Kehangatan Keluarga Kecilku

Daftar Isi

“Bun, payah deh tadi di sekolah, menunya ngasal banget,” keluh Irfan ketika baru saja sampai di rumah. Sang bunda yang menyambutnya langsung memberikan senyuman.

“Masuk dulu, Nak,” Bu Siti menutup pintu rumah. Irfan, yang telah melangkah lebih dulu, langsung duduk di sofa kayu berwarna cokelat tua.

“Emang menunya apa hari ini?” tanya Bu Siti yang telah duduk di seberang.

“Nasi goreng sama telur mata sapi, terus sama timun dua potong dan tomat seiris,” jelas Irfan sambil membuka tas ranselnya.

“Alhamdulillah lah, maklum aja makan gratis,” ucap Bu Siti menenangkan anak sulungnya yang masih kelas satu SLTA.

“Iya sih, tapi enggak gitu-gitu amat. Mentang-mentang gratis, eh malah dikasih menu sembarangan. Katanya kan makanan sehat dan bergizi untuk anak bangsa, lah kok rasanya aja enggak karuan tuh nasi gorengnya,” protes Irfan dengan berbagai keluhan. Ya, memang sekolah Irfan termasuk dalam proyek pemerintah yang mengadakan makan gratis untuk siswa. Program ini dilaksanakan sejak presiden baru terpilih. Memang sih, pada awalnya siswa dan orang tua berantusias menerima program ini, tapi berjalannya waktu menu yang diberikan pada siswa sering tak layak. Dan hari ini, Irfan mengeluh.

“Ah, besok aku bawa bekal aja deh, Bun. Enakan juga masakan bunda,” Irfan berucap sambil beranjak melangkah ke kamarnya. Bu Siti menggeleng.

Di saat Bu Siti sedang menyiapkan makan malam, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk seseorang. Irfan yang berada di ruang tamu langsung membukakan.

“Assalamualaikum, Fan, ada bunda enggak?” salam Bu Erni sambil bertanya. Irfan mengangguk, berbalik badan melangkah memanggil bundanya.

Tak berapa lama Bu Siti datang. Melihat Bu Erni masih berdiri, segera dia mempersilakan masuk.

“Ya ampun, kok masih berdiri aja, Bu? Silakan masuk, yuk duduk dulu. Maaf, Irfan tadi enggak menyuruh ya,” dengan merasa bersalah Bu Siti berucap. Bu Erni tertawa kecil.

“Santai aja, enggak apa kok,” sambil melangkah masuk dan duduk di sofa.

“Ada apa, Bu?” tanya Bu Siti yang duduk berhadapan.

“Tadi saya WA sama telepon Ibu kok ya, enggak bisa,” tanya Bu Erni. Bu Siti mengernyitkan dahi.

“Maaf, Bu, HP saya tadi jatuh dan enggak tahu kok ya langsung mati. Ini aja lagi nunggu ayahnya buat ke konter untuk melihat kenapa,” jawab Bu Siti menerangkan. Bu Erni mengangguk-angguk.

“Pantesan aja enggak ada respon,” jawab Bu Erni yang akhirnya menceritakan bahwa dia ingin memesan kue boks sebanyak 50 untuk besok malam karena di rumahnya ada acara keluarga. Bu Siti menyanggupinya setelah mereka bertransaksi. Sebelum pulang, Bu Erni sempat bertanya pada Irfan yang duduk tak jauh dari ruang tamu yang hanya berukuran 2x2 meter itu.

“Fan, tadi di sekolah kamu apa menunya?” Irfan menoleh.

“Nasi goreng, Bu,” singkat dijawabnya.

“Iya tuh, payah ya pengelolanya. Masa akhir-akhir ini makanan sehat yang dijanjikan itu ngasal banget ya,” keluh Bu Erni. Bu Siti mengangguk.

“Sayang ya, Bu. Kan mending dananya bisa dipakai untuk keperluan lainnya, seperti naikin gaji para orang tuanya aja biar orang tua masing-masing yang tanggung jawab sama anaknya sendiri,” timpal Bu Siti.

“Setuju, Bu!” Bu Erni tegas mengangguk.

“Gimana kalau kita demo aja ya, tapi kompakan,” saran Bu Erni.

“Ah, saya malas, Bu. Mending buat pesanan kue aja daripada demo capek-capek doang tapi suara kita enggak pernah didengar,” Bu Siti menjawab mengangkat bahunya.

