Antara aku, kamu dan dia bagian 2

Table of Contents

Mila melihat jam tangannya, sudah jam 08.25, tapi Zalfa belum juga datang. "Zalfa kemana ya, kok lama amat ngga datang," gumamnya kesal.

 

"Assalamu'alaikum, Fa, lagi dimana sih?" tanya Mila, mencecar saat dia menelepon Zalfa yang ditunggu namun belum juga datang.

 

"Wa'alaikumsalam, eh Mil, sorry gue telat banget nih, jalan macet," jawab Zalfa di seberang obrolan.

 

"Loe masih di daerah mana sih, Fa?" tanya Mila lagi.

 

"Pancoran, Mil, sabar ya," pinta Zalfa.

 

"Ya udah lah, gue dah duduk di depan toko roti Merdeka ya, loe hati-hati," jawab Mila.

 

"Siap, Bu Mila, sabar ya tungguin gue," jawab Zalfa. Mila menutup teleponnya, menarik nafas, dan menjatuhkan punggungnya di sandaran kursi.

 

Sesaat Mila terdiam, namun kembali dia menghabiskan waktu menanti Zalfa dengan bermain ponsel.

 

Terasa agak lama menunggu, Mila mencoba menelpon Zalfa kembali untuk menanyakan di mana posisi Zalfa sekarang, tapi ponsel Zalfa tak bisa dihubungi. Mila sedikit agak kesal, "Iihh, kemana sih Zalfa dan ngapain ponselnya pake mati segala," gerutu Mila.

 

"BT ah, mending aku jalan-jalan dulu ah," katanya sendiri. Mila bangkit dari duduknya dan melangkah menelusuri taman ini. Langkah Mila terhenti di sebuah gerobak gorengan, dan dia membeli beberapa buah gorengan. "Pak, beli tahu sama tempe dong, lima ribu aja," kata Mila pada seorang penjual gorengan. Penjual itu tak menjawab, dia hanya cekatan mengambil permintaan Mila dan memasukkan ke dalam kantung, lalu memberikannya pada Mila. Mila menerima sekaligus menyerahkan selembar uang lima ribu rupiah. "Makasih ya, Pak," kata Mila sambil kembali melangkah.

 

Di tengah perjalanan, ponselnya berdering. "Siapa sih," ucapnya sambil mengambil ponsel dan menerima telepon.

 

"Assalamu'alaikum, Mil, gue dah di depan gerbang taman nih," kata orang di seberang obrolan yang ternyata adalah Zalfa.

 

"Ya udah, buruan kita ketemu di depan toko roti Merdeka ya," jawab Mila.

 

"Tapi sorry, Mil, gue mau ke toilet dulu ya," sambung Zalfa.

 

"Oke, gue tunggu loe ya, Fa," timpal Mila dan menutup teleponnya, melangkah ke tempat duduk semula.

 

Langkah Mila berhenti di sebuah bangku, dia duduk, membuka kantung makanan, dan menikmati gorengan yang tadi dibelinya sambil bermain ponsel untuk menunggu Zalfa.

 

Selagi asyik bermain ponsel, tiba-tiba bahu Mila ditepuk seseorang. Mila sangat kaget dan menengok ke arah orang disampingnya. "Astaqfirullah," katanya.

 

"Eh, loe, Fa, bikin gue kaget aja," tambah Mila berdiri, memeluk Zalfa.

 

"Hahahaha," tawa Zalfa riang, membalas pelukan Mila.

 

"Sorry, kelamaan nunggu," jawab Zalfa dalam pelukan kerinduan dua sahabat.

 

"Masya Allah, loe tambah cantik ajala," ucap Zalfa, menatap Mila lurus keseluruh tubuh Mila sambil saling memegang bahu.

 

"Ah, loe juga tambah mantap, cantik banget loe, Fa, sekarang dah berhijab," kata Mila, tak mau kalah, menatap sahabatnya menyeledik.

 

"Hahahaha," tawa riang keduanya. Kembali mereka duduk berhadapan.

 

"Kangen deh gue, Fa, sama loe," ucap Mila.

 

"Sama la, gue udah ngga sabar nungguin kapan ya kita bisa ketemu," jawab Zalfa tersenyum.

 

"Iya, ngga enak, cuma bisa di ponsel aja kita ngerumpi nya hehehehehe," Mila tertawa kecil, diikuti Zalfa.

 

"La, kayanya ngga enak deh kita ngobrol di sini," kata Zalfa, memandang sekeliling.

 

"Cari tempat lain yuk," ajak Zalfa.

 

Mila mengangguk, berdiri, dan melangkah bersisian, saling merangkul bahu, meninggalkan tempat duduk, dan mencari tempat lain yang nyaman untuk ngobrol.

 

Kebahagiaan tampak sekali dari raut muka Mila dan Zalfa, kecerian terus mewarnai langkah keduanya menelusuri taman kota. Riang tawa sesekali menemani rasa rindu yang telah lama mereka pendam. Bagaimana tidak, sejak sekolah Mila dan Zalfa nyaris tak terpisah. Itu karena letak rumah mereka yang berdekatan hingga berangkat pulang sekolah selalu bersama, dan di kelas pun mereka duduk sebangku. Dimana ada Mila, pastilah ada Zalfa. Hobi membaca menambah kedekatan mereka. Kepindahan Zalfa ke kota lain tak memutuskan persahabatan mereka. Terbukti mereka sering saling berkirim novel atau buku bacaan, tanda jalinan persahabatan masih terikat baik di antara keduanya.

 

Zalfa mengajak Mila untuk mencari makan. "Fa, kita cari makan dulu yuk, gue lapar."

 

"Ayuk," jawab Mila, dan keduanya pun melangkah mencari tempat makan.

 

Tak berapa lama mereka jalan, akhirnya mereka menemukan pusat jajanan dari berbagai jenis makanan.

 

"Tuh, banyak makanan, kita ke sana aja," kata Mila, menunjuk ke arah pusat jajanan.

 

Zalfa mengangguk. Langsung saja keduanya mencari tempat duduk yang nyaman untuk mereka tempati.

 

Di kursi yang berhadapan, mereka duduk. "Loe mau makan apa, Fa?" tanya Mila.

 

"Apa ya, La," jawab Zalfa bingung.

 

"Aku mau bubur ayam ah," kata Mila singkat, memesan bubur ayam yang kebetulan gerobak penjualnya ada dihadapan mereka.

 

"Pak, bubur ayam lengkap ya satu," kata Mila pada seorang penjual bubur ayam.

 

"Baik, Neng," jawab penjual itu.

 

"Makan apa, Fa?" tanya Mila lagi, karena dilihatnya Zalfa masih bingung.

 

"Ah, gue mau ke toilet dulu ah," kata Zalfa, berdiri.

 

"Lah, bukannya tadi loe pas datang udah ke toilet?" tanya Mila, sedikit bingung. Zalfa tak menjawab, dia melangkah sambil melambaikan tangan ke Mila.

 

Sejenak Zalfa membalikan badan, mengatakan, "Eh, La, gue pesan ketupat sayur aja deh," kata Zalfa sambil berlalu. Mila menggeleng, "Aneh loe, Fa," gumamnya, sambil mengambil ponsel dan memainkannya.

 

Mila asyik sibuk dengan ponselnya, tiba-tiba datanglah seseorang mengantarkan makanan yang dipesan. "Neng, ini buburnya," kata orang itu, menaruh semangkuk bubur ayam dihadapan Mila.

 

"Terimakasih, Pak," jawab Mila tanpa berpaling dari ponselnya.

 

Langsung saja Mila meraih, memegang sendok, dan menyuap. "Astaqfirulloeh, pedes amat nih bubur," ucap Mila dengan mulut yang mendesah kepedasan.

 

"Haha, pedes banget, untung ada minum," gerutu Mila, meraih botol minum dari dalam tasnya, dan langsung meneguknya kuat-kuat. Masih dalam rasa kepedasannya, dia terus mengerutu, "Ah, dasar, ngga fokus, aku jadi kena batunya." Mata Mila meneliti mangkuk dihadapanya, "Pantas aja yang aku suap bubur dan sambal," omelnya sendiri, sambil meneguk kembali air minumnya.

 

Dari kejauhan, Zalfa datang sambil tertawa melihat kelakuan Mila yang sedang kepedasan.

 

"Hahahaha, kenapa loe, La? Lucu amat tampang loe," tawa Zalfa terus tak henti, memandang ke arah Mila, karena menurutnya mimik muka Mila lucu, mukanya memerah, dan keringat bercucuran karena kepedasan. Mila sedikit agak kesal pada Zalfa yang datang menertawakannya, bukan menoloeng mencarikan air minum, karena air minum Mila sudah habis. "Payah loe, Fa, bukannya bantuin gue cariin minum, malah ngetawain lagi." Melihat kejadian ini, Zalfa segera pergi lagi untuk membeli air minum. "Baiklah, Bu, tunggu ya, gue beliin dulu minumnya," dan Mila ditinggalkan sendiri, masih dalam keadaan kepedasan.

 

Sekembali dari membeli minuman, Zalfa langsung memberikan sebotol air mineral. "Nih, La, airnya. Makanya hati-hati, liat dulu apa yang ada di sendok, jangan asal makan aja," ucap Zalfa, masih terus tersenyum kecil kepada Mila. Zalfa langsung memakan ketupat sayurnya, sambil tetap tersenyum, memandangi Mila yang duduk dihadapannya. Tapi tiba-tiba raut muka Zalfa berubah, seolah ada rasa aneh dari makanannya. Mila yang melihat kelakuan temannya langsung bertanya, "Kenapa loe, Fa? Ada yang anehkah dari makanan loe?"

 

"Aduh, La, ini ketupat pedas banget," keluh Zalfa. Segera dia meraih sebotol air mineral yang tadi dibelinya, Zalfa meminum air sebanyak mungkin, untuk menghilangkan rasa pedasnya.

 

"Hahahahahhhaaahah, makanya, Bu, jangan ngetawain orang. Kualat kan loe, Fa," Mila tertawa melihat kelakuan sahabatnya. Zalfa tersenyum kecut dalam raut, masih kepedasan. "Iya, seru, kita sama-sama menikmati makanan pedas nih," ucapnya meringgis. Kedua sahabat ini tertawa lepas, karena mengalami nasib yang sama, yaitu memakan makanan yang rasanya pedas.

 

 

Bersambung........

Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar