Ikut Siapa?

Daftar Isi

"Loe, besok Lebaran ikut yang mana, Bul?" tanya Ibnu pada temannya yang sedang rebahan di teras rumah.

Ibnu, yang memejamkan mata dengan kedua tangannya sebagai bantal kepala, menggeleng. Timbul memperhatikannya dengan tidak mengerti.

"Kenapa, Nu?" tanyanya kembali.

Ibnu mendesah.

"Lah, loe yang nanya gue kenapa, loe yang resah, Nu?" protes Timbul. Ibnu tersenyum kecut.

"Kalau gue sih ikut pemerintah aja deh. Kalau loe sendiri gimana, Nu?" Timbul balik bertanya.

"Nah, itu dia masalahnya," jawab Ibnu. Timbul menolehkan kepala, memperhatikan Ibnu dengan raut kusutnya.

"Kenapa?" tanyanya singkat.

"Ah, Bul, boro-boro mikirin Lebaran. Orang puasa aja gue jarang," ujarnya sinis, tersenyum pada dirinya sendiri. Timbul tertawa kecil.

"Lah, kenapa loe jarang puasa sih, Nu?" tanya Timbul.

"Maunya sih gue puasa seharian, Bul. Tapi, giliran gue narik pagi itu kok bawaannya haus banget, deh. Dan kalau narik malam, kok ya ngantuk gitu. Ya terpaksa gue enggak puasa," jawab Ibnu, yang bekerja sebagai sopir angkutan umum.

Timbul kembali tertawa. Ibnu melirik.

"Kenapa ketawa, Bul?" tanyanya tidak suka.

"Abis, loe itu kayak bocah aja, deh. Masa kalah sama haus? Kan loe nariknya juga cuma sampai jam 2 doang. Trus loe bisa molor deh di rumah, kayak gini nih," jelas Timbul. Ibnu mencibir.

"Trus kalau loe narik malam, kan paginya sampai siang sebelum narik loe juga bisa tidur. Ah, emang loe kebanyakan alasan," omel Timbul sambil bercanda.

"Bukan cuma haus aja, Bul, tapi yang gue enggak tahan itu pengen merokok," protesnya. Jawaban Ibnu justru membuat Timbul semakin menertawainya.

"Nu, Nu, kalau emang loe udah niat puasa, ya tahanlah godaannya. Kan semakin loe bisa ngendaliin nafsu, loe juga dapat pahala," komentar Timbul, bangkit duduk karena dia mendengar ada langkah kaki mendekat.

"Terserah loe deh, Bul," jawab Ibnu sekenanya.

"Nu, lihat ada siapa tuh yang datang?" Bola mata Timbul mengarah pada seseorang yang melangkah mendekati pagar rumah.

"Dinda," ucap kedua orang ini serempak. Ibnu, yang tadinya duduk, segera berdiri menghampiri gadis berkerudung cokelat susu yang telah berdiri di pintu pagar rumah.

"Assalamualaikum," suara lembut Dinda memberi salam. Dengan senyum mengembang, Ibnu menjawab sambil membukakan pintu pagar.

"Dinda cari Mas Ibnu, ya?" tanyanya, sok merasa senang dengan kedatangan Dinda, gadis manis berlesung pipi dengan bibir tipis serta alis mata yang indah.

Dinda tersenyum. "Enggak, Mas. Aku mau ketemu Bu Ria," jawabnya, menerangkan bahwa dia ingin bertemu ibunya Ibnu.

Timbul tertawa. "Kamu ke-PD-an, Nu," timpal Timbul, yang membuat Ibnu memelototinya.

"Bu Ria ada, kan, Mas?" tanya Dinda, mencoba melerai situasi. Ibnu mengangguk.

"Duduk sini, Din. Tapi maaf, duduknya di ubin aja, ya," ajak Timbul, menggeser posisinya dan mempersilakan Dinda duduk, sedangkan Ibnu melangkah masuk memanggil ibunya.

Selang beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya melangkah mendekat.

"Eh, Neng Dinda," ucapnya lembut menyapa. Dinda tersenyum, berdiri, dan menyalami Bu Ria. Basa-basi sejenak di antara keduanya, lalu Dinda mengutarakan maksud tujuannya, yaitu ingin memesan kue Lapis Surabaya. Ya, memang Bu Ria telah terkenal dengan aneka kue buatannya yang cukup memuaskan selera, dan itu sebabnya keluarga Dinda telah biasa memesan kue padanya.

"Kok tumben banyak amat, Neng, sampai 10 loyang?" tanya Bu Ria.

Dinda tersenyum. "Enggak tahu, Bu. Aku cuma disuruh Mama aja," ucap Dinda sambil membuka tas selempangnya dan mengambil beberapa lembar uang. "Aku bayar DP-nya dulu ya, Bu, lima ratus ribu. Bolehkan?" tanya Dinda, dan Bu Ria pun menerimanya.

"Nyantai aja, Neng, kayak sama siapa aja," jawab Bu Ria menerima uang yang Dinda beri, lalu dia berdiri melangkah masuk. "Tunggu ya, Ibu ambil notanya dulu."

"Wah, Ibu loe kebanjiran rezeki nih, Nu," komentar Timbul yang mendengar obrolan Dinda dan Bu Ria.

Ibnu tersenyum. "Yah, paling nanti gue juga yang jadi tukang ojeknya buat ke pasar," keluh Ibnu, tersenyum sinis.

"Ih, enggak boleh ngeluh gitu dong, Mas. Kan bantuin orang tua itu pahala," timpal Dinda yang mendengar. Sontak Ibnu nyengir menggaruk kepala.

"Tuh, Nu, denger apa kata Dinda," ledek Timbul, yang dijawab Ibnu dengan memelototinya. Timbul tertawa.

"Emang kita Lebarannya kapan sih, Din?" tanya Timbul, mencoba mengajak Dinda ngobrol.

Dinda menggeleng. "Enggak tahu, Mas. Kita ikutin aja apa keputusan pemerintah. Yang penting kita niatkan ibadah ini semata untuk lebih mendekatkan diri sama Allah," jawab Dinda, yang dibalas acungan jempol oleh Ibnu.

"Keren, Din."

"Ya, tapi kan kenapa ya pemerintah itu ngebikin bingung rakyat aja? Kemarin aja puasanya udah bareng. Kan kenapa Lebarannya enggak dibarengin aja sih?" Timbul mencoba berpendapat.

"Kan mesti lihat hilalnya dulu, Mas, dan tunggu sidang isbat," jawab Dinda.

"Tapi kasihan kan para ibu yang ingin mempersiapkan masakan, jadi bingung mau masak kapan?" kembali Timbul memberikan pendapatnya.

Dinda tersenyum.

"Ah, kamu, Bul. Kan yang masak itu ibu kamu. Kamu cuma disuruh aja ngebantuin. Enggak usah mikirin Lebaran deh. Yang penting kamu puasa enggak? Jangan kayak Ibnu tuh, alasan aja kalau puasa," Bu Ria keluar dengan memberikan komentarnya, sambil matanya melirik ke anak sulungnya.

"Lah, Ibu, jangan ngomong di depan Dinda, kenapa?" protes Ibnu, membuang pandangannya menghindari tatapan Dinda.

"Oh ya, Mas Ibnu, bisa tolongin saya enggak?" tanya Dinda menatap penuh harap.

Ibnu refleks menoleh, balik menatap, sehingga tatapan keduanya bertemu. Dinda menundukkan tatapan, menghindari sorot mata Ibnu yang seakan ingin memakannya.

"Ada apa, Din?" tanya Ibnu.

"Kok raut muka kamu seperti ketakutan deh, Din, ngelihat muka Ibnu?" timpal Timbul, membuat Ibnu menoleh memelototinya.

Dinda menggeleng. "Maaf, Mas." Gadis yang baru saja menyelesaikan strata satunya ini mengangkat kepala, tersenyum.

"Ada apa, Din?" Ibnu penasaran bertanya.

"Saya mau nyari mobil untuk hari raya besok, Mas. Apa Mas bisa bantu?" tanya Dinda.

"Angkot mau, Din? Maaf, soalnya saya kan nariknya angkot," Ibnu memberikan tawaran.

Dinda mengangguk. "Enggak apa-apa, Mas. Tapi jangan mahal-mahal ya sewanya," jawab Dinda.

Ibnu tersenyum. "Santai, Din. Tarif biasa aja. Seharian empat ratus ribu, belum sama bensin," jelas Ibnu.

"Emang Neng Dinda sekeluarga mau ke mana?" tanya Bu Ria.

"Biasa, Bu, mau ke makam terus silaturahmi ke tempat saudara yang lainnya," jelas Dinda.

"Ya udah, Mas, nanti saya kabarin lagi, ya," ucap Dinda beranjak berdiri. "Saya pamit ya, Bu." Gadis itu menyalami Bu Ria lalu melangkah keluar.

"Dinda cantik banget, ya," ucap Timbul, menatap tak berkedip mengikuti langkah Dinda, begitu juga Ibnu.

"Iya, enggak nyangka ya teman sekolah kita gedenya jadi cantik banget ya, Bul," Ibnu berdecak kagum.

"Ehm, makanya kalian cari kerja yang bener," ucap Bu Ria melangkah masuk. "Oh iya, Nu, sebentar lagi anterin Ibu ke pasar, ya," Bu Ria berbalik badan menatap anak lelakinya.

"Siap, Ibuku sayang!" jawab Ibnu.

 


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

1 komentar

Yuk komennya, boleh banget kalau mau request atau yang lainnya. kami harapkan Masukan berupa kritikan dari kalian dengan bahasa yang membangun
Comment Author Avatar
Rabu, 09 April 2025 pukul 14.24.00 WIB Hapus
Bagus ceritanya. Semangat terus, Mbak Rina.