BAB 21. Surat Baru Tersampaikan
"Assalamu'alaikum," sapa Galih ketika tiba di rumah
Zahra, dan Zahra sendiri yang membukakan pintu.
"Wa'alaikumsalam, yuk kita langsung jalan," jawab
Zahra sambil keluar, menutup pintu, dan menguncinya.
"Lah, kok malah pergi? Bukannya aku mau kamu kenalkan
sama ayah dan orang tua Dafa," ucap Galih heran melihat sikap Zahra yang
justru melangkah memakai helm.
"Ayah nggak bisa karena diminta paket ke rumah sakit,
jadi kita sekarang ke rumah Dafa aja," jelas Zahra dengan tatapan mengajak
Dafa segera naik motor agar cepat sampai di rumah Dafa.
"Yah, batal deh ketemu calon mertua," ucapnya
kecewa.
"Tapi oke lah kalau gitu, siap laksanakan, Tuan Putri
Cantik," jawab Galih mengoda sambil naik kembali ke motor dan bersiap
melaju menuju rumah Dafa.
"Masya Allah, gedeeee amat rumahnya," ucap Galih
saat tiba di depan rumah Dafa.
"Jangan norak gitu ah..." jawab Zahra segera turun
dari motor ketika Galih telah memberhentikan motornya dan memandang ke arah
dalam rumah Dafa. Zahra menekan tombol bel.
"Ada anjingnya nggak, Ra?" timpal Galih.
"Ngaco... Becandanya yang sopan sedikit apa,"
bentak pelan Zahra disertai tatapan protes tak suka.
"Hahahaha, maaf," timpal Galih turun dari motor.
Tak lama kemudian keluarlah seorang wanita paruh baya.
"Assalamu'alaikum," salam Zahra melihat Bi Ijah datang.
"Wa'alaikumsalam, eh, Neng Zahra," jawab Bi Ijah
sambil membukakan pintu gerbang.
"Sudah ditunggu ibu dan bapak, Neng," tambah Bi
Ijah mempersilahkan keduanya masuk. Galih naik kembali ke atas motor,
menjalankan, dan memarkirkan di halaman rumah, sedangkan Zahra berjalan menuju
pintu utama rumah.
Bu Shinta telah berdiri menyambut di ambang pintu.
"Assalamu'alaikum, Ma," salam Zahra ketika sampai
di depan Bu Shinta, dan dia menghampiri serta mencium tangan Bu Shinta.
"Wa'alaikumsalam, Cantik," jawab Bu Shinta
menyambut Zahra.
"Ma, ini Galih," ucap Zahra memperkenalkan Galih
setelah lelaki ini berdiri di samping Zahra.
"Assalamu'alaikum, Bu," ucap Galih dengan sopan
serta menyalami Bu Shinta.
"Wa'alaikumsalam, oh ini yang namanya Galih," kata
Bu Shinta saat menyambut Galih. Galih tersenyum mengangguk, "Iya, saya
Galih, Bu."
"Ayo, silahkan masuk ke dalam," ajak Bu Shinta.
"Silahkan duduk santai aja, anggap rumah sendiri,"
ujar Bu Shinta ketika mereka telah berada di ruang tamu.
"Mau minum apa nih, Ra?" tanya Bu Shinta yang telah
duduk di hadapan Zahra dan Galih.
"Apa aja, Ma," jawab Zahra.
"Papa kemana, Ma?" sambung Zahra bertanya. Bu
Shinta tersenyum, dan tak lama kemudian Pak Arif keluar. Zahra dan Galih
menyalami Pak Arif, setelahnya kembali mereka berempat duduk berhadapan.
Sunyi sesaat, Galih pun membuka obrolan dengan mengeluarkan
sebuah amplop putih dan memberikannya pada Pak Arif.
"Awal saya bertemu Dafa saat tak sengaja saya bertemu
Zahra dan Dafa yang sedang ke mal, Zahra memperkenalkan saya, dan kami bertemu
kembali di toilet, di sinilah kami saling bertukar nomor telepon hingga dua hari
kemudian Dafa mengajak bertemu," jelas Galih.
"Saat kami bertemu, Dafa menceritakan semua
permasalahannya dengan perjodohan ini serta penyakit yang dideritanya,
sekaligus menanyakan hubungan saya dengan Zahra," Galih menarik nafas,
sedikit menundukkan kepalanya.
