Maafin gue fi

Table of Contents

“Woooy... Ngapain muka lo kusut gitu, Fi?” kata Jamal yang baru datang sambil menepuk pundak Rafi temannya yang sedang duduk termenung. Rafi tak menjawab, dia hanya menoleh sejenak lantas menatap lurus ke gelas di hadapannya yang hanya dia aduk-aduk dengan sedotan. “Kenapa sih, Fi?” Jamal kembali bertanya setelah dia duduk di hadapan Rafi, menyelidik dalam tatapannya. Rafi hanya diam, lirikan sudut matanya dia beri sebagai jawaban. “Jangan bilang kalau lo diputusin sama Linda,” Jamal mencoba menggoda sahabatnya. “Atau malah lo ditinggal kawin lagi sama doi,” lanjut Jamal tertawa. “Enggak lucu,” jawab Rafi ketus sambil mengubah posisi duduknya. Jamal menghentikan tawanya. “Terus,” singkat dia berkata. “Bonyok gw mau cerai,” sekali lagi Rafi berkata ketus seakan dia ingin mengeluarkan emosinya. Jamal tersentak kaget, dia melotot tak percaya. “Apa... Om Ridwan dan Tante Evie mau cerai,” spontan Jamal berkata sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya. Rafi mendesah menggeleng, menggaruk kepala yang tak gatal. “Kok bisa sih? Padahal kan keluarga lo itu asyik banget, gw aja suka iri kalau berada di antara keluarga lo,” kata Jamal berusaha meyakinkan dirinya dari perkataan Rafi. “Lah, itu kenyataannya bokap bisa selingkuh dan kepergok langsung sama nyokap,” ucap Rafi lesu. “Kepergok gimana?” Jamal lagi-lagi tak percaya dengan yang didengarnya. “Mana gw tahu, ya mungkin Tuhan mau kasih tahu ke mama siapa sebenarnya suaminya itu,” kata Rafi meneguk minumannya. “Trus gimana, apa nyokap lo masih ada di rumah atau...” tanya Jamal penasaran. “Ah, lo kaya guru BP aja nanyanya,” Rafi menjawab sambil berdiri. “Lo mau kemana, Fi?” Jamal memperhatikan gerakan Rafi. “Balik,” singkat dia menjawab sambil melambaikan tangan. Jamal tersenyum kecut. “Kasihan tuh bocah,” gumamnya sendiri.

 

“Assalamu'alaikum,” salam Jamal ketika masuk ke dalam rumah yang sepi. “Wa'alaikum salam,” jawab Bi Sri, asisten rumah tangga, yang langsung menghampiri Jamal. “Eh, Mas Jamal, tadi kata Ibu Mas disuruh ke rumah Uti, penting,” kata Bi Sri. “Ibu nelpon Mas tapi katanya HP Mas Jamal enggak aktif,” lanjutnya. Jamal merogoh tas dan mengambil benda persegi panjang itu, mengamatinya. “Eh, iya mati, pantesan aja dari tadi enggak ada notifikasi bunyi,” kata Jamal sambil duduk di sofa dan menghidupkan ponselnya. “Assalamu'alaikum,” salam Jamal membuka pembicaraan via ponsel ketika menelpon ibunya. “Wa'alaikum salam, kamu dimana, Mas?” terdengar suara wanita dari seberang pembicaraan. “Di rumah, Bun, emang kenapa sih Bun, kata Bi Sri aku disuruh ke rumah Uti,” kata Jamal bertanya pada bundanya. “Iya, Mas, sekarang juga ya, enggak pake lama dan komen,” jawab sang bunda, dan tanpa berbasa-basi bunda langsung menutup telepon. Jamal menarik nafas, meraih segelas air minum yang sudah disediakan Bi Sri, meneguknya, lantas setelahnya dia berdiri kembali, melangkah meninggalkan rumah.

 

“Lah ini kan mobilnya Om Ridwan, ngapain dia di sini,” gumam Jamal sendiri mengamati Honda Jazz putih yang terparkir di halaman rumah neneknya. Setelah merapikan Honda Varionya, laki-laki penyuka basket ini melangkah masuk ke dalam rumah. “Assalamu'alaikum,” salam Jamal ketika memasuki ruang tamu, semua mata di sana mengarah padanya. Bu Winda berdiri, menghampiri putra sulungnya, wanita berhijab abu-abu muda ini merangkul pinggang Jamal yang bertinggi badan 175 cm, dan mengajaknya duduk. Jamal duduk di samping bunda sambil menerka-nerka ada apa sebenarnya karena di sana ada Pak Ridwan, Tante Intan, dan Uti. “Mas, besok Tante Intan akan menikah sama Om Ridwan,” ucapan bundanya membuat Jamal melotot dan memasang dadanya. “Apa maksudnya nih?” tegas Jamal berucap, sementara Intan dan Ridwan hanya diam, mengalihkan pandangan karena Jamal menatap mereka secara bergantian penuh emosi. “Jangan bilang kalau Tante adalah penyebab perceraian orang tua Rafi,” tambahnya lebih emosi. “Keterlaluan kalian,” bentak kasar Jamal yang sudah berdiri. Bu Winda memegangi lengan putranya, berusaha menahan emosi Jamal, namun Jamal tak peduli. Dia berdiri, menatap lekat Pak Ridwan yang kebetulan tatapan kedua laki-laki ini beradu pandang. Jamal melotot memberikan tatapan tak sukanya, lantas dia melangkah pergi.

 

Bunyi dentuman dari pantulan bola basket terdengar, seolah si pemain sedang melampiaskan emosinya dalam permainan basket yang dia lakukan. Ya, Jamal yang merupakan anggota tim basket di SLTA-nya juga merangkap atlit basket di sebuah klub yang dia ikuti. Dari rumah utinya, dia langsung menuju lapangan basket dimana biasanya dia dan teman-teman klubnya berlatih. Lapangan itu sepi, hanya Jamal seorang yang sibuk memainkan si bundar, namun nada dering ponselnya yang sejak tadi tak berhenti berbunyi membuat dia terpaksa meletakkan bola di samping kakinya, meski dengan sangat terpaksa. Akhirnya Jamal mengambil ponselnya yang dia taruh di dalam tas. Gawai-nya bergetar saat Jamal memandanginya, dia melihat nama yang tertulis di layar monitor “Rafi,” gumamnya sesaat, lantas dia menekan tombol hijau dan membawa ponselnya ke telinga. “Lama amat lo ngangkat telponnya,” suara ketus Rafi memulai pembicaraan. Jamal diam sejenak. “Sorry,” singkat dia menjawab. “Lo lagi di mana?” Rafi langsung mencecarnya. “Lapangan basket,” jawabnya. “Yah udah, lo tunggu di sana, jangan kemana-mana sampai gw datang,” kata Rafi langsung menutup ponsel. Jamal memejamkan mata, menggeleng-gelengkan kepala.

 

Fokus Jamal terpecah manakala Rafi datang. Dia merangkul si bundar dan berjalan mendekati sahabat yang sudah dikenalnya sejak mereka duduk di taman kanak-kanak. Jamal dan Rafi selalu bersekolah di tempat yang sama hingga sekarang mereka telah duduk di kelas tiga SLTA, hubungan ibu mereka pun terbilang dekat. Untuk itu, Jamal emosi ketika bundanya mengatakan bahwa besok ayah Rafi akan menikah dengan tantenya. “Pecundang lo,” hardik Rafi dengan menampar bola basket Jamal hingga si bundar terpantul bebas. “Sorry, Fi,” lirih Jamal berkata menatap sahabatnya. “Lo sebenarnya tahu kan bahwa Tante lo tuh pelakor,” ujar Rafi yang masih terlihat emosi. Jamal menggeleng. “Sumpit fi, gw enggak tahu, ini aja tadi gw baru tahu pas di suruh bunda ke rumah Uti, eh pas di sana ada bokap lo,” Jamal berusaha menahan emosinya, juga berharap Rafi bisa mengerti. “Trus bunda yang menjelaskan bahwa besok Om Ridwan dan Tante Intan mau nikah,” lanjutnya, terus menatap Rafi yang masih memasang muka kekesalan. “Jangan bilang kalau lo juga baru tahu,” Jamal balik bertanya, Rafi menjatuhkan dirinya duduk di lantai lapangan, dia menyembunyikan mukanya di antara kedua lututnya. Jamal ikut duduk di samping Rafi, dia menepuk bahu sahabatnya. “Maafin gw, Fi,” katanya. Rafi mengangkat wajahnya, menggeleng, mendesah. “Iya, tadi pas di rumah bunda baru cerita,” ucapnya, masih menahan kekecewaan. Dia menyilakan kakinya mencari posisi yang nyaman, Jamal diam, berharap temannya mau bercerita. “Lo mau kasih tahu gw kenapa Bonyok lo bisa jadi gini?” Rafi menggaruk kepalanya. “Enggak jelas,” dia menjawab sekenanya. “Tapi lo salah, Mal. Ortu gw emang terlihat baik-baik aja dari luar, tapi kenyataannya mereka sering ribut, bahkan bokap udah jarang pulang,” ucap Rafi, mengitari tatapannya ke sekeliling lapangan. “Malah gw suka denger mama minta cerai terus, ada aja penyebab mereka ribut,” Rafi menarik nafas dihentaknya ketika menghempas. “Pernah ribut gara-gara Oma yang nginap di rumah, dan sejak itu enggak ada lagi deh yang mau nginap di rumah, padahal Oma sama Nenek itu nyenengin banget deh kalau mereka datang,” lanjut Rafi. “Tapi kenapa Tante Intan ya pelakornya?” Jamal mengangguk-angguk, mencoba menerka. “Kata Nyokap, sebenarnya Tante Intan itu adalah pacar Papa waktu kecil, tapi karena Papa dijodohkan sama Mama ya terpaksa mereka menikah,” kata Rafi. “Untung aja anaknya cuma gw, jadinya enggak ada korban lainnya,” sambung Rafi. “Sorry, Fi, gw beneran enggak tahu kalau Tante Intan adalah mantan pacar Bokap lo,” kata Jamal menatap Rafi, Rafi tersenyum. “Ya udah la, Mal, emang ini jalan hidup gw kali,” Rafi bangkit berdiri, melangkah menghampiri bola basket, mengambilnya, dan memainkan si bundar. Jamal duduk tertegun, menyaksikan gerakan sahabat kecilnya.

Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

3 komentar

Yuk komennya, boleh banget kalau mau request atau yang lainnya. kami harapkan Masukan berupa kritikan dari kalian dengan bahasa yang membangun
Comment Author Avatar
Sabtu, 03 Agustus 2024 pukul 09.03.00 WIB Delete
Kasihan Rafi
Comment Author Avatar
Sabtu, 03 Agustus 2024 pukul 09.57.00 WIB Delete
Bagus karangannya semangat upload ya..
Comment Author Avatar
Selasa, 22 April 2025 pukul 22.28.00 WIB Delete
Kukira Fi itu sebutan namaku, Afifah. Ternyata Rafi 😅