“Saya mah, yang penting Irfan sama Ibnu kalau mau ke sekolah harus sarapan dulu. Kalau mereka mau juga suka saya bekelin,” sambung Bu Siti.

“Bener sih, Bu, percuma demo tapi enggak ada hasilnya. Kemarin aja di sekolah Siska ada beberapa orang tua yang demo tentang uang pungutan, eh tetap aja enggak didenger. Uang pungutan yang katanya sumbangan itu tetap aja tiap bulan diwajibkan biar katanya sukarela,” ucap Bu Erni. Bu Siti tersenyum.

“Ah, kita mah kaum kecil enggak usah ikut-ikutan kaya gitu deh. Mending ngurusin diri sendiri aja ketimbang memprotesin pemerintah tapi enggak pernah didengar. Tuh, para buruh sama mahasiswa aja yang kaum intelek aja enggak pernah digubris. Biarin aja deh, nanti para pejabatnya juga kelak harus tanggung jawab sama Allah,” Bu Siti berkomentar.

“Bener banget, Bu. Mending kita getol aja semangat usaha nyari duit biar anak-anak bisa makan layak,” tawa Bu Erni. Setelah berbasa-basi sejenak, akhirnya Bu Erni pamit.

Bu Siti masih berdiri di depan rumahnya yang tanpa pagar sambil mengantar Bu Erni pulang. Bersamaan dengan itu, Pak Timbul suaminya datang berjalan kaki. Melihat suaminya berjalan kaki, Bu Siti keheranan.

“Kok jalan kaki yah, mana motornya?” tanya Bu Siti ketika Pak Timbul sudah masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi tamu.

“Tadi motornya ayah parkir di masjid, Bun, untuk salat magrib. Eh, pas ayah keluar motornya udah enggak ada,” lirih Pak Timbul mengatakan kejadian yang baru aja dialaminya. Raut mukanya kusut seolah penyesalan itu telah bertumpuk di pundaknya.

“Ayah juga tadi udah nyari dibantu sama dua orang marbot masjid, tapi motornya enggak ada. Dan ada satu orang yang bilang tadi ada seorang pemuda berjaket bola sedang menuntun motor ayah. Dia pikir itu motor dia sendiri katanya pas ngelihat kejadian itu,” sambung Pak Timbul menelan kekecewaannya.

“Maafin ayah ya, Bun,” lirih dia meneruskan ucapannya.

“Innalillahi wa innalillahi rojiun,” ucap Bu Siti terperanjat.

“Kok ya di masjid masih ada maling juga ya, Yah. Kirain bunda cuma cerita di televisi aja, kok ya sekarang kita yang ngalaminya,” sedikit terisak Bu Siti berucap. Pak Timbul diam menutup mukanya dengan kedua belah telapak tangan. Irfan yang mendengarkan obrolan orang tuanya segera menghampiri sambil membawa segelas air minum lalu dia menyerahkan pada ayahnya.

“Minum dulu, Yah,” Pak Timbul mengangkat wajah menatap putranya tersenyum lalu mengambil gelas dan meminumnya.

“Terima kasih, Bang,” Irfan yang langsung duduk di samping ayahnya menepuk paha sang ayah.

“Sabar aja, Yah, yakin deh Allah lagi nyiapin motor yang jauh lebih bagus lagi,” Irfan mencoba menenangkan ayahnya. Pak Timbul yang telah selesai minum meletakkan gelas di atas meja, meraih bahu Irfan dan memeluknya.

“Alhamdulillah, terima kasih, Bang. Ayah bangga punya anak berjiwa besar seperti kamu,” Irfan mengangguk, sedangkan Bu Siti sudah terisak.

“Bunda jangan nangis,” Ibnu anak bungsu yang tadi menekor abangnya mencoba menenangkan bundanya juga. Ibnu bersandar di lengan Bu Siti dan Bu Siti justru segera memeluknya.

“Bunda memang sedih, tapi bunda bersyukur memiliki kalian yang bisa memberikan ketenangan di saat ayah sama bunda lagi dapat masalah kaya gini,” ucap Bu Siti. Dan keluarga kecil itu sesaat menikmati kehangatan yang tercipta dari kesedihan yang mereka alami karena kehilangan sepeda motor sang ayah.

 


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar