Antara aku, kamu dan dia bagian 1

Daftar Isi

Sudah hampir 30 menit Kamila berada di halte bus ini, tapi bus yang dinanti belum juga datang. Udara pagi mulai menghangat, sang mentari semangat memancarkan sinarnya, langit cerah namun tak secerah moody Mila, sapaan gadis berzodiak Aquarius ini.

 

Ya, Kamila hari ini akan bertemu sahabat kecilnya yang sudah pindah ke kota lain. Kebetulan Zalfa, nama sahabatnya, sedang berada di Jakarta beberapa hari untuk menyelesaikan tugas kantornya. Berkali-kali Mila melihat jam tangannya, sekarang sudah jam 07.25, tapi Mila masih tetap berada di sini, padahal dia sudah ada janji dengan Zalfa jam 07.30 di tempat yang telah mereka sepakati.

 

Mata Mila selalu tertuju ke arah datangnya bus, tapi tak kunjung juga bus itu datang. Beberapa bus singgah sebentar, menerunkan dan menaikkan penumpang lantas jalan kembali. Halte ini telah berganti orang, yang berada di sini hanya tinggal Mila dan dua orang wanita lain yang belum juga meninggalkan tempat pemberhentian bus di kawasan Mampang Prapatan Jakarta Selatan. Mila mulai putus asa, terlebih lagi dia merasa tak nyaman dengan perutnya yang mulai terasa sakit. "Aduh, lama amat ya, mana perutku mules lagi," gerutunya sambil meringis menahan sakit dan mencoba terus berusaha sabar. Bola matanya selalu tertuju ke arah kedatangan bus, meski sesekali dia menyapu pemandangan sekitar dengan tatapan putus asa.

 

Dari kejauhan, Mila melihat sebuah bus dengan nomor yang ditunggunya. Segera Mila melambaikan tangan menghentikan bus. Setelah bus berhenti, wanita penyuka novel ini naik ke dalam bus. Ternyata bus sedikit agak penuh, tapi Mila tetap memaksakan diri masuk ke dalam bus karena Mila merasa tak enak pada Zalfa yang sudah menanti di sana, dan Mila ingin segera ke toilet untuk membuang rasa sakit perutnya.

 

Di dalam bus yang sedikit penuh, Mila berdiri menikmati perjalanannya, meski sesekali Mila memegang perut menahan rasa sakit. Untung jarak tempuh tak terlalu jauh dan tidak macet, jadi Mila masih dapat menguasai diri menahan sakit perutnya. Bus tiba di tempat yang Mila tuju, Mila menghentikan bus dan segera turun dari dalam bus. Menunggu jalan sepi, Mila berlari kecil menyeberang jalan, kemudian berjalan agak cepat menuju tempat yang telah mereka sepakati. Sesampainya di sana, Zalfa belum juga datang. Mila duduk memandang sekitarnya, suasana di taman kota ini sangat ramai dengan pengunjung serta pedagang. Udara pagi mulai terasa panas dengan terik sinar matahari, tetapi pohon-pohon rindang yang mengelilingi taman kota membuat angin terus berhembus sehingga meskipun panas, tapi masih terasa sejuk.

 

Mila menanti Zalfa yang belum juga datang, sementara Mila ingin mengambil ponselnya, tiba-tiba mata Mila melihat sebuah dompet tak jauh dari tempat duduknya. "Dompet siapa tuh," gumamnya dalam hati. "Aku ambil ngga ya?... tapi males aahh," gerutunya sendiri. "Penasaran sih punya siapa, kasihan kalau orangnya ngga enggeh trus nyariin," Mila bangkit, melangkah mendekati dompet itu, membungkuk, mengambil dompet berwarna hitam itu. Segera Mila membuka dompet berwarna hitam, ternyata di dalamnya ada uang serta beberapa kartu identitas diri, dan ada kartu nama bertuliskan Kalifa Fais lengkap dengan alamat serta nomor telepon. "Wah, masih lengkap amat nih isi dompet, kayanya pemiliknya ngga sadar dompetnya jatuh," Mila bicara sendiri. Mila mengambil ponselnya, segera Mila menelpon nomor telepon yang tertera di kartu nama itu. Mila memulai pembicaraan dengan berkata, "Pagi, maaf, benar ini dengan Kalifa?"

 

Di seberang, percakapan orang tersebut menjawab, "Benar, ini siapa ya?" Mila menjawab, "Saya Mila, saya menemukan dompet kamu di Taman Sumantri. Saya membukanya dan saya temukan sebuah kartu nama, dan saya telpon deh nomer ini." Laki-laki itu kaget dan tersadar bahwa dompetnya memang sudah tak ada. "Astaqfirulloh, iya benar dompet saya ngga ada, dan saya Kalifa." "Sekarang kamu dimana?" tanya nya lagi. "Saya masih di Taman Sumantri dan duduk di tempat dompet kamu jatuh," jawab Mila. "Oke, kalau gitu, boleh ngga kamu tungguin saya sebentar, saya mau ambil dompet itu," pinta laki-laki itu. "Boleh. Tapi jangan terlalu lama," jawab Mila. "Ngga lama tuh, karena saya masih di sekitar taman ini," jelas laki-laki itu lagi. Mila menutup telponnya, "Ada-ada aja sih kejadiannya," gerutu Mila. Mila menarik nafas, memandang sekeliling, dan kembali memainkan ponselnya.

 

Selagi asyik bermain games, datanglah seorang laki-laki berpakaian kasual mendekatinya. "Assalamu'alaikum," sapa laki-laki itu. Mila menoleh, "Wa'alaikumsalam." "Saya Kalifa, boleh saya ambil dompet saya," pinta laki-laki yang bernama Kalifa. Mila tak menjawab, dia menatap lekat-lekat laki-laki di hadapannya. "Dompet???" tanya Mila melotot. "Mba, Mila kan yang tadi menelpon saya," sambung Kalifa. Mila membisu, dia menelpon seseorang, ternyata ponsel Kalifa lah yang berdering. Kalifa tersenyum, mengangkat telponnya, "Benarkan mba ini Mila," kata Kalifa sambil menaruh ponselnya di telinga.

 

Mila tersipu malu, dimatikan ponselnya, dan meletakkannya dalam tas. "Maaf untuk memastikan aja," jawab Mila singkat. Kalifa meraih sebuah kursi dan duduk di hadapan Mila. "Santai aja, malah saya suka cara mba Mila," kata Kalifa. "Eh, kita belum kenalan, saya Fais," tambahnya sambil mengulurkan tangan. Mila membalas, mereka saling berjabat tangan. "Saya Fais," katanya lagi. "Fais atau Kalifa?" tanya Mila. "Nama depan sih Kalifa, tapi panggil aja Fais," sambung Fais. "Saya Mila," jawab Mila, melepas jabatan tangan itu, dan berkata lagi, "Dompet kamu apa warnanya?" "Hitam dan di depannya ada stiker logo Chelsea," jelas Fais. "Terus apa aja isi dompet itu?" tanya Mila, menyelidik. "Ada kartu ATM BCA, KTP, kartu asuransi AIA, SIM, dan uang 650 ribu yang semuanya dalam pecahan 50 ribuan, serta kartu nama Kalifa Fais," jelas Fais panjang lebar.

 

Mila tersenyum, "Maaf, hanya untuk memastikan lebih jelas." Fais tersenyum, mengangguk, serta mengacungkan jempol, "Hebat... salut deh, atau jangan-jangan kamu detektif lagi, hahahaha," tawa kecil Fais. Mila tersenyum kecut, dan memberikan dompet itu pada Fais. "Ini dompet kamu, periksa dulu," kata Mila. Fais menerimanya, dan hanya sekilas membuka. "Lengkap banget, terima kasih ya, Mbak Mila," jawabnya sambil berdiri. "Maaf, saya jalan dulu, senang bisa kenalan sama Mbak Mila, cantik, pintar, dan teliti lagi," kata Fais, menatap Mila, dan segera melangkah meninggalkan Mila. Mila tersenyum sendiri, "Ih, ngapain tuh orang sok kepedean," gerutunya. Kembali dia menanti Zalfa yang belum juga datang.

 

 

Bersambung………


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar