Antara aku, kamu dan dia (tamat)
"Jadi,
kamu mau membatalkan acara besok, Dek?" tanya Ayah Zalfa, sedikit tak
percaya. Laki-laki paruh baya ini menatap putri bungsunya dengan serius. Zalfa
mengangguk. Hening sejenak, Ayah, Ibu Zalfa, serta kakak pertamanya diam, tak
mengerti apa maksud sebenarnya dari Zalfa.
"Adek
enggak mau menjalani sesuatu karena terpaksa, ya?" ucap Zalfa, menatap ke
arah lain, menghindari tatapan tiga orang yang sedang memperhatikannya.
"Toni
yang menginginkan acara ini, seperti Ayah dan Ibu kan juga sudah tahu,"
lanjut Zalfa.
"Emang
kamu tak mencintai Toni, Fa?" tanya Mbak Nay, kakak perempuan Zalfa.
"Entahlah,
Mbak," Zalfa menggeleng.
"Toni
itu mantan Mila. Mereka sebenarnya belum resmi putus karena Toni masih meminta
Mila untuk menemuinya jika Mila ke Solo," perkataan Zalfa membuat mata
Mbak Nay melotot.
"Pacar
Mila," serunya tertahan, Zalfa mengangguk.
"Jujur,
sebenarnya Ibu juga agak belum setuju sama anak Toni, tapi melihat kamu juga
serius, Ibu hanya bisa memberi kesempatan pada adek untuk memilih," Ibunya
akhirnya mengutarakan pendapatnya.
"Kalian
baru mengenal sebulan, tapi kenapa Toni secepat itu melamar kamu, ditambah
minta acara pernikahannya juga dilakukan secepatnya? Bukankah itu sebuah
kejanggalan," lanjut Ibunya.
"Iya,
orang ta'aruf aja enggak ngebet kaya gitu," celetuk Mbak Nay, tersenyum
sinis.
"Nah,
itu juga sebenarnya pertimbangan adek," timpal Zalfa.
"Ya
sudahlah, kalau begitu kita selesaikan masalah ini secepatnya," Pak Suraji
mendesah, mengubah posisi duduknya.
"Besok
kita yang ke rumah orang tua Toni dan mengatakan pembatalan acara ini sebelum
mereka datang ke rumah kita," lanjut Pak Suraji, menyandarkan punggungnya
ke sandaran sofa. Zalfa menarik nafas lega, tersenyum.
"Terima
kasih, ya," dia berdiri, melangkah mendekati Ayahnya, dan duduk di
sampingnya, merangkul Ayahnya yang juga merangkul putrinya.
Zalfa
bersorak riang ketika Ayahnya akhirnya bisa mengerti apa yang dia mau, apalagi
mendukung membatalkan acara lamaran itu. Meski hatinya sedikit masih bimbang,
mengapa secepat ini dia bisa mengambil sikap. Apakah ini tidak keterlaluan?
Perang batin mengusik dirinya menjelang tidur.
"Bismillah,
semoga aku tidak salah bertindak," ucapnya pada diri sendiri. Senyum Toni
yang mengoda melintas, memberi sebuah keraguan.
"Maafkan
aku, Mas Toni, memang sih kamu baik tampan, tapi..." Zalfa mengibaskan
tangannya.
"Aaahhh,
apaan sih," dia kemudian meraih bantal di sisinya lalu menutup wajahnya
dengan bantal itu.
Setelah
sholat subuh, Mila bergegas ke dapur. Dia ingin membantu Ibu Zalfa yang sedang
menyiapkan sarapan.
"Mila,
bantu apa, Tante?" tanya Mila ketika telah berdiri di samping Ibu Zalfa
yang sedang meracik bumbu. Bu Asih menoleh, tersenyum.
"Enggak
usah, kamu bangunkan Zalfa aja sana ke kamarnya," jawab Bu Asih, yang
dengan ekor matanya menunjuk ke arah kamar Zalfa yang masih tertutup.
"Lisa
juga sepertinya belum bangun, jadi kamu bangunkan mereka aja, suruh sholat
subuh," lanjut Bu Asih, tersenyum.
"Baik,
Tante kalau gitu," ucap Mila. Sebelum gadis berkacamata ini melangkah, Bu
Asih lebih dulu berucap.
"La,
kamu berapa lama mengenal Toni?" ucapan itu membuat Mila kembali menatap
Bu Asih.
"Maksud
Tante?" tanya Mila singkat.
"Iya,
sudah berapa lama kamu mengenal Toni?" jawab Bu Asih.
"Setahun
yang lalu, Teh, tapi tiga bulan yang lalu Toni mendadak pindah ke Solo. Katanya
dia dipindahkan tugas, tapi Mila pernah ke tempatnya bekerja, eh ternyata kata
teman Toni, dia malah dipecat secara tidak terhormat, bukan dipindahkan
tugas," jelas Mila.
"Maksudnya
apa?" Bu Asih tak mengerti.
"Mila
juga bingung, Teh, karena teman Toni tidak mau menjelaskan apa masalahnya,
malahan sebulan berikutnya nomor Toni sudah sama sekali tidak bisa
dihubungi," ucap Mila tertunduk.
"Waktu
Zalfa bercerita mau lamaran, Mila pikir ini kesempatan mencari Toni karena dia
pernah memberikan alamat rumahnya, tapi semalam Mila kasih tahu Zalfa itu
alamat palsu," lanjut Mila meremas jemarinya.
"Alamat
palsu," Bu Asih melotot, tambah tak mengerti. Mila mengangguk.
"Zalfa
kemarin mencari di Google, ternyata itu taman pemakaman," ucap Mila.
"Aneh,
kenapa dia kasih alamat palsu ke kamu?" tanya Bu Asih.
"Mila
juga enggak tahu, Tante. Rencananya hari ini Mila dan Zalfa mau menemui Toni
untuk minta penjelasan dari dia," jawab Mila, Bu Asih menggeleng sambil
berdecak.
"Ya
sudah, kamu bangunkan Zalfa aja sana," perintah Bu Asih, yang kembali
sibuk dengan racikan bumbunya.
"Kamu
yakin enggak perlu Ayah dan Ibu untuk menyelesaikan masalah ini?" tanya
Pak Suraji pada Zalfa, ketika keluarga ini sedang sarapan.
"Enggak
usah, ya. Biar adek dibantu Mila aja yang menyelesaikannya," jawab Zalfa
ringan.
"Ya
sudah, kalian sudah dewasa dan harus berpikir bertindak sebaik mungkin. Jangan
ikuti hawa nafsu, belajarlah berpikir kemungkinan yang akan terjadi dari sebuah
keputusan yang akan diambil," ucap Pak Suraji sambil membersihkan mulutnya
karena telah selesai makan.
"Siap,
Pak Bos," riang Zalfa menjawab, yang membuat telinganya disentil oleh Mbak
Nay.
"Aduh,
sakit, Mbak," rintih Zalfa sambil memegangi telinganya, namun senyumnya tampak
riang.
Mila
dan Zalfa telah berboncengan di sepeda motor. Zalfa yang mengendarai Honda Beat
terlihat sangat gesit memacu si roda dua di jalan protokol Grogolan.
"Fa,
loe yakin dengan keputusan ini?" tanya Mila.
"Yakinlah,
lah. Masa gue setengah-setengah sih," jawab Zalfa, terus memacu sepeda
motor ini menuju jalan Semanggi Kidul rumah Toni.
"Gue
degdegkan nih, Fa," ucap Mila lagi. Gadis ini merangkul pinggang
sahabatnya, berpegangan. Zalfa menoleh sesaat, tertawa.
"Hahahahhahah,
kenapa jadi loe yang grogi gitu?" balas Zalfa sedikit mengoda.
"Enggak
tahu," singkat Mila menjawab manyun. Suara sirene ambulance membuat Zalfa
sedikit menepikan motornya. Bahkan Zalfa sempat menghentikan motornya di tepi
jalan, melihat iring-iringan mobil ambulance dengan beberapa motor polisi.
Banyak kendaraan juga memperhatikan ambulance itu hingga suasana di tepi jalan
sedikit ramai.
"Sepertinya
ambulance itu membawa orang khusus, deh," ucap Mila yang juga memfokuskan
pandangannya pada gerakan ambulance itu yang semakin mendekat dengan suara
sirene yang lebih kencang. Tak berapa lama, ambulance itu melintas dan terus
bergerak menjauh.
"Iya,
ketat banget ya pengawasannya," timpal Zalfa. Setelah ambulance menjauh,
Zalfa kembali mengendarai motornya menuju rumah Toni.
Lima
belas menit kemudian, Zalfa telah memasuki kawasan jalan Semanggi Kidul,
tinggal beberapa puluh meter lagi mendekat ke rumah Toni.
"Kok
banyak polisi ya, Fa?" tanya Mila yang melihat ada tiga polisi yang
berjaga di depan gerbang perumahan Griya Pangestu. Zalfa menepikan motornya,
mengamati sekitarnya yang tampak sepi.
"Iya
la, kok tumben ya, ada apa ya," Zalfa menolehkan kepalanya ke kanan kiri,
memastikan ada apa sebenarnya yang terjadi. Selagi kedua gadis ini terdiam
menyelidik, tiba-tiba seorang polisi menghampiri mereka.
"Selamat
pagi, Mbak," sapa sang polisi yang bernama Sutarjo.
"Pa
pagi, Pak," terbata Zalfa menjawab.
"Mbak
berdua mau kemana?" tanya polisi itu, Mila segera turun dan telah berdiri
berhadapan dengan polisi itu.
"Kami
mau masuk ke perumahan itu, Pak," jawab Mila.
"Ada
keperluan apa?" tanya polisi itu dengan tatapan selidik.
"Maksudnya
mau ke rumah siapa?" polisi itu menegaskan perkataannya.
"Ke
rumah Pak Toni, Pak," jawab Mila.
"Toni,
siapa?" kembali polisi itu bertanya.
"Toni
Mustafa," singkat Mila menjawab, polisi itu terkejut ketika Mila menyebut
nama itu. Dia menatap Mila dan Zalfa satu persatu, seolah ingin mengetahui
siapa dua gadis di hadapannya.
Mila
dan Zalfa menoleh berbarengan, membuat keduanya saling bertatapan dan kembali
menatap ke arah pak polisi di depan mereka.
"Kalian
siapa dan ada keperluan apa dengan Pak Toni?" tanya pak polisi itu tegas.
"Tapi
kalian bisa ke pos jaga dulu, kita interogasi di sana."
Mila
dan Zalfa kompak berseru kaget.
"Interogasi?"
"Maksudnya
apa, Pak?" tanya Zalfa yang telah turun dari motor. Polisi itu tersenyum.
"Silahkan
kalian parkirkan motor itu di sana, dan kita ke pos untuk menjelaskan persoalan
ini," polisi itu menunjuk sebuah tempat agar Zalfa memarkirkan motornya,
lantas polisi itu menyuruh kedua gadis ini masuk ke dalam pos sekuriti.
Tiga
orang polisi berseragam lengkap mengitari Mila dan Zalfa yang telah berada di
pos sekuriti. Mila menggandeng Zalfa, kedua gadis ini tampak kebingungan dengan
apa sebenarnya yang terjadi.
"Sebenarnya
ada apa ya, Fa?" tanya Zalfa, sedikit berbisik. Mila menggeleng. Mereka
memang tidak mengerti apapun ketika mereka tiba di depan gerbang kompleks yang
sudah dijaga polisi, dan saat mereka masih menebak apa yang terjadi, seorang
polisi menghampiri mereka. Ketika mereka menyebut nama Toni, justru kedua
sahabat ini disuruh ke pos sekuriti.
"Kalian
siapa dan ada hubungan apa dengan Toni?" tanya salah satu polisi yang
berdiri tepat di hadapan Zalfa. Polisi itu menatap Zalfa dan Mila secara bergantian,
Mila menggigit bibirnya mencoba untuk menjawab, namun Zalfa lebih dulu
menjelaskan.
"Saya
calon tunangannya dan ini sahabat saya," Zalfa menoleh ke Mila.
"Calon
tunangan?" tanya polisi itu, menatap lekat ke Zalfa, Zalfa mengangguk.
"Tapi
rencananya saya mau temui Toni karena saya mau membatalkan acara lamaran
itu," ucap Zalfa, membuang pandangannya ke arah lain.
"Kenapa
begitu?" tanya polisi itu lagi.
"Karena
saya tidak mencintainya," singkat Zalfa menjawab.
"Kok
bisa gitu?" polisi itu lagi menimpali, Zalfa tersenyum kecut.
"Ya
untung saja saya belum menerima lamaran itu ketika saya menyadari bahwa saya
tidak mencintainya," jelas Zalfa, menarik nafas dalam.
"Sebenarnya
ada apa sih, Pak?" Mila memotong penjelasan Zalfa, dia penasaran
sebenarnya apa yang terjadi dan mengapa para polisi itu menahannya di pos ini,
sementara ada beberapa orang yang dibebaskan hilir mudik setelah diinterogasi.
"Toni
adalah salah satu daftar orang yang kami incar," ucap polisi yang bernama
Sutarjo.
"Maksudnya,"
ucap Mila dan Zalfa berbarengan, tak mengerti dan sangat terkejut. Keduanya
melotot, menatap Pak Sutarjo.
"Toni
adalah salah satu pengedar narkoba," jawab Pak Sutarjo, yang membuat Zalfa
menutup mulut dengan sebelah telapak tangannya.
"Pemadat,"
Mila sedikit berseru, Pak Sutarjo mengangguk.
Pak
Sutarjo menjelaskan semua persoalan Toni yang sudah diintai sejak sebulan yang
lalu, dan tadi malam salah satu tim penyamar berhasil menangkap Toni. Toni
tertangkap karena dia sendiri yang memberikan barang terlarang itu kepada tim
penyamar, namun ketika menyadari bahwa dia sedang dijebak, Toni berusaha
melarikan diri hingga salah satu kaki Toni terpaksa ditembak, dan kini Toni sedang
dilarikan ke rumah sakit. Zalfa dan Mila diam, tak percaya dengan apa yang
didengar. Mereka hanya bisa mengekspresikan dengan saling merangkul.
Tamat…….
Posting Komentar