Senyum manis si tubuh munyil

Table of Contents

Libur semester ganjil tiba, hasil rapor telah diterima masing-masing siswa. Peringkat dua diraih oleh Aulia Safitri, hingga sepeda yang menjadi hadiah dari prestasi putri semata wayang dengan sapaan Lia, yang memiliki hobi membaca dan menulis. Intan, teman sekolah Lia yang bertubuh mini di kelasnya, dia mendapat juara pertama. Jangan meremehkan gadis berbintang Virgo dengan tinggi badan 95 cm ini. Meski ukuran tubuhnya masih layak disamakan dengan anak seusia lima tahun, namun kecerdasannya dapat bersaing. Bahkan si tubuh mini mampu mengalahkan Dimas, murid terpandai di sekolah ini. Hasil rapor membuktikan bahwa keberadaan Intan tak boleh dianggap remeh seperti banyak siswa yang membuli dirinya dari keterbatasan fisik yang ada pada Intan. Keterbatasan bukan penghalang untuk berprestasi.

 

Setitik nila rusak susu sebelanga, pepatah ini yang dirasa Intan. Betapa tidak, ulangan matematika pertama, Intan mendapat nilai terbaik di kelas, mengalahkan Dimas sang juara bertahan. Sejak itu, teman sekelas selalu memanfaatkan kecerdasan Intan untuk menyontek pekerjaan rumah. Atau ada beberapa siswa yang mengancam minta contekan saat ulangan, Intan sering memberikan apa yang temannya mau. Namun tetap saja kehadiran dirinya menjadi santapan ledekan teman-teman. Intan menceritakan keluh kisah pada Lia, sahabat yang berbeda kelas. Kesal, Lia mendengar lara Intan, dia juga mengalami nasib yang sama. Jadi mau bilang apa? Kecerdasan dalam keterbatasan membuat mereka mengalami tekanan hati di sekolah.

 

Bel istirahat berbunyi, Lia bergegas ke luar kelas melangkah menuju tempat favoritnya. Dia menghabiskan jam istirahat bersama sahabatnya, si tubuh mini, Intan Kurniawati. Lia duduk pada teras bangunan sambil membuka bekal makan yang dibawa dari rumah. Ragu memakan, Lia menutup kembali kotak makan berwarna biru dengan gambar Hello Kitty. Kepala Lia sesekali menengok menunggu kedatangan Intan. Namun, lama penantian Lia, Intan tak kunjung datang. Terpaksa Lia menikmati bekal nasi goreng telur mata sapi yang dibuat ibu. Waktu istirahat 30 menit hanya sendiri, Lia rasakan dengan berjuta pertanyaan. Kemana si tubuh mini sahabat yang dinantinya? Lia kembali melangkah menuju kelasnya, rasa penasaran membuat Lia memutar langkahnya melewati kelas Intan. Susah payah Lia menyapu bola matanya mencari keberadaan Intan, namun dia tak berhasil menemukan sahabatnya. Penasaran, Lia bertanya sendiri dimana Intan. Padahal tadi pagi sebelum bel masuk, mereka sudah saling bertemu dan membuat janji. Karena Intan ingin memberi Lia kue bika ambon oleh-oleh dari Tante Mala, adik mama yang baru datang dari Medan.

 

Bel tanda selesai pelajaran hari ini berbunyi. Setelah urusan mengakhiri pelajaran sejarah dan Bu Sisil keluar kelas, Lia dengan tergesa-gesa merapikan peralatannya dan langsung melangkah menuju kelas Intan. Kecewa, ternyata kelas itu sudah kosong, tak ada satupun orang di ruangan kelas 2A. Bingung, kecewa, penasaran menemani langkah Lia meninggalkan kelas Intan. Di gerbang sekolah, Lia bertemu Tari, teman sekelas Intan. "Tari," Lia memanggil dan mendekat. Tari hanya diam melihat Lia yang melangkah menghampirinya sambil bertanya tentang Intan. Tari menghela nafas dan menjelaskan bahwa tadi Intan dibawa ke ruang UKS karena terjatuh dari kursi. Lia keget, mendesak Tari untuk menceritakan kejadian itu. "Ya, biasa lah, anak-anak kelakuannya ngerjain si tubuh mungil itu," Tari berkata dalam raut wajah sedihnya. Tari adalah teman sekelas Intan dan duduk sebangku, hingga sering kali iba dirasa saat Intan dikerjain teman sekelasnya. Dari cerita yang Lia dengar dari Intan, hanya ada tiga teman yang selalu peduli pada Intan, termasuk Tari. Untuk itu, Lia ingin bertemu Tari dan menanyakan keberadaan Intan. Tari menceritakan kejadian sehari-hari di kelasnya, dimana Intan saat itu benar-benar habis dikerjain teman-teman sekelasnya. Pagi hari, Doni sudah meminta Intan mengerjakan PR matematika, padahal cuma tiga nomor namun sedikit susah. Selesai, Doni giliran Gilang memaksa Intan menyalin catatan biologi kemarin. Intan tak mengeluh, dia menjalankan dua permintaan itu hingga bel masuk berbunyi. Jam pertama, Bu Iin tak hadir, kesempatan ini di gunakan Lukman untuk menyuruh Intan mengerjakan PR fisika untuk besok. Dan hanya dalam sepuluh menit, Intan mengerjakan tujuh nomor tugas dari Pak Hari. Selagi Intan memutar otaknya menjawab soal PR fisika, sudah ada tujuh buku antri meminta Intan menyelesaikan semuanya. Aku tahu Intan tak terima dengan semua ini, namun dia tak kuasa menolak karena ancaman teman-teman. Terpaksa, semua pekerjaan ini dia lakukan dengan baik. Biar Intan sudah menuruti semua kemauan teman-temannya, namun ledekan tetap keluar dari keisengan anak yang tak menyukainya atau teman-teman yang memang jail ingin meledeknya. Bukan hanya itu yang didapat Intan hari ini, puncaknya saat jam pelajaran olahraga, Intan dipaksa Doni mengambil bola basket yang ada di atas lemari. Manalah bisa Intan meraih si bundar merah ini dengan ukuran tubuh mininya. Namun sekelompok anak laki-laki tetap memaksa Intan mengambil bola itu, tak peduli bagaimana caranya. Aku dan Lisa ingin membantu, namun Doni melarang. Terpaksa Intan membuat bantuan sendiri dari kursi yang ditumpuk dan sebatang sapu. Sedikit lagi sapu meraih si bundar, namun tiba-tiba salah satu kursi bergeser dan membuat si tubuh mini terjatuh. Kami yang ada pada saat kejadian berteriak, kelompok anak laki-laki malah lari keluar kelas takut dan melarikan diri. Aku, Mira, Lusi, dan Lisa segera membantu Intan berdiri, namun sepertinya ada masalah pada kakinya. Segera aku dan Mira menggendong Intan menuju ke ruang UKS. Semua anak dihukum berjemur selama jam olahraga, kecuali kami yang menemani Intan di ruang UKS. Akhirnya, melihat kondisi Intan seperti itu, Bu Anita segera membawa Intan ke klinik Permata. Setelah itu, aku tak tahu lagi kabar Intan. Bagaimana? Yang aku sesali dari kejadian itu, kami mendapat hukuman satu kelas, kami diberi tugas menulis satu buku yang berisi 100 halaman dengan kata-kata penyesalan dan permohonan maaf ditambah harus ada tanda tangan kedua orang tua, dan selesai besok. Tari menyelesaikan ceritanya dan meminta aku pergi melihat Intan di klinik Permata.

 

Sepeninggalan Tari, Lia masih diam tak percaya mendengar cerita tentang sahabatnya yang mengalami kekerasan dari bulian teman sekelasnya. Lemas, kesal, dan berbagai rasa, Lia melangkah meninggalkan sekolah pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang, Lia bertemu Bu Anita. Dengan rasa penasaran yang sudah memuncak, Lia terlebih dulu memberi salam sambil berkata sopan. Lia bertanya kondisi Intan, dan Bu Anita menjelaskan bahwa baik-baik saja, sekarang Intan sudah ada di rumahnya. Dari penjelasan Bu Anita, sedikit lega rasa di hati Lia mengetahui Intan dalam kondisi baik. Namun Lia tak bisa membesuk Intan karena Lia tak berani pergi ke rumah Intan sendiri. Tak ada yang bisa menemaninya, serta jarak rumah Intan cukup lumayan harus naik angkutan terlebih dahulu, membuat kesedihan menggantung dalam hati Lia. Lia terpaksa menghabiskan sisa harinya dengan penasaran. Tiga hari Intan tak masuk sekolah, Lia merasa separuh jiwanya melayang karena tak ada sahabat mininya. Di hari Senin pekan berikutnya, barulah Lia bisa memeluk sahabat baiknya. Ada yang aneh Lia rasakan pada perlakuan teman kelas 2A, mereka semua bersikap sangat baik pada Intan. Saat Lia mampir ke kelas yang letaknya di ujung, siswa-siswinya sedang mengerubuti tubuh mini sambil gelak tawa riang terdengar. Lia tersenyum bahagia melihat pemandangan di kelas 2A. Saat jam istirahat, Intan terlebih dulu menghampiri Lia di kelasnya bersama Tari dan Lisa. Tiga siswi ini ditambah Aulia, akhirnya menghabiskan waktu istirahat bermain bersama di halaman sekolah. Tak ada lagi yang meledek Intan, bahkan beberapa dari teman sekelas ada yang menawarkan makanan atau minuman untuk Intan. Situasi yang sangat berbeda sekali, kini senyum manis terhampar luas menghias bibir mungil si tubuh mini. Tetesan embun membasahi hati Lia karena Intan telah melewati masa tersulitnya di sekolah dengan segala bulian, ejekan, ledekan, ataupun kekerasan yang telah dia lewati. Kini semua siswa tak ada lagi yang menganggap remeh Intan dalam keterbatasan fisiknya. Si tubuh mini menjadi teman dari semua siswa karena kehadirannya selalu memberi rasa tersendiri.

Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

1 komentar

Yuk komennya, boleh banget kalau mau request atau yang lainnya. kami harapkan Masukan berupa kritikan dari kalian dengan bahasa yang membangun
Comment Author Avatar
Minggu, 04 Agustus 2024 pukul 20.58.00 WIB Delete
Mantap ceritanya, Mbak. Semangat!!!!!