Cinta lama jadi nyata bagian 2
Weni
telah menyelesaikan tugasnya di apotik malam itu. Wanita lajang ini keluar dari
ruang kerjanya menuju bagian pembeli. Saat hendak melangkah ke kasir, matanya
menangkap sosok yang dikenalnya.
“Olif,”
ucapnya, membuat si empunya nama menoleh.
“Weni,”
balas Olif, sedikit terkejut.
Weni
melangkah mendekati Olif. Jarak mereka hanya terhalang etalase yang memajang
barang dagangan.
“Apa
kabar, Lif?” tanya Weni, mengulurkan tangan. Olif menatap Weni kikuk, namun
senyum Weni membuatnya menerima uluran tangan itu. Keduanya saling berjabat
tangan, dilanjutkan dengan pelukan hangat dan ciuman di kedua pipi.
“Apa
kabar, Lif?” tanya Weni lagi, setelah mereka melepaskan pelukan.
“Baik,
loe kerja di sini, Wen?” jawab Olif, sambil balik bertanya. Weni tersenyum dan
melangkah keluar mendekati Olif.
“Iya,
baru lima bulan gue kerja di apotik ini. Loe kerja di mana, Lif?” kata Weni,
yang telah berdiri di samping Olif.
“Eh,
iya, maaf. Apa transaksi loe sudah selesai?” tanya Weni, tersenyum kecil karena
merasa bersalah karena posisi berdiri Olif masih di depan kasir.
“Sudah,
Bu Weni. Tinggal mengambil barangnya saja,” jawab wanita yang menjadi kasir
apotik. Weni membalas jawaban itu dengan senyuman.
“Terima
kasih, Mba Novi,” kata Weni, menatap Novi. Kemudian dia menoleh kembali ke
Olif. “Yuk, duduk dulu nunggu obatnya,” ajak Weni, sambil menunjuk dua tempat
duduk yang masih kosong. Keduanya pun melangkah menuju ke sana.
“Kemarin
itu suami loe ya, Lif?” kata Weni, membuka obrolan ketika keduanya telah duduk
di ruang tunggu apotik.
“Masih
caloen sih, Wen. Tapi semoga secepatnya,” jawab Olif, membuang tatapannya ke
arah lain.
“Amin,
semoga. Jadi, loe juga belum nikah, Lif?” tanya Weni, mencuri pandang. Dia
penasaran dengan jawaban Olif dan ingin mencari tahu dari raut muka Olif.
Karena itu, Weni terus mencuri pandang ke wajah Olif yang tetap dipalingkan.
“Belum,”
jawab Olif singkat, membuat Weni tertegun.
“Wah,
bukannya gue denger loe udah nikah sama Andika, si bintang basket sekolah?”
tanya Weni, menyelidik. Olif tersenyum kecut sambil menggeleng.
“Ah,
itu gosip kali. Kalau gue nikah, pasti gue undang loe, Wen,” katanya ringan.
Weni mengangguk-angguk. Sesaat keduanya diam, namun dering ponsel Olif membuat
percakapan mereka berhenti.
Lima
menit kemudian, karyawan apotik memanggil nama Olif. Olif pun berdiri melangkah
tanpa menegur Weni yang masih duduk. Selama Olif bertelepon, otak dan hati Weni
berpikir kenapa Olif mengingkari pernikahannya dengan Dika. Apa sebenarnya yang
terjadi dengan Dika dan Olif? Kenapa selama bertelepon, Olif tampak bahagia?
Dari sedikit pembicaraan yang Weni dengar, tampak mesra dan hangatnya ucapan Olif
pada lawan bicaranya yang dia sebut “Mas”.
“Aahhh,”
Weni mendesah sambil berdiri melangkah.
“Wen,
gue duluan ya,” kata Olif, berpamitan ketika barang yang dia beli telah
diterima. Weni tersenyum menghampirinya.
“Oke,
Lif. Terimakasih ya sudah berbelanja di apotik ini. Eh, btw, siapa yang sakit?”
ucap Weni, ketika mereka saling berpelukan.
“Ah,
ini cuma beli vitamin aja kok,” jawab Olif, melepaskan pelukannya.
“Ooohhh...
Dah hati-hati, Lif. Kapan-kapan kita ngobrol lagi. Dan jangan lupa ya undang
gue kalau loe nikah,” kata Weni, menepuk bahu Olif. Olif tertawa kecil.
“Loe
juga kapan nikahnya? Eh, udah ada caloennya apa belum?” goda Olif, dengan mata
jahilnya. Weni tersipu.
“Jangan
bilang loe trauma sama si Latif. Atauuu... jangan-jangan loe masih ngarepin si
bintang basket itu ya?” lanjut Olif, tertawa kecil. Weni menjawab dengan
tertawa juga. Akhirnya, Olif keluar dari dalam apotik setelah obrolan ringan
bersama Weni. Weni mengantarnya sampai teras halaman ruko. Di sana sudah ada
sebuah mobil Pajero Sport putih yang terparkir menanti Olif. Olif melangkah
mendekatinya dan membuka pintu sebelah kiri, lalu duduk dan menutup pintu
mobil. Dari kejauhan, Weni melihat dengan teliti siapa yang telah ada di dalam
mobil. Menuruti rasa penasarannya, Weni dengan alibi mendekati satpam ruko, dia
melangkah. Ternyata, seorang pria yang kemarin ditemuinya di sebuah supermarket
bersama Olif adalah orang yang sama yang ada di dalam mobil. Sambil berjalan,
Weni berkata sendiri, “Ternyata itu selingkuhannya Olif, pria yang kemarin. Apa
itu juga ya yang Dika bilang pacar Olif yang berani mengantarnya pulang?”
Sore
ini hujan turun sangat deras hingga Weni tak bisa pulang ke rumah. Jam tugasnya
di apotik telah selesai. Menunggu hujan reda, Weni masih berada di ruang kerjanya.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Weni meraih gawainya yang terletak di atas meja,
lalu dia melihat nama Dika yang tertera di layar monitor. Sedikit malas, Weni
mengangkat panggilan itu.
“Hai,
Dik,” sapa Weni.
“Hai,
Wen. Kenapa lesu gitu?” sahut Dika di seberang percakapan.
“Enggak
kenapa-kenapa. Ada apa, Dik?” jawab Weni.
“Satu
jam lagi gue sampai di rumah loe ya,” kata Dika, membuat Weni terkejut.
“Ngapain?
Lagi, gue masih di apotik. Di sini hujan deras,” jawab Weni.
“Oh,
kalau gitu gue jemput aja ke apotik. Buruan kasih alamatnya,” kata Dika.
“Enggak,
aah,” Weni menolak.
“Emang
kenapa? Atau sudah ada pangeran lain ya yang ngejemput?” goda Dika, membuat
Weni sedikit sebel.
“Sori,
Dik. Gue enggak bisa kasih alamat apotik tempat gue kerja. Enggak enak sama
karyawan lainnya. Kan gue baru di sini. Tapi kalau loe mau ke rumah, silahkan,”
jawab Weni.
“Lah,
loe pulangnya gimana? Kan kata loe hujan di sana. Kalau gue di sini gerimis sih,
tapi gue bawa mobil makanya bisa jemput loe, Wen,” Dika memberi penjelasan,
namun dia bertanya untuk memastikan kemauan Weni.
“Ya,
loe jangan terlalu cepat sampai di rumah gue. Nanti aja atau gimana? Kalau
besok aja, soalnya besok gue libur jadi bebas deh loe mau datang jam berapa,”
ucap Weni, memberikan masukan.
“Ya
udah, besok jam sepuluh pagi gue ke rumah loe ya, Wen,” balas Dika.
“Siap,”
singkat Weni menjawab, lalu dia menutup obrolan.
Setelah
selesai bertelponan dengan Dika, Weni diam berpikir. “Ngapain Dika deketin aku
ya?” Dia menatap gawainya. “Aahhh, Weni jangan berpikir yang tidak-tidak dan
jangan main api ya,” ucapnya untuk diri sendiri.
Keesokan
harinya, Dika benar-benar datang ke rumah Weni. Namun, dia tidak sendiri.
Betapa terkejutnya Weni ketika melihat Latif dan Dika duduk di teras rumahnya.
Weni diam mematung di bingkai pintu rumah. Dia tertegun. Berjuta pertanyaan
dalam benaknya, mengapa Dika mengajak Latif. Dika yang menyadari kehadiran Weni
yang terdiam di bingkai pintu, segera berdiri menghampirinya.
“Hai,
Non. Kenapa bengong gitu? Kaget ya ada Latif?” ucap Dika, membuat Latif juga
ikut berdiri membalikan badan menatap Weni yang masih terdiam. Tatapan Weni
beradu dengan Latif, namun hanya sejenak karena Weni segera mendesah
memalingkan wajahnya dan berusaha bersikap semanis mungkin.
“Sori,
Dik. Eh, kenapa loe bisa sama Latif ke sini nya?” tanya Weni, yang masih
penasaran. Dia duduk di samping Latif, karena memang kursi di teras rumahnya
dipasang bersisian. Dika segera menarik kursi hingga ketiganya duduk seolah
melingkar.
“Wen,
loe kemarin kan udah gue ceritain sedikit masalah gue sama Olif. Dan loe perlu
tahu bahwa laki-laki yang bersama Olif itu adalah abangnya Latif,” Dika menjeda
ucapannya, mendesah. Weni terbelalak, tak percaya.
“Sebenarnya
hari ini gue udah janjian sama Latif untuk bertemu. Latif ngerasa enggak enak
sama gue, makanya dia mau minta maaf dan ketemu langsung sama gue. Eh, pas
Latif datang, gue inget kalau hari ini ada janji sama loe. Ya udah, sekalian
reuni, gue ajak Latif ke sini,” lanjut Dika.
“Dua
hari yang lalu, Olif ke apotik dan gue ketemu dia,” kata Weni, yang sudah mulai
bisa menguasai hatinya yang tak karuan ketika melihat kembali Latif ada di
hadapannya.
“Trus
kalian saling bertegur atau dia menghindar?” tanya Dika.
“Kami
ngobrol sebentar, tapi ada satu keanehan,” kata Weni.
“Apa?”
tanya Dika.
“Olif
bilang dia baru akan menikah. Dan pas gue tanya, bukannya dia udah nikah sama loe,
Dik? Eh, dia menggeleng,” ucap Weni, sedikit tersendat karena merasa takut
menyinggung Dika. Dika tertawa.
“Enggak
heran, Wen,” timpal Dika sambil tertawa. Weni menatap Dika dengan penuh
pertanyaan. Seakan mengerti maksud Weni, Dika menjawab, “Dia memang udah
tergila-gila sama kakaknya Latif, makanya akal sehatnya udah enggak berfungsi.”
“Sori,
Dik,” timpal Latif, yang sejak tadi terdiam.
“Nyantai,
Tif. Yang bajingan itukan mereka, bukan loe,” sahut Dika.
“Eh,
kita boleh minum enggak nih?” lanjut Dika, menatap Weni yang membalas dengan
anggukan. Dika meraih gelas yang telah terisi es sirup dan meminumnya.
“Eh,
Wen, istrinya Latif baru saja meninggal. Eh, udah hampir tujuh bulan deh. Bener
kan, Tif?” kata Dika, yang telah mengembalikan gelas ke tempat semula.
Sontak
Weni menoleh menatap Latif.
“Oh,
emang kenapa?” tanya Weni.
“Dia
meninggal karena kecelakaan tabrak lari ketika mau ke rumah ibunya,” Latif
menjawab.
“Ikut
berduka ya, Tif,” ucap Weni.
“Terima
kasih,” balas Latif.
“Nah,
kalian kan bisa balikan lagi tuh,” goda Dika, yang membuat kedua temannya
tersipu.
“Oh
ya, Wen, gue mau ngabarin ternyata keberangkatan gue ke Bandung dipercepat tiga
hari lagi. Gue jalan,” kata Dika, memecah rasa serba salah di antara Latif dan
Weni.
“Trus
kenapa emang?” tanya Weni poloes.
Dika
tertawa lagi.
“Ya,
itu berarti gue enggak bisa nge-date deh sama loe. Dan lagian, gue kasih deh
kesempatan itu untuk Latif,” Dika menjawab sambil terus tertawa kecil.
“Nah,
sebagai pembuka, sekarang gue pamit dulu ya. Silahkan dilanjutkan cinta lama
kalian,” ucap Dika sambil berdiri.
“Dah,
Tif. Jangan dibuang lagi kesempatan ini,” Dika berkata sambil menepuk bahu
Latif yang menoleh ke arahnya menatap Dika dengan tersenyum. Dika membalasnya
dengan tertawa kecil.
“Wen,
gue balik ya. Nanti kalau udah sampe Bandung, gue kirimin deh paket peyem
Bandung sama mie kocok,” goda Dika pada Weni yang memasang muka kecutnya.
“Oke,
Guys. Gue balik ya,” lanjut Dika, membalikan badan melangkah meninggalkan Weni
dan Latif yang terdiam.
Posting Komentar