BAB 23. Pembuktian

Table of Contents

"Assalamu'alaikum," sapa Pak Idris yang telah tiba di ambang pintu rumah.

 

"Wa'alaikumsalam," jawab Pak Wahyu menyambut adiknya.

 

"Da itu Galih kan?" tanya Pak Idris sambil masuk dan duduk.

 

"Iyo, inyokawanyo Zahra mangaja di sekolah dan calon lakinyo," jawab Pak Wahyu.

 

"Oh, itu nan ka Patanguda caritokan," tambah Pak Idris.

 

"Iyo, waang ba'a batanyo nampa-nampa nyo ado nan ganjia?" tanya Pak Wahyu menyelidik.

 

"Nan awak tau inyo anak Pak Ridwan, nan awa caritokan ka uda ka Patang, inyo sadang mancari uda," jelas Pak Idris.

 

"Dan inyo saurang guru olahraga, tapi awa alun basobok jo inyo hanyo maliyek gambar inyo sajo," tambah Pak Idris meyakinkan. "Waang yakin jo inyo?" tanya Pak Wahyu pada adiknya setelah dia mendengar cerita dari adik bungsunya ini.

 

"Yo, kalau untuak meyakinkan uda masti basarobo jo Pak Ridwan," jawabnya sambil mengambil ponselnya dan mencari sebuah nama dan menelponya.

 

"Assalamu'alaikum," Pak Idris membuka pembicaraan dengan seseorang di ponselnya.

 

Loudspeaker dris," pinta Pak Wahyu, segera Pak Idris memenuhi kemauan Pak Wahyu.

 

"Maaf, Pak, putra bapak bernama Galih kan?" tanya Pak Idris.

 

"Benar, Pak," jawab orang di seberang pembicaraan.

 

"Boleh ngobrol dengan putra bapak karena kebetulan saya sedang bersama abang saya," sambung Pak Idris.

 

"Boleh, Pak, tapi mohon maaf dia sedang tidak ada di rumah," jawab orang di sana.

 

"Boleh tahu, Pak, dia kemana ya?" tanya Pak Idris lagi.

 

"Tadi pamitnya mau ke rumah calon istrinya untuk bertemu dengan ayah gadis itu, dan setelahnya dia harus mengajar di klub bulu tangkis," ujar lawan bicara Pak Idris. Zahra terbelalak mendengar jawaban itu, dia sudah duduk di samping ayahnya saat Pak Idris menelpon.

 

"Oh begitu ya, Pak, kira-kira besok pagi kita bisa bertemu tidak ya, Pak? Kan lebih cepat kita selesaikan masalah ini akan lebih baik biar hilang penasarannya," tambah Pak Idris.

 

"Baiklah, Pak, jam sembilan kita bertemu di tempat yang kemarin bisa, Pak," jawab orang itu.

 

"Baik, Pak, saya tunggu di sana, terima kasih, assalamu'alaikum," Pak Idris menutup obrolan di ponsel dan menaruhnya di atas meja.

 

Pembicaraan di telepon membuat Pak Wahyu dan Zahra terkesima, tak percaya, serta tak sabar menanti pertemuan yang disepakati.

 

"Yah, apa mungkin Galih adalah kakak Ara?" tanya Zahra lirih, tak sanggup membayangkan bila memang Galih adalah kakak laki-lakinya. Pak Wahyu menggeleng, menutup matanya, menahan senyum, raut mukanya cemas, berharap pada satu rasa.

 

"Itu mereka ala tibo," kata Pak Idris ketika melihat tiga orang berjalan mendekati meja mereka. Zahra diam, menutup mulutnya dengan sebelah tangan ketika melihat Galih ada di antara ketiga orang itu, "Galih," teriaknya pelan.

 

Tak karuan perasaan Zahra kala harus menyadari dan menatap Galih, dia nyaris berteriak ingin menyangkal bila Galih bukan kakak kandungnya. Sikap Galih sangat kikuk berhadapan dengan Zahra, keceriaannya luntur seketika melihat Zahra ada di antara orang yang ingin ditemuinya. Mereka membuang tatapan seakan tak mau berada dalam satu persoalan ini.

 

"Assalamu'alaikum," Pak Idris lebih dahulu menegur dan menyalami Pak Ridwan. Pak Ridwan membalas salam, menerima jabat tangan Pak Idris.

 

"Ini uda saya dan putrinya," Pak Idris memperkenalkan Pak Wahyu dan Zahra, mereka saling berjabat tangan.

 

"Ini istri saya dan anak laki-laki yang kemarin saya ceritakan," kini Pak Ridwan memperkenalkan keluarganya. Galih menyalami Pak Wahyu dalam diam, dilanjutkan dengan menjabat tangan Zahra, dingin sekali keduanya terbelenggu dalam pemberontakan tak percaya. Akhirnya mereka duduk mengitari meja, dua keluarga ini diam, tak mengerti ingin memulai dari mana. Pak Idris mempersilahkan mereka makan dulu, dan lagi-lagi suasana dingin menyelimuti makan bersama ini. Zahra tak berselera, hanya mengaduk-aduk saja jus alpukat di hadapannya, sedangkan Galih yang selalu riang, penuh canda, kini hanya membisu, bahkan dia tidak mau memesan apapun meski telah dibujuk oleh kedua orang tuanya. Pandangan Galih menyapu seisi ruangan, dia tak berani menatap, bahkan melirik ke arah Zahra.

 

"Kita tidak mungkin mengambil kesimpulan hanya dengan bercerita, harus ada tes DNA untuk membuktikan kebenaran ini," Pak Idris membuka obrolan setelah mereka menikmati menu makanan yang tersaji.

 

"Saya setuju," jawab Pak Ridwan, "Kalau bisa hari ini juga, biar tidak penasaran," lanjutnya.

 

Pak Wahyu mengangguk, sedangkan Zahra dan Galih tak mampu berkata, hanya diam, membisu.

 

Pertemuan dilanjutkan di rumah sakit untuk melakukan tes medis agar Pak Wahyu, Galih, dan Zahra mengetahui kebenaran ini. Hanya diam itu yang menyelimuti kebersamaan mereka. Pak Wahyu terlihat sangat sedih, bercampur raut kecewa. Zahra duduk mematung di samping ayahnya, sedangkan Galih yang duduk di sebelah Zahra selalu menolehkan kepalanya kesisi lain saat mereka bertiga menunggu panggilan untuk tes DNA.

 

Keluar dari dalam sebuah ruangan, mereka bertiga melangkah dengan lunglai, Pak Idris serta Pak Ridwan dan istri yang menunggu menyambut mereka.

 

"Baiklah, kita harus sabar menunggu dua hari lagi untuk memastikan dugaan ini," Pak Idris berkata setelah Pak Wahyu, Galih, dan Zahra menjalani tes, dan mereka semua berdiri di lobi rumah sakit.

 

Saling berpamitan, kedua keluarga ini pulang dengan berjuta pertanyaan dalam harapan masing-masing.

 

 

Bersambung……


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar