
menurutku. Ada sesuatu yang tersirat dari ucapan itu. Ditambah lagi, seketika
itu juga Bintang buang air besar dan kotoran yang keluar itu hanya sebesar biji
kacang hijau, ada tiga, dan berwarna hitam pekat. Sontak semua orang bertakbir
dan beberapa ibu mengusap pundakku.
“Yang sabar ya, Mbak
Santi.”
“Ikhlasin aja, Mbak.
Allah itu lebih sayang sama Bintang.”
“Kita bantu
bersihkan rumahnya ya, Mbak Santi.”
Kali ini ucapan itu
justru sangat menusuk jantungku. Seakan darahku benar-benar berhenti mengalir.
Tanpa isakan, aku mendekat ke tepi ranjang Bintang dan dengan emosi yang tak
mampu kukendalikan, aku memukul dan menggebrak ranjang itu sekuat tenaga dan
berteriak,
“Bintang, kalau
memang Bintang lebih memilih menjadi anak Allah, pergi sekarang juga, jangan
nyusahin ayah bunda. Tapi kalau Bintang mau jadi anak bunda, minta sama Allah
supaya Bintang sadar sekarang juga!”
Setelah mengucapkan
kalimat itu, aku jatuh terduduk. Seorang tetanggaku menenangkan aku. Aku
terisak di pelukannya. Dan keberuntungan itu Allah tunjukkan lagi padaku.
Sesaat kemudian, Bintang mulai memperlihatkan kesadarannya. Dia mengerakan
jemarinya, lalu tangannya, dan perlahan membuka matanya dan menangis.
Sakit sekali rasanya
mendengar isak pertama Bintang. Hatiku laksana disayat belati beratus kali. Aku
bangkit mendekatinya, mengusap tangannya, dan ingin sekali aku memeluknya,
tetapi alat bantu medis itu menghalangi keinginanku. Tangisku benar-benar pecah,
begitu juga ketujuh tetanggaku yang masih berada di kamar. Rasa haru itu akan
menjadi cerita yang tak akan terlupa bagiku.
Sejak itu, Bintang
menunjukkan kemajuan yang sangat pesat dan di luar dugaan. Bintang telah
melewati masa tersulitnya dan kini aku kembali dapat memeluk buah hatiku. Ada
keajaiban lain yang juga kurasakan. Bagaimana tidak, selama 15 hari Bintang
tidak menyusu padaku sampai-sampai air susuku sudah tidak keluar lagi. Tetapi
aku tidak pernah putus asa. Selama Bintang kolaps, aku tetap memeras payudaraku
meski air susunya sudah tidak keluar dan aku berusaha setiap harinya meminum
obat untuk pelancar ASI. Dan hasilnya kurasakan setelah alat bantu medis
Bintang dilepas, terutama alat jantung serta oksigen. Maka dokter mempersilakan
aku menyusuinya lagi dan sujud syukurku tak terbilang karena aku kembali bisa
menyusui Bintang seakan tak pernah terjadi masalah apapun.
Namun, sesuatu itu
tak seperti apa yang kita mau. Kebahagiaan itu masih teruji ketika aku
menyadari bahwa tangis yang Bintang keluarkan itu tak seperti tangisan
sebelumnya. Dulu, dia sambil menangis bisa mengatakan sesuatu biarpun tak
jelas. Tapi keanehan kurasakan karena isak tangis Bintang hanya berupa isakan
saja tanpa disertai kata-kata apapun. Dan petir seakan menyambar diriku ketika
vonis dokter mengatakan ada kerusakan di pita suara Bintang akibat demam yang
terlalu tinggi yang Bintang alami. Ketika itu, suhu tertinggi badan Bintang
memang sempat sampai 40 derajat, dan ini menyebabkan Bintang kehilangan
kemampuan bicaranya. Sejak itulah Bintang menjadi tuna rungu.
Sejak itulah
perjuangan babak baru aku mulai untuk merawat, menjaga, dan membimbing Bintang.
Kerja sama dengan suamiku adalah kekuatanku untuk tegar ikhlas menerima
kenyataan ini.
Tumbuh kembang
Bintang tak ada masalah. Dia hanya kehilangan kemampuan bicaranya. Dan inilah
ladang ilmu yang aku dapatkan menjadi seorang ibu dari anak yang memiliki
keterbatasan. Tapi bagiku, dia adalah anak spesial yang selalu menerangi
langkahku. Banyak kejadian yang aku lalui dengan Bintang, seperti suatu hari
ketika itu usia Bintang sudah 7 tahun. Naluri berbaginya itu membuat aku
menggelengkan kepala, tersenyum penuh syukur.
Aku dan suami selalu
membiasakan memasukan uang ke kotak amal. Maka setiap kali dan di manapun
keberadaan kami, Bintang selalu meminta uang untuk dimasukan ke kotak amal itu.
Sebanyak apapun kotak amal di sebuah masjid, maka kesemuanya harus dimasukan
uang. Pembelajarannya adalah aku harus menyiapkan uang recehan.
Kepedulian Bintang
pada orang lain juga terlihat dari perilakunya seperti ketika melihat pemulung
ataupun pengemis maka dia selalu meminta uang. Ini sudah menjadi sebuah
keharusan yang Bintang minta padaku untuk berbagi.
Di sekolah pun
Bintang selalu berusaha memberikan sesuatu pada temannya seperti makanan atau
benda lainnya. Bahkan dia tak segan-segan memintaku untuk berbagi pada gurunya.
Memang terasa
memberatkan bila keuanganku sedang tak stabil. Kemauan berbagi Bintang tak bisa
aku tahan biarpun aku memberikan pengertian. Baginya, yang penting bisa
berbagi, bukan nominal yang menjadi ukurannya.
Nilai berbagi ini
amatlah dahsyat dan aku sudah merasakan keberkahan dari berbagi ini. Pengobatan
Bintang tetap kami upayakan baik dari medis maupun non medis. Dari sejak
Bintang berusia satu tahun kami terus berusaha hingga pelahan buah kerja
ikhtiar kami berbuah hasil perlahan tapi pasti suara Bintang mulai terdengar
dan di usia 5 tahun Bintang kembali bisa berbicara meski tak selancar anak
seusianya.
Ujian itu tetap
menyelimuti Bintang. Biar kini terbata, dia sudah bisa bicara, tapi kemampuan
kognitifnya alias intelegensinya di bawah rata-rata sehingga aku
menyekolahkannya di sekolah inklusi.
Ya, tapi inilah
jalan yang harus terus aku jejaki. Tertatih memang aku membesarkan Bintang,
tapi aku yakin aku percaya Allah itu ada untuk keluargaku.
Bintang memang tak
sempurna, tapi setiap momen kebersamaan dengannya adalah ajang aku untuk selalu
belajar. Ya, belajar banyak tentang hidup ini dari Bintang. Belajar bagaimana
rasa syukur itu bisa dinikmati penuh iman dan ketaqwaan.
Terima kasih ya
Allah, untuk amanah yang KAU beri pada aku.
Ujian ini hadir padaku dan aku mencoba ikhlas
menjalani dan aku juga pasrahkan sepenuhnya hanya pada MU YA ROB.
Karena sesungguhnya engkaulah yang maha mengetahui
dari apa yang tersembunyi
Bintangku
tersayang...
Apapun keadaan dirimu, engkau tetap menjadi
bintang yang menerangi perjalananku dalam merawatmu.
Semoga Allah selalu meridhoi dirimu seperti aku
telah ridho dengan kehadiranmu buah hatiku.
Inilah kisahku,
Santi Rahmania, yang memiliki seorang putra dengan kemampuan spesial. Semoga
kisah ini akan menjadi pemicu semangat untuk selalu berpikir positif dan
bersyukur.
Posting Komentar