"Saya jujur menceritakan perasaan saya pada Zahra, namun
setelah saya tahu dari Zahra soal perjodohannya dan Zahra mau menerima Dafa
untuk menjadi suaminya, meski berat rasanya melepas wanita yang saya
cintai," diam sejenak Galih melirik ke Zahra, dan melanjutkan kembali
penuturannya, "Saya sadar bila cinta tak selamanya memiliki, dan saya
melihat Zahra tulus menerima Dafa hingga saya merubah pemikiran saya,"
pelan Galih mengucap, "Saya ingin melihat Zahra bahagia, untuk itu saya
mengikhlaskannya, untuk menghindari Zahra, saya menerima tawaran kepala sekolah
untuk dipindahkan ke sekolah lain untuk mengajar di sana," sambungnya.
"Ini suratnya, Pak, dari Dafa, tolong dibuka dan
dibaca," Galih menyerahkan sebuah amplop pada Pak Arif.
"Sebelum berpisah, dia memberi surat ini dan berpesan
bahwa saya tidak boleh menghadiri pemakamannya ya bila dia meninggal, serta
saya harus menemui bapak ibu untuk menyerahkan surat ini," Galih
meneruskan perkataannya sambil membuang pandangannya. Pak Arif menerima,
membuka, membaca surat dari Dafa yang benar-benar ditulis dan ditandatangani
Dafa sendiri.
Sekali lagi Pak Arif membaca, namun kali ini dengan suara
lebih keras agar mereka semua mendengar. "Teruntuk Mama Papa tersayang,
surat ini sengaja aku titip ke Galih, dia teman mengajar Zahra di sekolah, dia
seorang guru olahraga. Sebelum Zahra mengenal aku, dia sudah terlebih dulu
dekat dengan Galih. Aku tahu Zahra suka dengan Galih, namun perjodohan ini yang
membuatnya memilih aku. Aku juga tahu bahwa Galih mencintai Zahra dari sebuah
surat yang aku temukan di tas Zahra. Maaf bukan aku yang menggelatak membuka
tas Zahra, namun ketika Zahra menemani aku ke rumah sakit dan sedang menunggu
aku kemoterapi, dia asyik membaca novel hingga saat suster membantu aku
mendekatinya, buru-buru Zahra menutup bukunya dan terjatuhlah amplop dari dalam
buku yang langsung dia masukkan ke dalam tas. Aku tak menyadari bila suster tak
memberi amplop itu padaku, aku pikir itu amplop apa, ternyata isinya adalah
surat dari Galih untuk Zahra. Galih, Zahra, maaf aku merahasiakan ini.
Penasaran aku siapa itu Galih, dan beruntung saat aku pergi dengan Zahra, kami
bertemu. Untuk itu, aku ingin mengenal Galih, dan aku mengajak bertemu. Surat
ini telah kubuat sebelum aku menemui Galih. Ma, Pa, aku ingin Zahra bahagia.
Aku minta Mama Papa meneruskan pesta pernikahan aku dengan Zahra, namun karena
Tuhan telah memanggilku, aku ingin Zahra tetap menikah tapi dengan Galih.
Karena aku tahu mereka saling mencintai. Maafkan aku, Mama Papa, aku hanya
ingin berterima kasih pada Zahra yang telah tulus mendampingi aku selama aku
mengenalnya, dan dia setia mendampingiku untuk berobat dan menjalani semua
pengobatanku. Doaku semoga Allah selalu menyayangi kalian semua. Dari aku,
Dafa," Pak Arif menarik nafasnya dalam-dalam, sebutir air mengelincir di
pipinya. Bu Shinta diam, tertunduk, terisak, tak bersuara, hanya guliran air
mata mengalir di pipinya.
Zahra dan Galih diam terheran dengan isi surat itu, terutama
Zahra yang hanya bisa tertunduk.
"Ya sudah, semua adalah kehendak Allah, bila semua ini
bisa membuat Dafa bahagia, kami setuju dan tak akan mempersalahkan
apapun," Pak Arif berkata dengan bijak. "Semua sudah jelas, kita
lanjutkan pernikahan ini, meski sekarang kamu Ra harus menikah dengan Galih,"
sambung Pak Arif.
Keempat orang ini tak banyak bicara, hanya Galih yang
berusaha meminta maaf. "Saya benar-benar tak menghendaki kejadian ini,
Pak, saya mohon maaf sebesar-besarnya dari Bapak Ibu," ucap Galih, dan
menjelaskan, "Saya tulus mencintai Zahra."
Pak Arif dan Bu Shinta tersenyum.
"Mama ikhlas dengan semua ini," ucap Bu Shinta
menatap Zahra.
"Kami merestui pernikahan kalian, dan pesta itu tetap
akan jadi milikmu, Cantik," tambah Bu Shinta.
Zahra tak mampu
berkata apapun, dia berdiri, melangkah mendekati Bu Shinta, duduk di
sampingnya, memeluk. "Maafin Ara ya, Ma," suara itu terucap tulus
dari Zahra, yang hangat memeluk Bu Shinta.
Bersambung………..
Posting Komentar