“Bun, payah deh tadi di sekolah, menunya ngasal
banget,” keluh Irfan ketika baru saja sampai di rumah. Sang bunda yang
menyambutnya langsung memberikan senyuman.
“Masuk dulu, Nak,”
Bu Siti menutup pintu rumah. Irfan, yang telah melangkah lebih dulu, langsung
duduk di sofa kayu berwarna cokelat tua.
“Emang menunya apa
hari ini?” tanya Bu Siti yang telah duduk di seberang.
“Nasi goreng sama
telur mata sapi, terus sama timun dua potong dan tomat seiris,” jelas Irfan
sambil membuka tas ranselnya.
“Alhamdulillah lah,
maklum aja makan gratis,” ucap Bu Siti menenangkan anak sulungnya yang masih
kelas satu SLTA.
“Iya sih, tapi enggak
gitu-gitu amat. Mentang-mentang gratis, eh malah dikasih menu sembarangan.
Katanya kan makanan sehat dan bergizi untuk anak bangsa, lah kok rasanya aja
enggak karuan tuh nasi gorengnya,” protes Irfan dengan berbagai keluhan. Ya,
memang sekolah Irfan termasuk dalam proyek pemerintah yang mengadakan makan
gratis untuk siswa. Program ini dilaksanakan sejak presiden baru terpilih.
Memang sih, pada awalnya siswa dan orang tua berantusias menerima program ini,
tapi berjalannya waktu menu yang diberikan pada siswa sering tak layak. Dan
hari ini, Irfan mengeluh.
“Ah, besok aku bawa
bekal aja deh, Bun. Enakan juga masakan bunda,” Irfan berucap sambil beranjak
melangkah ke kamarnya. Bu Siti menggeleng.
Di saat Bu Siti
sedang menyiapkan makan malam, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk seseorang.
Irfan yang berada di ruang tamu langsung membukakan.
“Assalamualaikum,
Fan, ada bunda enggak?” salam Bu Erni sambil bertanya. Irfan mengangguk,
berbalik badan melangkah memanggil bundanya.
Tak berapa lama Bu
Siti datang. Melihat Bu Erni masih berdiri, segera dia mempersilakan masuk.
“Ya ampun, kok masih
berdiri aja, Bu? Silakan masuk, yuk duduk dulu. Maaf, Irfan tadi enggak
menyuruh ya,” dengan merasa bersalah Bu Siti berucap. Bu Erni tertawa kecil.
“Santai aja, enggak
apa kok,” sambil melangkah masuk dan duduk di sofa.
“Ada apa, Bu?” tanya
Bu Siti yang duduk berhadapan.
“Tadi saya WA sama
telepon Ibu kok ya, enggak bisa,” tanya Bu Erni. Bu Siti mengernyitkan dahi.
“Maaf, Bu, HP saya
tadi jatuh dan enggak tahu kok ya langsung mati. Ini aja lagi nunggu ayahnya
buat ke konter untuk melihat kenapa,” jawab Bu Siti menerangkan. Bu Erni
mengangguk-angguk.
“Pantesan aja enggak
ada respon,” jawab Bu Erni yang akhirnya menceritakan bahwa dia ingin memesan
kue boks sebanyak 50 untuk besok malam karena di rumahnya ada acara keluarga.
Bu Siti menyanggupinya setelah mereka bertransaksi. Sebelum pulang, Bu Erni
sempat bertanya pada Irfan yang duduk tak jauh dari ruang tamu yang hanya
berukuran 2x2 meter itu.
“Fan, tadi di
sekolah kamu apa menunya?” Irfan menoleh.
“Nasi goreng, Bu,”
singkat dijawabnya.
“Iya tuh, payah ya
pengelolanya. Masa akhir-akhir ini makanan sehat yang dijanjikan itu ngasal
banget ya,” keluh Bu Erni. Bu Siti mengangguk.
“Sayang ya, Bu. Kan
mending dananya bisa dipakai untuk keperluan lainnya, seperti naikin gaji para
orang tuanya aja biar orang tua masing-masing yang tanggung jawab sama anaknya
sendiri,” timpal Bu Siti.
“Setuju, Bu!” Bu
Erni tegas mengangguk.
“Gimana kalau kita
demo aja ya, tapi kompakan,” saran Bu Erni.
“Ah, saya malas, Bu.
Mending buat pesanan kue aja daripada demo capek-capek doang tapi suara kita
enggak pernah didengar,” Bu Siti menjawab mengangkat bahunya.
“Saya mah, yang
penting Irfan sama Ibnu kalau mau ke sekolah harus sarapan dulu. Kalau mereka
mau juga suka saya bekelin,” sambung Bu Siti.
“Bener sih, Bu,
percuma demo tapi enggak ada hasilnya. Kemarin aja di sekolah Siska ada
beberapa orang tua yang demo tentang uang pungutan, eh tetap aja enggak
didenger. Uang pungutan yang katanya sumbangan itu tetap aja tiap bulan
diwajibkan biar katanya sukarela,” ucap Bu Erni. Bu Siti tersenyum.
“Ah, kita mah kaum
kecil enggak usah ikut-ikutan kaya gitu deh. Mending ngurusin diri sendiri aja
ketimbang memprotesin pemerintah tapi enggak pernah didengar. Tuh, para buruh
sama mahasiswa aja yang kaum intelek aja enggak pernah digubris. Biarin aja
deh, nanti para pejabatnya juga kelak harus tanggung jawab sama Allah,” Bu Siti
berkomentar.
“Bener banget, Bu. Mending
kita getol aja semangat usaha nyari duit biar anak-anak bisa makan layak,” tawa
Bu Erni. Setelah berbasa-basi sejenak, akhirnya Bu Erni pamit.
Bu Siti masih
berdiri di depan rumahnya yang tanpa pagar sambil mengantar Bu Erni pulang.
Bersamaan dengan itu, Pak Timbul suaminya datang berjalan kaki. Melihat
suaminya berjalan kaki, Bu Siti keheranan.
“Kok jalan kaki yah,
mana motornya?” tanya Bu Siti ketika Pak Timbul sudah masuk ke dalam rumah dan
duduk di kursi tamu.
“Tadi motornya ayah
parkir di masjid, Bun, untuk salat magrib. Eh, pas ayah keluar motornya udah
enggak ada,” lirih Pak Timbul mengatakan kejadian yang baru aja dialaminya.
Raut mukanya kusut seolah penyesalan itu telah bertumpuk di pundaknya.
“Ayah juga tadi udah
nyari dibantu sama dua orang marbot masjid, tapi motornya enggak ada. Dan ada
satu orang yang bilang tadi ada seorang pemuda berjaket bola sedang menuntun
motor ayah. Dia pikir itu motor dia sendiri katanya pas ngelihat kejadian itu,”
sambung Pak Timbul menelan kekecewaannya.
“Maafin ayah ya,
Bun,” lirih dia meneruskan ucapannya.
“Innalillahi wa
innalillahi rojiun,” ucap Bu Siti terperanjat.
“Kok ya di masjid
masih ada maling juga ya, Yah. Kirain bunda cuma cerita di televisi aja, kok ya
sekarang kita yang ngalaminya,” sedikit terisak Bu Siti berucap. Pak Timbul
diam menutup mukanya dengan kedua belah telapak tangan. Irfan yang mendengarkan
obrolan orang tuanya segera menghampiri sambil membawa segelas air minum lalu
dia menyerahkan pada ayahnya.
“Minum dulu, Yah,”
Pak Timbul mengangkat wajah menatap putranya tersenyum lalu mengambil gelas dan
meminumnya.
“Terima kasih,
Bang,” Irfan yang langsung duduk di samping ayahnya menepuk paha sang ayah.
“Sabar aja, Yah,
yakin deh Allah lagi nyiapin motor yang jauh lebih bagus lagi,” Irfan mencoba
menenangkan ayahnya. Pak Timbul yang telah selesai minum meletakkan gelas di
atas meja, meraih bahu Irfan dan memeluknya.
“Alhamdulillah,
terima kasih, Bang. Ayah bangga punya anak berjiwa besar seperti kamu,” Irfan
mengangguk, sedangkan Bu Siti sudah terisak.
“Bunda jangan
nangis,” Ibnu anak bungsu yang tadi menekor abangnya mencoba menenangkan
bundanya juga. Ibnu bersandar di lengan Bu Siti dan Bu Siti justru segera
memeluknya.
“Bunda memang sedih,
tapi bunda bersyukur memiliki kalian yang bisa memberikan ketenangan di saat
ayah sama bunda lagi dapat masalah kaya gini,” ucap Bu Siti. Dan keluarga kecil
itu sesaat menikmati kehangatan yang tercipta dari kesedihan yang mereka alami
karena kehilangan sepeda motor sang ayah.
Posting Komentar