Cinta lama jadi kenyataan bagian 1
Hari
kian beranjak senja, di mana sinar jingga dari sang mentari memenuhi seluruh
ruang cakrawala. Sementara itu, bola langit juga telah beranjak ke barat,
menandakan malam segera tiba. Hilir mudik kendaraan semakin menyemut, bahkan
nyaris macet. Kendaraan sulit bergerak. Ya, ini telah menjadi santapan
keseharian, di mana jam sore ini adalah jam di mana para pejuang nafkah akan
kembali ke peraduan masing-masing.
Semua
kesibukan itu justru menambah kerumitan raut muka seorang pria yang duduk
mematung di halte bus. Pria berambut ikal itu menatap ke arah kemacetan yang
belum juga terurai. Desahan nafasnya seakan menunjukkan keputusasaan. Sesekali,
dia menggigit bibirnya atau menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Dilihat
dari penampilannya, tampak dia seorang berkelas. Kaos yang dikenakan terpampang
label brand terkenal, meski hanya simbol kecil di dada kanan. Sepatu kets-nya
juga tampak keren dengan desain brand ternama. Lantas, mengapa pria ini tampak
begitu muram?
Sementara
situasi di halte bus ini tampak ramai, semua orang yang berada di sana sibuk
menanti kendaraan umum yang akan membawa mereka ke tujuan masing-masing.
Kemungkinan inilah penyebabnya mereka hanya memfokuskan dirinya pada
kepentingan pribadi, hingga seolah tak mempedulikan keberadaan pria beraut muka
kusut yang sedang duduk mematung ini. Namun, tak berapa lama kemudian, ada
seorang wanita berkacamata menghampirinya.
“Dika,”
katanya sedikit ragu, menatap dengan sorotan untuk meyakinkan pendapatnya.
“Dika.
Ya, loe kan Andika Larasetya,” lanjutnya. Kini, dari nada bicaranya menandakan
sebuah keyakinan, ditambah air mukanya penuh kepastian. Wanita itu menatap pria
tadi dengan tatapan ingin tahu.
“Iya,
gue yakin loe kan Andika, sang bintang lapangan basket ya,” kembali wanita itu
memberikan argumennya penuh keyakinan. Pria itu menatap tak suka pada wanita
itu. Dia mengernyitkan dahi lantas menghela nafas.
“Weni,”
ucapnya sedikit membisik, lantas membuang pandangannya ke arah lain.
“Apa
kabar Dik? Trus ngapain loe di sini?” tanya Weni yang telah duduk di samping
Dika.
“Baik.
Yang pasti, bukan nungguin loe,” sinis Dika menjawab. Namun, Weni tetap
membalasnya dengan senyum.
“Iihhh,
enggak segitunya juga lagi Dik,” jawab Weni yang merasa tidak enak dengan sikap
dingin Dika.
“Maksud
gue kan, kita udah lama nih enggak ketemu. Kira-kira udah 8 tahun,” ucap Weni.
“Sory
deh Dik, kalau gue gangguin loe. Tadinya gue kaget aja ketemu loe di sini,
tapi...” lanjut Weni sambil beranjak berdiri.
“Ya
sudahlah Dik. Sory kalau ganggu,” kembali Weni berkata sambil melangkah
menjauh.
“Tunggu
Wen,” ucap Dika ketika Weni telah melangkah. Mendengar ucapan Dika, Weni
menoleh.
“Maaf
Wen,” lanjut Dika sambil berdiri dan mendekati Weni.
“Duduk
lagi yuk,” ajak Dika.
Rumah
makan ini tampak sedikit ramai. Di salah satu meja di pojok ruangan, Dika dan
Weni telah duduk berhadapan. Setelah berbasa-basi sejenak di halte bus, lantas
Dika mengajak Weni untuk makan. Kebetulan, tak jauh dari halte itu ada rumah
makan Padang.
“Jadi,
loe belum nikah Wen?” tanya Dika yang menatap Weni penuh arti. Weni menggeleng.
“Emang
kenapa Wen? Apa loe trauma sama si Latif yang udah ninggalin loe kawin?” lanjut
Dika sedikit menggoda. Weni menjawab dengan senyum kecut.
“Enggak
juga sih…” jawab Weni sambil memainkan sebatang sedotan yang dia ambil dari
tempat sendok.
“Kalau
loe sendiri gimana Dik?” Weni balik bertanya, menatap Dika.
“Tadi
roman muka loe kusut banget. Emang kenapa Dik?” lanjut Weni.
Dika
mendesah lantas dia menjatuhkan punggungnya di sandaran kursi. Beruntung,
pelayan datang membawakan pesanan mereka.
“Terima
kasih Mas,” ucap Weni sopan.
“Dah,
kita makan dulu Dik,” ajak Weni yang bersiap menyantap sepiring hidangan di
hadapannya.
“Jadi,
loe beneran nikah sama Olif Dik?” tanya Weni setelah mereka selesai makan. Dika
mengangguk.
“Wah,
sayang ya gue enggak loe undang waktu kalian nikah,” lanjut Weni sedikit
kecewa.
“Lah,
bukanya di tahun itu loe udah pindah ke Surabaya?” ucap Dika membela diri. Weni
tertawa kecil, mengangguk-angguk.
“Kalian
sudah punya anak berapa?” kembali Weni bertanya.
“Belum.
Dan inilah penyebab masalah gue,” jawab Dika. Lagi-lagi, Weni mengangguk-angguk
sambil memainkan sedotan dari dalam gelasnya.
“Oh,
berarti ini penyebabnya juga tadi muka loe kusut gitu Dik?” tanya Weni
menyelidik. Dika mendesah. Ketika Dika ingin menjawab, tiba-tiba ponselnya
berdering. Lantas, dia menerima panggilan teleponnya yang berasal dari Olif,
istrinya. Weni memalingkan tatapannya, tak ingin ikut mendengarkan percakapan
itu.
“Ya,
sebentar lagi aku pulang,” kata Dika setelah berbicara beberapa kata. Lantas,
dia menutup teleponnya.
“Sory
Wen, gue balik dulu ya,” kata Dika menenggak habis es teh manisnya lantas
berdiri melangkah ke kasir. Weni hanya diam menatap Dika.
“Eh
iya Wen, bagi nomer loe dong,” kata Dika setelah selesai membayar dan kembali
mendekati Weni. Weni pun menyebutkan digit nomor ponselnya.
“Dah
tuh, gue miscal,” ucap Dika yang menyimpan kembali gawainya ke dalam tas
selempangnya. Weni pun mengangguk.
“Gue
duluan ya Wen,” ucap Dika berbalik badan dan melangkah meninggalkan Weni yang
bertanya dalam hati.
“Aneh,
ada apa ya sama Dika?” gumam Weni sendiri.
Sore
ini, Weni baru saja selesai bekerja dan ingin pulang. Namun, sebelum pulang,
dia mampir lebih dahulu ke supermarket dekat apotik di mana dia bekerja
sekarang. Ketika Weni berjalan hendak masuk ke dalam supermarket itu,
tiba-tiba, “Uupss, maaf,” spontan Weni berkata ketika tak sengaja menyenggol
seorang wanita yang berjalan dengan arah yang berbeda. Weni ingin masuk ke
dalam, sedangkan wanita itu berjalan ke arah luar. Kedua tatapan wanita itu
beradu dan membuat keduanya kompak berseru.
“Weni.”
“Olif.” Keduanya tertegun diam, saling menatap.
Tak
lama kemudian, ada seorang pria melangkah mendekati Olif.
“Ada
apa sayang?” tanya pria itu sambil merangkul Olif. Olif menoleh, tersenyum.
“Enggak
kenapa-napa Mas, kami cuma enggak sengaja bertabrakan,” jelas Olif.
“Dah
yuk, kita jalan lagi,” ajak Olif dengan menggandeng pinggang pria itu mesra.
Lantas, keduanya melangkah pergi. Sementara, Weni diam terpukau, tak mengerti.
“Itu
kan Olif. Kenapa dia sama orang lain? Bukanya kemarin Dika bilang dia sudah
nikah sama Olif?” Weni berkata pada dirinya sendiri sambil menggeleng.
Dering
ponsel menyadarkan Weni yang sedikit tertidur di dalam bus kota ketika dia mau
pulang ke rumah. Weni mengambil ponselnya dan membaca nama yang tertera di
layar ponsel.
“Dika,”
gumamnya sejenak. Lantas, dia menekan tombol hijau dan mulai membuka
percakapan.
“Hai
Dik,” ucap Weni.
“Hai
juga Wen, loe lagi di mana?” tanya Dika di seberang percakapan.
“Lagi
di bus, mau pulang,” jawab Weni.
“Rumah
loe masih yang dulu kan Wen?” kembali Dika bertanya.
“Iya,
gue masih di rumah lama sama ortu,” jawab Weni.
“Emang
kenapa Dik?” kini balik Weni yang bertanya.
“Yah,
udah sejam lagi gue ke rumah loe,” jawab Dika. Weni tertegun sejenak.
“Wen,”
kata Dika menyadarkan Weni.
“Eh
iya Dik, tapi ngapain loe ke rumah gue?” ucap Weni.
“Ya
udah, lihat aja entar. Oke, by,” kata Dika menutup pembicaraannya. Weni diam
memandangi gawainya.
“Ngapain
lagi Dika mau ke rumah?” Weni bertanya pada dirinya sendiri.
“Jadi,
loe udah tahu kalau Olif selingkuh?” tanya Weni terbelalak karena tak menyangka
dengan cerita Dika ketika Dika datang ke rumahnya dan menceritakan persoalan
yang dia hadapi.
Olif,
istrinya, telah berselingkuh terang-terangan dengan alasan karena dia ingin
punya anak. Makanya, dia ingin mencari laki-laki yang subur dan bisa memberinya
anak.
“Kami
sedang mengurus surat perceraian, tapi kami masih ngerahasiain kasus ini ke
orang tua kita berdua,” kata Dika.
“Kenapa
emang?” tanya Weni.
“Eh,
maaf Dik, bukan bermaksud ikut campur,” ucap Weni sedikit kikuk.
Dika
tersenyum.
“Santai
Wen, itu kami lakukan karena enggak ingin menyakiti kedua orang tua kami.
Padahal, Mama dan Papanya Olif telah menyarankan kami untuk mengikuti program
hamil, tapi Olif-nya saja yang selalu menghindar,” kata Dika.
“Gue
enggak ngerti Dik, tadi loe bilang kalian ingin bercerai karena Olif
menginginkan memiliki anak, tapi kenapa Olif tidak mau mengikuti program
hamil?” tanya Weni sedikit bingung dengan penjelasan Dika. Dika menghela nafas.
“Itu
yang buat gue bingung juga Wen. Setiap kali gue ajak Weni ke dokter kandungan,
dia selalu nolak. Ada aja alasannya,” ucap Dika.
“Dan
yang paling ngiris hati gue adalah tuduhan Olif bahwa yang mandul adalah gue,”
lanjut Dika mengigit bibirnya.
“Malah
sudah nyaris setahun ini kami tidak lagi sekamar, meski masih satu rumah,”
lanjut Dika.
“Aneh,”
ucap Weni.
“Nah,
makanya waktu kita ketemu gue lagi mumet banget tuh. Mana bulan depan gue mau
dipindahin tugas ke Bandung lagi, sementara proses cerai gue belum tuntas, tapi
Olif sudah berani ngajak laki-laki itu ke rumah,” kata Dika membuat Weni
terbelalak meloetot.
“Apa
Dik?” ucap Weni kaget.
“Olif
ngebawa pacarnya ke rumah kalian?” tanya Weni penasaran. Dika mengangguk,
memejamkan mata.
“Biar
hanya mengantar Olif sampai gerbang, namun sudah terlalu sering gue pergokin
mereka. Dan mirisnya, Olif tak merasa bersalah. Dia senang saja melakukan itu,”
kembali Dika meneruskan ceritanya. Weni mendecak tak percaya.
“Olif.
Olif. Maksudnya apa Dik?” ucap Weni.
“Aaahhh,
udahlah enggak usah ngebahas Olif lagi. Yang penting bulan depan gue udah
enggak di Jakarta lagi, dan dua atau tiga bulan lagi kami resmi bercerai,” Dika
mengeser duduknya, meraih gelas di hadapannya, dan meminum es sirup yang telah
Weni sajikan.
“Trus
orang tua kalian gimana Dik?” tanya Weni yang masih penasaran.
“Bodo
amat. Kan yang salah Olif. Gue udah capek nutupin kelakuan Olif, Wen,” jawab
Dika yang kini meraih sepotong pisang goreng.
Di
atas ranjangnya, Weni memikirkan permasalahan rumah tangga Dika. Dia sudah
berusaha menepiskan pikirannya, namun entah mengapa matanya sulit sekali
terpejam hingga siluet Dika hadir kembali. Terlebih lagi, kisah masa sekolah
dulu terpampang jelas dalam ingatan Weni.
Kala
itu, Weni dan Olif selama tiga tahun di SLTA selalu sekelas. Bahkan, keduanya
selama dua tahun duduk sebangku. Ya, sejak pertama kali masuk di sekolah
favorit ini, Weni berkenalan dengan Olif. Yang pada awalnya hanya teman biasa,
lama-kelamaan keduanya menyatu menjadi sahabat.
Ketika
kelas dua, ada murid baru pindahan dari luar kota. Dia adalah Andika. Sosok
riang Andika serta sepak terjangnya di lapangan basket yang sangat memikau
hingga klub basket sekolah ketika itu selalu menjuarai pertandingan basket
antar sekolah. Dan, Andika lah sang bintang lapangan. Tak dipungkiri, banyak
wanita yang menyukainya. Bahkan, tak sedikit gadis remaja itu selalu mencari
perhatian Andika dengan tebar pesonanya, termasuk Olif. Sebenarnya, Weni juga
terpikat dengan Dika, namun gigihnya usaha Latif yang mendekatinya membuat dia
melupakan Dika.
Weni
sempat menjalin hubungan dengan Latif hingga mereka lulus kuliah. Namun, ketika
Weni lulus kuliah serta telah berhasil meraih izin praktek apoteker, dia
diminta tantenya untuk mengurus apotik yang dimiliki hingga Weni terpaksa
pindah ke Surabaya, menerima tawaran tantenya. Dan perlahan, sejak kepindahan
Weni, hubungannya dengan Latif merenggang. Imbas akhirnya, Latif menikah dengan
wanita lain.
Mengingat
kisah itu, Weni tersenyum lantas menutup mukanya dengan bantal, mencoba untuk
tidur. Dan tak lama kemudian, dia terlena pada mimpinya.
Posting Komentar