Cincin bermata tiga bagian 17

Table of Contents

Mobil Cayla hitam terparkir di seberang pintu pemakaman. Taufik, yang sengaja meminjam mobil temannya, sedang mengamati aktivitas prosesi pemakaman Arya. Dia juga mengenakan kumis palsu dengan topi hitam sebagai penyamaran. Kaca mobil dibukanya lebar untuk mendengar pembicaraan orang di dekatnya. Dia sudah memantau area pemakaman sebelum rombongan keluarga datang. Dari sekuriti kompleks, dia mengetahui di mana jenazah Arya akan dimakamkan.

 

“Lama amat ya,” gerutunya tak sabar menanti rombongan keluarga kembali pulang. Dia ingin membuat strategi menculik salah seorang anak Setiawan, sebagaimana perintah Ki Sastro. “Apa aku turun aja ya?” Dia mempertimbangkan segala kemungkinan bila ada salah satu keluarga yang mengenalinya. “Ah, pake ini aja dulu,” ucapnya sendiri sambil memasang rambut palsu serta menempelkan tahi lalat palsu di dagunya. Dia menatap wajahnya sendiri di kaca spion dalam. “Ah, kayanya sempurna deh penyamaran aku,” soraknya riang dalam hati ketika memperhatikan dandanan penyamarannya. Lalu dia menutup kaca jendela mobil dan turun melangkah masuk ke area pemakaman.

 

Belum sempat dia sampai di dekat area dimana liang untuk Arya dimakamkan, dia mendengar kasak kusuk selentingan orang yang mengatakan bahwa ada mayat yang hidup lagi. “Mati suri kali tuh mayat,” komentar seorang tukang gorengan yang berdagang di area parkir pemakaman. “Iya, bener bang, untung belum diurukin tanah ya tuh mayit,” balas orang yang berdiri di sampingnya. Taufik menghentikan langkahnya menyimak tentang apa yang terjadi, dia mendekati gerobak gorengan itu. “Siapa yang hidup lagi bang?” tanya Taufik penasaran kepada tukang gorengan. “Itu katanya mayat yang mau dikubur hidup lagi, Pak,” jawab tukang gorengan menatap Taufik sebentar lalu bola matanya mengarah ke dalam area pemakaman. Taufik diam berusaha berpikir cepat. “Tak ada yang mau dimakamkan kecuali Arya, apakah...?” pikirannya segera ditapisnya. “Aaahh, masa sih,” dia menggelengkan kepala dan tak berapa lama munculah rombongan keluarga itu. Taufik mundur bersembunyi di balik tubuh tukang gorengan, memperhatikan semua gerak-gerik rombongan keluarga itu. Matanya terbelalak ketika melihat Arya menggandeng Sifa yang berjalan menuju mobil. Raut muka Arya tak menggambarkan telah terjadi sesuatu apapun padanya. Taufik mengepalkan tinju tangannya di samping pahanya. “Astaga, kenapa dia hidup lagi,” gumamnya pelan lalu dia melangkah bergabung bersama rombongan keluarga. Taufik berjalan di belakang Ustad Tarno dan Abi Abas. “Ini bukti kuasa Allah, semoga kita bisa secepatnya melepas cincin dari tangan Sifa dan menyelesaikan masalah ini sesegera mungkin,” ucap Abi Tarno sambil terus berjalan ke mobil. “Betul, Bi,” timpal Ustad Abas.

 

“Gagal dong pembunuhan ini,” ungkap Taufik kesal ketika telah duduk kembali di dalam mobil. Dia mengambil ponselnya yang tergeletak di kursi samping. “Lah, kok mati nih HP,” gerutunya lalu menghidupkan layar. “Astaga,” pekiknya setelah melihat betapa banyaknya panggilan dari Ririn, istrinya. “Gawat nih, kenapa Ririn ke rumah Ki Sastro, pasti dukun itu sudah tahu kalau Arya masih hidup,” ucapnya sendiri lantas menelpon Ririn. “Mas, kamu kemana aja,” bentak Ririn ketika memulai percakapannya menerima telepon dari suaminya. “Tenang, Rin, aku tadi memantau pemakaman Arya, eh sialan si Arya itu hidup lagi,” jawab Taufik yang juga bernada kesal. Ririn melotot dan berseru, “Arya hidup lagi.” Supir taksi menoleh sejenak memastikan penumpangnya baik-baik saja, namun dia tak berkomentar. “Sekarang kamu sudah sampai mana?” tanya Taufik. “Baru mau masuk tol,” jawab Ririn menolehkan kepala ke kanan kiri dengan debaran jantungnya yang tak menentu mendengar kabar Arya hidup lagi. “Ya sudah, kamu minta berhenti di restoran yang kemarin kita makan, tunggu aku di sana trus kita bareng ke rumah Ki Sastro,” perintah Taufik. Ririn segera menyuruh supir taksi ke tempat yang dimaksud. Dalam benak Ririn timbul banyak kemungkinan yang akan terjadi, bulu kuduknya merinding membayangkan apa yang akan Ki Sastro perbuat padanya dengan kejadian ini. “Sialan tuh Arya, gimana caranya dia bisa hidup lagi,” umpat Ririn.

 

“Li, gue mau ngomong penting nih,” Mala mengucapkan sesuatu yang membuat Lia menoleh ke arahnya. Mala mengangguk tersenyum. “Tapi gue maunya ngomongnya ada Abi Umi dan Ustad Abas aja,” lanjutnya. “Emang kenapa?” singkat Lia menjawab. “Nanti lo tahu sendiri deh,” tambah Mala yang kemudian terdiam. Mereka sudah sampai di rumah, sedang beristirahat membiarkan Arya dan Sifa melepas semua rasanya di ruang keluarga. “Kalau emang penting ya udah buruan kita panggil Abi sama Uminya,” Lia seperti mengerti apa yang akan Mala sampaikan, Mala menangguk lalu berdiri mencari Umi dan mendekatinya.

 

“Pak Otong tadi kasih ini ke Mala,” gadis berlesung pipi berbulu mata lentik ini menyodorkan sebuah bungkusan kain putih ketika mereka berlima telah duduk di ruangan lain. “Apa itu?” tanya Umi. Mala membuka lipatan kain putih itu yang isinya adalah dua tulang sebesar jari kelingking. “Katanya kita harus secepatnya mengeluarkan cincin dari jari Sifa dan Lia lah yang bisa mengeluarkan cincin itu,” jelas Mala menoleh ke Lia yang duduk di sampingnya. “Gunakan manik-manik itu, eh maksudnya tasbih loe li,” lanjut Mala melirik tangan Lia yang tak memegang tasbih yang dimaksud. “Kita enggak boleh keduluan sama serangan berikutnya,” tambah Mala. Lia menarik nafas menggigit bibir. “Apa sih maksudnya dari semua ini,” lirih Lia berucap. Sekali lagi dia menarik nafas menghempasnya sambil mengubah posisi duduknya. “Berarti secepatnya kita rukyah lagi, Bi,” Ustad Abas memberikan pendapat, Abi Tarno mengangguk, Mala melipat lagi kain putih itu dan menyerahkan kepada Abi Tarno. “Abi aja yang pegang ini, Mala takut,” katanya sedikit gemetaran. “Kata Pak Otong juga kalau bisa semuanya kita kubur jangan di biarkan aja,” lanjut Mala, semua orang terdiam dengan pikirannya masing-masing.

 

Di dalam kamar, Sifa telah duduk membentuk lingkaran dengan Abi Tarno, Ustad Abas, Pak Setiawan, Pak Anto, Lia, Mala, Bu Ratmi, Arya, dan Sifa, sementara kedua orang tua Mala sudah pamit pulang. Abi Tarno telah menjelaskan apa yang akan mereka lakukan. Sifa, yang menyadari dirinya yang memakai cincin itu, berusaha membuka cincin itu, tapi selama dia memutar cincin itu dari jari telunjuknya, cincin itu tak bisa digerakkan sedikitpun, seakan-akan cincin itu melekat di jari Sifa. “Ma, kok cincinya enggak bisa bergerak ya,” Sifa sedikit panik menoleh ke mamanya. “Fa, emang kapan kamu dapat cincin itu,” tanya Lia yang duduk di samping Arya. “Seminggu yang lalu waktu Bulik Ririn datang ke sini,” jawab Sifa yang membuat Lia serta yang lainnya terperangah. “Bulik Ririn ke sini?” tanya Bu Ratmi, Sifa mengangguk. “Mama dan Papa waktu itu masih kerja, cuma ada Bi Sri aja, dan Bulik juga cuma sebentar,” jelas Sifa menatap Bu Ratmi yang duduk di samping kirinya. “Bi, Lia pernah dengar kalau ilmu santet itu pasti yang mengirimnya kasih buhul atau menanam sesuatu sebagai media serangan mereka,” ucap Lia. “Iya, bener tuh Bi, Mala juga suka denger kaya gitu di Youtube atau TikTok,” lanjut Mala. “Apa kemarin sewaktu Bulik Ririn kesini, siapa tahu dia naruh sesuatu di rumah ini,” Lia memberikan pendapatnya. Abi Tarno mengernyitkan dahi mencoba menelaah ucapan Lia. “Bener tuh Bi, kata Lia,” Ustad Abas berkomentar menanggapi ucapan Lia. “Pasti ada sesuatu yang Bu Ririn simpan di rumah ini,” lanjut Ustad Abas. Abi Tarno dan Umi Yani menatap adiknya penuh tanya. “Biar Abas minta tolong sama teman Abas ya Bi yang biasa menangani urusan seperti ini,” Ustad Abas lalu mengambil gawainya dan menelpon seseorang. “Ya, sudah kalau gitu, Bu Arya dan Sifa istirahat aja ya,” Abi Tarno mencoba mengatur situasi agar tetap tenang. Bu Ratmi berdiri dan menyuruh Sifa serta Arya juga berdiri. “Yuk, Sifa berdiri dan duduk di kasur aja,” ajak Bu Ratmi. Sifa dan Arya pun berdiri dan melangkah ke ranjang. Abi Tarno, Ustad Abas, dan Pak Setiawan keluar dari kamar dan berjalan ke teras rumah untuk menunggu teman Ustad Abas yang akan membantu mencari keberadaan buhul yang Ririn taruh di rumah ini. Sementara Lia dan Mala masih di kamar Sifa tetap duduk di lantai sambil terus memperhatikan Sifa.

 

Mala, yang menyandarkan punggungnya ke dinding, tiba-tiba matanya terbelalak ketika tatapannya mengarah ke cincin yang Sifa pakai. “Li, lihat tuh, cincin Sifa menyala lagi,” serunya menepuk bahu Lia yang ada di sisinya.

 

 

Bersambung.....


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

2 komentar

Yuk komennya, boleh banget kalau mau request atau yang lainnya. kami harapkan Masukan berupa kritikan dari kalian dengan bahasa yang membangun
Comment Author Avatar
Ani
Kamis, 17 Oktober 2024 pukul 13.29.00 WIB Delete
Ĺanjut..
Comment Author Avatar
Anonim
Kamis, 17 Oktober 2024 pukul 15.05.00 WIB Delete
Terlalu sedikit ini. Oktavini