Suara lolongan anjing terdengar seperti lolongan
serigala yang sedang mencari mangsa, ditambah cicitan burung hantu yang juga
mengiris telinga, serta suara serangga lainnya yang seakan sedang menyambut
kedatangan sesuatu. Itulah rasa yang sedang dialami Karta yang sedang berjalan
di area pemakaman umum. Meski dia hanya berjalan di luar pagar kompleks
pemakaman yang bernama Sawah Guriang itu, tetap saja suasana mencekam Karta
rasakan, padahal jam masih menunjukkan pukul 21.30 yang berarti belum terlalu
malam dan Karta pun setiap harinya dikala pulang kerja selalu melewati kawasan
ini.
"Ih, kok
merinding ya," pria berkulit sedikit gelap dengan jambang tipisnya
memegang tengkuk sembari menoleh ke kanan kiri. Karta menahan langkahnya
sejenak ketika dia merasakan desir angin yang menyelimuti tubuhnya, tetapi
kesadarannya muncul lagi lalu dia melangkah dengan langkah lebar.
Baru sekitar sepuluh
langkah, tiba-tiba ada suara yang memanggilnya, "Karta!" Refleks dia
membalikkan tubuh dan memperhatikan arah dari mana tadi dia mendengar namanya
dipanggil. Tak ada siapa pun. Karta mengedarkan pandangannya ke segala arah
yang mampu dijangkaunya, kosong, tetap tak ada siapapun. Karta mendesah,
menggaruk kepalanya yang tak gatal lalu kembali berbalik badan melangkah.
Sebelum langkah Karta benar-benar menapak, tiba-tiba deruan suara sepeda motor
terdengar mendekat, Karta menepi dan kembali memperhatikan arah dari ujung
jalan.
"Ramai
amat," ucapnya. Dia diam menanti dan kembali matanya beredar dan pas
tatapan Karta mengarah ke area pemakaman, dia melihat sosok wanita sedang duduk
di depan liang lahat yang memang sudah tergali.
"Astagfirullah,
siapa dia, dan kenapa liang itu belum ditutup, apa iya ada yang meninggal,
terus kemana para penjaga makam?" Ribuan pertanyaan dia lontarkan pada
dirinya sendiri lalu dia kembali mengarahkan tatapannya ke ujung gang untuk
memastikan suara deruan sepeda motor yang tadi didengarnya.
"Aneh, mana
suara motor tadi," katanya heran lalu dialihkan kembali pandangannya ke
arah area makam, sosok itu masih tetap berada di sana dan dengan posisi yang
masih membelakanginya.
"Ih, siapa sih
tuh cewek, penasaran gue," ucapnya melangkah mendekati gerbang makam.
Difokuskan pandangannya ke arah sosok wanita berambut panjang yang duduk di
depan liang lahat.
"Apa itu
kuntilanak ya," tanyanya sendiri. Tiba-tiba bahu Karta disentuh sebuah
tangan, sontak Karta menjerit berbalik badan.
"Siapa
loe?" Seseorang berjaket hitam dengan topi hitam berdiri berhadapan
dengannya, pria itu tertawa masih menepuk bahu Karta.
"Kamu ngapain
di sini, Ta?" tanya Pak Muiz yang merupakan penjaga makam, Karta tersenyum
kecil menyadari siapa yang menegurnya, dia memegang kepala menggaruknya nyengir
menjawab.
"Ah, bapak
bikin jantung saya mau copot nih," Pak Muiz tersenyum.
"Tadi saya
ngelihat ada wanita berambut panjang duduk di sana," dengan bola matanya
Karta menunjukkan tempat yang dimaksud, tapi sosok itu telah menghilang.
"Kok enggak
ada?" Panik dia mengedarkan pandangannya menyapu semua arah yang mampu
dilihatnya. Melihat itu Pak Muiz menepuk bahu Karta.
"Dah Ta, kamu
pulang aja sana," Pak Muiz menyuruh Karta pulang, tapi rasa penasaran
Karta membuatnya membantah.
"Kok liang itu
enggak ketutup sih Pak, kenapa emang?" tanya Karta masih mengarahkan
matanya ke liang, Pak Muiz mendesah menarik napas panjang.
"Ada yang mau
dimakamin tadi sore tapi enggak jadi," Karta menoleh menatap Pak Muiz,
seakan mengerti tatapan Karta Pak Muiz tersenyum.
"Katanya udah
dimakamin di tempat lain," Karta mengangguk.
"Ya, udah sana
kamu pulang, atau kamu mau nemenin saya malam ini," ucap Pak Muiz yang
dibalas Karta dengan menggeleng lalu tanpa berkomentar dia melangkah pergi.
Langkah Karta besar,
dia tak ingin mendapatkan keanehan lagi, yang ada dipikirannya hanya ingin
secepatnya meninggalkan kawasan pemakaman itu, tapi belum sampai di ujung jalan
kembali Karta melihat sosok wanita yang bergelantungan di pohon, wanita itu tertawa.
Karta ingin berlari tapi entah mengapa kakinya terasa dibebani ratusan batu
hingga dia hanya diam mematung memperhatikan wanita yang merupakan kuntilanak,
mata wanita itu merah menyala dan ada luka di kedua pipinya, tawa wanita itu
mengiris hati Karta bulu kuduknya merinding tetapi dia tak mampu berbuat apapun.
"Mas, tolongin
saya," lirih wanita itu berucap bahkan diselengi isak tangis, mata Karta
membulat, wanita itu menangguk.
"Saya yang
seharusnya ada di liang itu, tapi jasad saya malah dibuang ke jurang,"
isakan itu lirih menyayat sembilu, Karta hanya diam bola matanya yang seakan
bicara.
"Tolong saya
Mas, kuburkan saya selayaknya," kembali wanita itu berkata, Karta tetap
dia diam.
"Saya mau bantu
kamu," Pak Muiz yang telah berada di belakang Karta yang menjawab, wanita
itu menatap tersenyum pada Pak Muiz, Karta menoleh ikut menatap Pak Muiz yang
kini telah berada di samping kirinya.
"Di jurang mana
kamu dibuang?" tanya Pak Muiz.
Wanita itu akhirnya
menceritakan kejadian pembunuhan yang dilakukan suaminya, karena suaminya kalap
cemburu ketika wanita ini sedang bertelepon dengan mantan pacarnya, padahal
mantan pacarnya itu mau berbicara dengan suaminya tapi karena api kemarahan lebih
besar maka pertengkaran itu terjadi dan suaminya memukul dia dengan balok kayu
dan menusuk pipinya. Awalnya suaminya ingin memakamkan dia di pemakaman ini
makanya suaminya menelpon pihak pengurus makam tapi rasa takut membuat suaminya
membatalkan niatnya dan membuang jasadnya ke jurang.
Dalam rinai air mata
wanita itu menceritakan semua kejadiannya yang membuat Karta semakin merinding.
"Ih, kejem amat
sih tuh suaminya," kesal Karta berucap, lirikan wanita kuntilanak itu
membuat Karta salah tingkah.
"Baiklah, kami
akan membantu mencari jasad kamu, tapi tolong jangan menampakan diri lagi pada
siapapun cukup malam ini saja," tegas Pak Muiz memberikan peringatan,
wanita kuntilanak itu tertawa menangguk lalu pergi menghilang. Karta menoleh ke
Pak Muiz menatapnya penuh tanya, Pak Muiz mendesah menggeleng.
"Besok kita
rundingkan dengan pengurus lainnya," ucap Pak Muiz.
"Kenapa enggak
secepatnya Pak?" protes Karta, Pak Muiz menggeleng.
"Kita tidak
boleh gegabah, ini kasus kriminal," jawabnya.
"Ya, udah
makanya secepatnya kita selesaikan masalah ini Pak," pinta Karta.
"Saya akan ikut
bantu, mungkin kita mulai dari rumah korban Pak." Pak Muiz diam berpikir.
"Saya akan
minta Om Ratno untuk menuntaskan masalah ini, Pak Muiz menatap Karta penuh arti
mendengar nama yang Karta sebut, ya Om Ratno adalah adik ibunya Karta yang
bekerja sebagai polisi dan dia adalah kapolsek di daerah dimana rumah korban.
"Kenapa
Pak?" tanya Karta tak mengerti maksud tatapan Pak Muiz.
"Rumah korban
itu masih dalam kawasan kekuasaan Pak Ratno."
"Wah, bagus
itu, kalau gitu yuk kita ke polseknya," ajak Karta.
Pak Muiz
menyetujuinya, Karta menelpon ibunya dan meminta ijin untuk ada urusan tanpa
menceritakan kejadian sebenarnya sedangkan Pak Muiz menelpon yang menjadi
urusannya setelahnya mereka berangkat ke polsek yang dimaksud.
Malam ini juga kasus
ini digelar dan polisi yang sudah mendapatkan keterangan dari Karta dan Pak
Muiz segera menuju tempat kejadian dan setibanya di sana rumah itu kosong,
ketika ditanyakan pada tetangga sekitar mereka tak ada yang mengetahui kejadian
itu, mereka hanya tahu bahwa Dadang suaminya kuntilanak itu pergi dengan
membawa Lastri istrinya yang terluka dan katanya jatuh dari atas tangga. Dengan
sigap tim kepolisian mencari jejak Dadang berdasarkan hasil interogasi dengan
beberapa warga sekitar.
Tepat azan subuh
Dadang berhasil ditemukan di rumah adik sepupunya, dia ditangkap tanpa
perlawanan dan langsung diminta untuk menunjukkan dimana dia membuang jasad
istrinya.
Kerja tim kepolisian
ini ringkas cepat dan akurat, Dadang menunjukan dimana dia membuang jasad
istrinya yaitu kawasan luar kota yang masih jarang penduduknya hingga akhirnya
jasad itu ditemukan setelah tim polisi mengerahkan lima orang pasukannya untuk
menuruni jurang terjal itu dan berhasil mengangkat jasad wanita yang sudah
nyaris membusuk, lukanya yang mengeluarkan darah menjadi pemandangan yang
sangat memilukan.
Tanpa membuang waktu
jasad itu segera diurus sebagaimana mestinya sampai akhirnya dikuburkan
selayaknya.
Karta berdiri di
samping gundukan tanah merah yang baru saja menutupi jasad wanita itu dengan
nisan kayu bertuliskan Sulastri. Langit senja mulai beranjak gelap dan ketika
Karta ingin meninggalkan kuburan itu tiba-tiba suara wanita itu kembali
terdengar.
"Terima kasih
Karta," sosok itu menunjukan keberadaannya, kini wajah pucat dengan
goresan di kedua pipinya itu tersenyum puas. Dan Karta hanya bisa menangguk.
Posting Komentar