BAB 22. Bertemu Ayah

Daftar Isi

"Ra, jujur kenapa ya aku deg-degkan mau ketemu ayahmu?" keluh Galih saat mereka bertemu di sebuah supermarket dekat sekolah keesokan harinya.

 

"Ada rasa aneh, seolah aku takut namun bahagia dan penasaran," tambahnya lagi. Zahra tersenyum meledek, "Nervest ya," jawabnya singkat, segera melangkah keluar minimarket. Galih mengikuti dari belakang, sambil ngomel sendiri, "Ih, emang benar sih, tapi kenapa ya kok tambah deg-degkan." Dia mempercepat langkahnya karena Zahra sudah di samping motor dan telah memakai helm.

 

"Masuk, Lih, dan duduk dulu ya," Zahra mempersilahkan Galih saat mereka telah tiba di rumah Zahra. Wanita berbusana coklat susu sepadan hingga hijabnya ini masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, dia keluar bersama Pak Wahyu.

 

Galih menyalami Pak Wahyu sambil mengucap salam, "Assalamu'alaikum, Pak." Pak Wahyu menerima jabatan tangan Galih, seraya menjawab salam, "Wa'alaikumsalam, silahkan duduk." Mereka berdua duduk berhadapan, sedangkan Zahra masuk untuk membuat minum.

 

"Maaf, Pak, saya baru bisa menemui Bapak, karena setiap saya ke sini Bapak tak ada," Galih membuka ucapannya. Pak Wahyu tersenyum arif, "Santai aja," jawabnya ringan.

 

"Orang tua kamu asli mana?" tanya Pak Wahyu.

 

"Ibu dari Solo dan ayah dari Yogyakarta," jelas Galih.

 

"Kata Zahra kamu guru pindahan dari Padang," tanya Pak Wahyu.

 

"Iya, Pak, saya sempat kembali ke tanah kelahiran untuk mengabdi mengajar," jelas Galih.

 

"Maksudnya apa?" tanya Pak Wahyu lagi.

 

"Saya lahir di Padang karena sewaktu ibu hamil tua, ayah ditugaskan ke Padang, namun hanya setahun dan setelahnya kembali ke Bandung. Namun saat saya masuk SLTP, ayah kembali dipindah tugaskan, kami sekeluarga pindah ke Yogyakarta sampai saya kuliah di sana. Entah mengapa selesai kuliah, saya ingin kembali ke Padang hingga akhirnya saya mengajar di SLTP 4 Padang," Galih menjelaskan tanpa berani menatap Pak Wahyu.

 

"Oh gitu," singkat Pak Wahyu menyimpulkan. Zahra datang membawa tiga cangkir minuman.

 

"Diminum dulu, Nak Galih," Pak Wahyu berkata sambil mengambil gelas minumannya.

 

"Baik, Pak, terima kasih," jawab Galih yang juga mengambil gelas minumannya.

 

Obrolan hangat mewarnai kebersamaan mereka, meski awalnya Galih tetap merasa ada sebuah kejanggalan, jantungnya terus berdebar seakan akan ada sesuatu.

 

"Kenapa sekarang kamu di Jakarta?" tanya Pak Wahyu.

 

"Saya sedang mencari seseorang, untuk itu saya merantau ke Jakarta dan coba melamar di SD Kusuma hingga saya bertemu Zahra," jelas Galih. Tiba-tiba ponsel Galih berdering, "Maaf, Pak, izin menerima telepon," ucap Galih, Pak Wahyu mengangguk.

 

"Assalamu'alaikum," Galih berkata dengan lawan bicaranya di ponsel, "Oh ya, nanti saya kesana, terima kasih." Galih menutup pembicaraan di ponsel dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.

 

"Maaf, Pak, saya harus pamit karena harus mengajar di klub bulu tangkis," pintanya, Pak Wahyu tersenyum.

 

"Sekali lagi, mohon maaf, Pak," tambahnya.

 

"Dah, tidak apa, besok kita ngobrol lebih lama untuk membicarakan urusan kalian, bila perlu ajak kedua orang tua mu," jawab Pak Wahyu.

 

"Baik, Pak, insya Allah besok saya datang bersama ayah ibu," jawab Galih sambil berdiri untuk berpamitan. Mereka bersalaman, sedangkan Zahra hanya berdiri hendak mengantar Galih sampai di depan gerbang rumah.

 

Saat Galih hendak menstater motornya, sebuah mobil berhenti di depan gerbang rumah.

 

"Paketek!" teriak kecil Zahra setelah melihat seorang laki-laki turun dari mobil.

 

"Emang paketek dah sehat," Zahra menghampiri dan menyalami adik ayahnya ini, laki-laki bertubuh gempal ini tersenyum dan mengusap kepala Zahra, "Alhamdulillah, kemarin sudah boleh pulang, kan ayah kamu yang jemput."

 

"Iya sih, tapi kok dah kelayapan sih," tanya Zahra protes. Pak Idris tertawa kecil, "Kangen sama kamu, Ra," godanya.

 

"Paketek, nih, kenalin," Zahra yang mengandeng omnya memperkenalkan Galih, laki-laki yang berkulit sawo matang ini menerima uluran tangan Galih, namun matanya menatap lurus ke Galih dengan tatapan bertanya.

 

"Kamu bukannya Galih, putra Pak Ridwan?" tanya Pak Idris penuh keheranan. Galih dan Zahra saling berpandangan, Galih menjawab, "Iya, Bapak kenal ayah saya?" jawabnya juga sedikit heran.

 

"Iya, saya kenal Pak Ridwan," jawab Pak Idris singkat, namun dia segera melangkah masuk.

 

Galih melirik ke Zahra seolah bertanya, "Ada apa sih, Ra?" Zahra tersenyum menggelengkan kepala dan menaikkan bahunya. Galih berpamitan dan segera menghilang dari pandangan Zahra.

 

 

Bersambung….


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar