Kuburkan Aku Selayaknya

Table of Contents

Suara lolongan anjing terdengar seperti lolongan serigala yang sedang mencari mangsa, ditambah cicitan burung hantu yang juga mengiris telinga, serta suara serangga lainnya yang seakan sedang menyambut kedatangan sesuatu. Itulah rasa yang sedang dialami Karta yang sedang berjalan di area pemakaman umum. Meski dia hanya berjalan di luar pagar kompleks pemakaman yang bernama Sawah Guriang itu, tetap saja suasana mencekam Karta rasakan, padahal jam masih menunjukkan pukul 21.30 yang berarti belum terlalu malam dan Karta pun setiap harinya dikala pulang kerja selalu melewati kawasan ini.

"Ih, kok merinding ya," pria berkulit sedikit gelap dengan jambang tipisnya memegang tengkuk sembari menoleh ke kanan kiri. Karta menahan langkahnya sejenak ketika dia merasakan desir angin yang menyelimuti tubuhnya, tetapi kesadarannya muncul lagi lalu dia melangkah dengan langkah lebar.

Baru sekitar sepuluh langkah, tiba-tiba ada suara yang memanggilnya, "Karta!" Refleks dia membalikkan tubuh dan memperhatikan arah dari mana tadi dia mendengar namanya dipanggil. Tak ada siapa pun. Karta mengedarkan pandangannya ke segala arah yang mampu dijangkaunya, kosong, tetap tak ada siapapun. Karta mendesah, menggaruk kepalanya yang tak gatal lalu kembali berbalik badan melangkah. Sebelum langkah Karta benar-benar menapak, tiba-tiba deruan suara sepeda motor terdengar mendekat, Karta menepi dan kembali memperhatikan arah dari ujung jalan.

"Ramai amat," ucapnya. Dia diam menanti dan kembali matanya beredar dan pas tatapan Karta mengarah ke area pemakaman, dia melihat sosok wanita sedang duduk di depan liang lahat yang memang sudah tergali.

"Astagfirullah, siapa dia, dan kenapa liang itu belum ditutup, apa iya ada yang meninggal, terus kemana para penjaga makam?" Ribuan pertanyaan dia lontarkan pada dirinya sendiri lalu dia kembali mengarahkan tatapannya ke ujung gang untuk memastikan suara deruan sepeda motor yang tadi didengarnya.

"Aneh, mana suara motor tadi," katanya heran lalu dialihkan kembali pandangannya ke arah area makam, sosok itu masih tetap berada di sana dan dengan posisi yang masih membelakanginya.

"Ih, siapa sih tuh cewek, penasaran gue," ucapnya melangkah mendekati gerbang makam. Difokuskan pandangannya ke arah sosok wanita berambut panjang yang duduk di depan liang lahat.

"Apa itu kuntilanak ya," tanyanya sendiri. Tiba-tiba bahu Karta disentuh sebuah tangan, sontak Karta menjerit berbalik badan.

"Siapa loe?" Seseorang berjaket hitam dengan topi hitam berdiri berhadapan dengannya, pria itu tertawa masih menepuk bahu Karta.

"Kamu ngapain di sini, Ta?" tanya Pak Muiz yang merupakan penjaga makam, Karta tersenyum kecil menyadari siapa yang menegurnya, dia memegang kepala menggaruknya nyengir menjawab.

"Ah, bapak bikin jantung saya mau copot nih," Pak Muiz tersenyum.

"Tadi saya ngelihat ada wanita berambut panjang duduk di sana," dengan bola matanya Karta menunjukkan tempat yang dimaksud, tapi sosok itu telah menghilang.

"Kok enggak ada?" Panik dia mengedarkan pandangannya menyapu semua arah yang mampu dilihatnya. Melihat itu Pak Muiz menepuk bahu Karta.

"Dah Ta, kamu pulang aja sana," Pak Muiz menyuruh Karta pulang, tapi rasa penasaran Karta membuatnya membantah.

"Kok liang itu enggak ketutup sih Pak, kenapa emang?" tanya Karta masih mengarahkan matanya ke liang, Pak Muiz mendesah menarik napas panjang.

"Ada yang mau dimakamin tadi sore tapi enggak jadi," Karta menoleh menatap Pak Muiz, seakan mengerti tatapan Karta Pak Muiz tersenyum.

"Katanya udah dimakamin di tempat lain," Karta mengangguk.

"Ya, udah sana kamu pulang, atau kamu mau nemenin saya malam ini," ucap Pak Muiz yang dibalas Karta dengan menggeleng lalu tanpa berkomentar dia melangkah pergi.

Langkah Karta besar, dia tak ingin mendapatkan keanehan lagi, yang ada dipikirannya hanya ingin secepatnya meninggalkan kawasan pemakaman itu, tapi belum sampai di ujung jalan kembali Karta melihat sosok wanita yang bergelantungan di pohon, wanita itu tertawa. Karta ingin berlari tapi entah mengapa kakinya terasa dibebani ratusan batu hingga dia hanya diam mematung memperhatikan wanita yang merupakan kuntilanak, mata wanita itu merah menyala dan ada luka di kedua pipinya, tawa wanita itu mengiris hati Karta bulu kuduknya merinding tetapi dia tak mampu berbuat apapun.

"Mas, tolongin saya," lirih wanita itu berucap bahkan diselengi isak tangis, mata Karta membulat, wanita itu menangguk.

"Saya yang seharusnya ada di liang itu, tapi jasad saya malah dibuang ke jurang," isakan itu lirih menyayat sembilu, Karta hanya diam bola matanya yang seakan bicara.

"Tolong saya Mas, kuburkan saya selayaknya," kembali wanita itu berkata, Karta tetap dia diam.

"Saya mau bantu kamu," Pak Muiz yang telah berada di belakang Karta yang menjawab, wanita itu menatap tersenyum pada Pak Muiz, Karta menoleh ikut menatap Pak Muiz yang kini telah berada di samping kirinya.

"Di jurang mana kamu dibuang?" tanya Pak Muiz.

Wanita itu akhirnya menceritakan kejadian pembunuhan yang dilakukan suaminya, karena suaminya kalap cemburu ketika wanita ini sedang bertelepon dengan mantan pacarnya, padahal mantan pacarnya itu mau berbicara dengan suaminya tapi karena api kemarahan lebih besar maka pertengkaran itu terjadi dan suaminya memukul dia dengan balok kayu dan menusuk pipinya. Awalnya suaminya ingin memakamkan dia di pemakaman ini makanya suaminya menelpon pihak pengurus makam tapi rasa takut membuat suaminya membatalkan niatnya dan membuang jasadnya ke jurang.

Dalam rinai air mata wanita itu menceritakan semua kejadiannya yang membuat Karta semakin merinding.

"Ih, kejem amat sih tuh suaminya," kesal Karta berucap, lirikan wanita kuntilanak itu membuat Karta salah tingkah.

"Baiklah, kami akan membantu mencari jasad kamu, tapi tolong jangan menampakan diri lagi pada siapapun cukup malam ini saja," tegas Pak Muiz memberikan peringatan, wanita kuntilanak itu tertawa menangguk lalu pergi menghilang. Karta menoleh ke Pak Muiz menatapnya penuh tanya, Pak Muiz mendesah menggeleng.

"Besok kita rundingkan dengan pengurus lainnya," ucap Pak Muiz.

"Kenapa enggak secepatnya Pak?" protes Karta, Pak Muiz menggeleng.

"Kita tidak boleh gegabah, ini kasus kriminal," jawabnya.

"Ya, udah makanya secepatnya kita selesaikan masalah ini Pak," pinta Karta.

"Saya akan ikut bantu, mungkin kita mulai dari rumah korban Pak." Pak Muiz diam berpikir.

"Saya akan minta Om Ratno untuk menuntaskan masalah ini, Pak Muiz menatap Karta penuh arti mendengar nama yang Karta sebut, ya Om Ratno adalah adik ibunya Karta yang bekerja sebagai polisi dan dia adalah kapolsek di daerah dimana rumah korban.

"Kenapa Pak?" tanya Karta tak mengerti maksud tatapan Pak Muiz.

"Rumah korban itu masih dalam kawasan kekuasaan Pak Ratno."

"Wah, bagus itu, kalau gitu yuk kita ke polseknya," ajak Karta.

Pak Muiz menyetujuinya, Karta menelpon ibunya dan meminta ijin untuk ada urusan tanpa menceritakan kejadian sebenarnya sedangkan Pak Muiz menelpon yang menjadi urusannya setelahnya mereka berangkat ke polsek yang dimaksud.

Malam ini juga kasus ini digelar dan polisi yang sudah mendapatkan keterangan dari Karta dan Pak Muiz segera menuju tempat kejadian dan setibanya di sana rumah itu kosong, ketika ditanyakan pada tetangga sekitar mereka tak ada yang mengetahui kejadian itu, mereka hanya tahu bahwa Dadang suaminya kuntilanak itu pergi dengan membawa Lastri istrinya yang terluka dan katanya jatuh dari atas tangga. Dengan sigap tim kepolisian mencari jejak Dadang berdasarkan hasil interogasi dengan beberapa warga sekitar.

Tepat azan subuh Dadang berhasil ditemukan di rumah adik sepupunya, dia ditangkap tanpa perlawanan dan langsung diminta untuk menunjukkan dimana dia membuang jasad istrinya.

Kerja tim kepolisian ini ringkas cepat dan akurat, Dadang menunjukan dimana dia membuang jasad istrinya yaitu kawasan luar kota yang masih jarang penduduknya hingga akhirnya jasad itu ditemukan setelah tim polisi mengerahkan lima orang pasukannya untuk menuruni jurang terjal itu dan berhasil mengangkat jasad wanita yang sudah nyaris membusuk, lukanya yang mengeluarkan darah menjadi pemandangan yang sangat memilukan.

Tanpa membuang waktu jasad itu segera diurus sebagaimana mestinya sampai akhirnya dikuburkan selayaknya.

Karta berdiri di samping gundukan tanah merah yang baru saja menutupi jasad wanita itu dengan nisan kayu bertuliskan Sulastri. Langit senja mulai beranjak gelap dan ketika Karta ingin meninggalkan kuburan itu tiba-tiba suara wanita itu kembali terdengar.

"Terima kasih Karta," sosok itu menunjukan keberadaannya, kini wajah pucat dengan goresan di kedua pipinya itu tersenyum puas. Dan Karta hanya bisa menangguk.

 

Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar