Hantu di Siang Bolong

Table of Contents

Sinar matahari menghunjam ubun-ubun, membakar kulit. Peluh mengucur deras di wajah oval Adit, membasahi alis tebalnya. Ia menyeka keringat itu dengan punggung tangan, napasnya terasa berat.

 

"Ya ampun, panas banget nih udara!" gerutunya sambil berjalan di tengah tanah kosong. Tanah lapang terbentang sepi, sunyi senyap. Seolah semua makhluk hidup bersembunyi dari amukan surya.

 

Ia mempercepat langkah, bibirnya kembali bergerak, "Ih, mana sepi amat. Kemana sih orang-orang? Apa mereka lagi bocin, alias bobo ciang ya..."

 

Belum lagi kakinya menjejak ujung jalan, BRUK! Dentuman keras memecah kesunyian dari arah kanan. Adit tersentak, matanya menyapu sekeliling. Sepi. Senyap. Hening yang mencekam. Keheningan yang terasa mengintai. Jantungnya berdebar tak terkendali, ia membeku, mencoba mencari sumber suara itu.

 

"Bunyi apaan sih tadi itu?" bisiknya, matanya terus mencari. Nihil. Tiba-tiba, angin dingin berdesir, menerpa tengkuknya. Ia merinding, refleks memegangi lehernya.

 

"Ih, angin apaan sih nih? Bikin merinding aja tengkukku!" keluhnya, bahunya terangkat. Pria tinggi itu menoleh ke kanan dan kiri, bahkan berbalik beberapa kali, waspada terhadap kemungkinan bahaya.

 

"Aneh, siang bolong gini masa sih ada hantu berkeliaran?" gumamnya. Karena tak menemukan apa pun, firasat buruk mendorongnya untuk lari. Ia mempercepat langkah, berharap menjauhi tempat ini secepat mungkin.

 

"Ah, mending aku kaaabuuur..." Baru saja niat itu terlintas, tanah di sebelah kanannya bergetar. Ia mengurungkan langkah, menahan diri untuk tidak panik, dan kembali mengamati. Tanah berkerikil dan ditumbuhi rumput liar itu bergerak aneh, seolah ada sesuatu yang berusaha keluar. Rasa ingin tahu mengalahkan ketakutan, membuatnya terpaku, menunggu apa yang akan terjadi.

 

Selama beberapa saat, tanah itu terus bergelombang, terbatas pada area seluas dua meter.

 

"Aneh, ada apaan sih?" Penasaran, Adit mendekat. Tanah yang retak itu terangkat, dan tiga ekor kelinci hitam muncul dari dalamnya. Ia mundur selangkah, terkejut melihat kelinci-kelinci itu melompat ke arah semak, meninggalkan jejak debu di udara.

 

"Hem, cuma kelinci doang," Adit menghela napas dan menggaruk kepala. "Tapi beneran aneh nih, masa kelinci bisa terkubur di tempat itu, terus muncul sendiri? Enggak masuk akal!" Ia kembali melangkah, berusaha menenangkan diri.

 

"Kelinci aneh, bikin jantung gue deg-degkan aja. Kirain ada eliant!" Ia mengomel, masih memikirkan kejadian aneh itu. Tiba-tiba... “Adithia!” Suara perempuan memanggil namanya. Refleks, ia berhenti dan berbalik.

 

“Siska?” bisiknya tak percaya. Di depannya berdiri sosok yang sangat dikenalnya: Siska, teman sekolahnya yang meninggal seminggu lalu. Rambut panjangnya tergerai, wajahnya pucat pasi, dan matanya yang hitam legam menatapnya dengan aura dingin yang membekukan.

 

“Sis… Siska?” lirih Adit.

“Aku bukan Siska, Dit. Aku Sisil,” jawab wanita itu, menunjuk tahi lalat di atas bibir kirinya.

 

“Sisil?” tanya Adit, bingung.

“Ya, aku Sisil. Saudara kembarnya Siska,” jawabnya dengan senyum tipis.

 

“Lalu, mau apa kamu?” kembali Adit bertanya, curiga. Sisil mengangkat bahu, lalu menggeleng. Ada sesuatu yang disembunyikannya. "Apa maksudnya?" tanyanya. Sisil menghela napas panjang.

 

"Aku ingin membalaskan kematian Siska, Dit," ucapnya, seolah siap membongkar sebuah rahasia besar. Ia mengajak Adit untuk berbicara di warung kopi yang terletak tidak jauh dari sana.

 

"Kita duduk di warung itu, Dit," Sisil menunjuk sebuah warung reyot di kejauhan. Adit mengangguk.

"Tapi, Sil, dengan penampilan kamu seperti ini, justru orang ngira kamu itu Siska," kata Adit, merasa ngeri dengan kemiripan mereka. Sisil tertawa ringan, mengibaskan tangannya.

 

"Itu emang yang aku cari, Dit," jawabnya, melangkah maju. Adit mengikutinya, bingung.

"Apa maksud kamu?" tanyanya, menyamai langkah Sisil.

 

"Aku ingin semua orang ngira aku adalah Siska, sehingga aku bebas membalaskan sakit yang Siska rasakan," bisiknya. Adit menggeleng, menggaruk kepala. Ada yang sangat tidak beres dengan situasi ini.

 

Di warung kopi itu, Adit memilih meja di luar, berharap ada angin sejuk yang berhembus. Namun, aroma kopi bercampur debu dan apak langsung menusuk hidungnya. Warung itu tampak usang, catnya mengelupas, dan meja kursinya reyot, seolah ditinggalkan waktu.

 

"Di sini aja, Sil," ajaknya, berusaha mengabaikan perasaan tidak nyaman yang semakin kuat mencengkeramnya. Sisil hanya mengangguk.

 

"Mau pesan apa?" Adit bertanya. Sisil menggeleng.

"Kamu mau minum apa makan?" Adit bertanya lagi, bingung. Sisil hanya tersenyum tipis, lalu menggeleng lagi. Adit menghela napas.

 

"Kok wajah kamu pucat amat sih, Sil?" Adit menatap wajah Sisil. Sorot matanya kosong dan dingin, tanpa emosi. Sisil tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke matanya.

 

"Kamu lapar? Aku pesankan makanan, ya?" Sisil tidak menjawab, hanya menggeleng. Tatapannya menerawang jauh, seolah melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat Adit.

 

"Yah sudahlah, aku mau pesan dulu," gumamnya. Ia berdiri dan melangkah masuk ke dalam warung kopi yang kosong. Semakin dalam ia masuk, semakin kuat aroma apak dan debu menusuk hidungnya, membuatnya mual.

 

"Permisi..." Suaranya menggema di ruangan sunyi itu. Adit mencari sosok penjual, tetapi tidak ada siapapun.

"Permisi..." Ia memanggil lagi, lebih keras, tetapi tetap tidak ada jawaban.

 

"Kemana sih yang dagangnya?" keluhnya. Ia sudah meneliti setiap sudut ruangan, tetapi tidak menemukan siapapun. Suasana warung itu tiba-tiba terasa aneh, seolah ada yang mengawasi gerak-geriknya dari kegelapan.

 

"Kok sepi amat ya?" gumamnya. Ia berjalan menuju ruang masak. Di sana, ia melihat kompor gas dengan dua tungku, serta peralatan masak yang berkarat dan tidak terawat, tertutup debu tebal dan sarang laba-laba. Seolah tempat itu sudah lama ditinggalkan.

 

"Permisi!" Adit bersuara lebih keras, mencoba mengusir perasaan aneh yang semakin kuat.

"Permisi, saya mau beli!" Ia kembali berteriak, tetapi tetap tidak ada jawaban.

 

Ia menggaruk kepala, matanya menyapu seluruh ruangan. Sepi. Senyap. Sunyi. Hening yang memekakkan telinga. Bahkan desiran angin pun tidak terdengar, seolah tempat ini terisolasi dari dunia luar, terperangkap dalam waktu. Adit merasakan keanehan yang menusuk tulang, tengkuknya merinding, dan bulu kuduknya berdiri tegak.

 

"Ih, kok perasaan gue enggak enak ya?" gumamnya. Ia berbalik, ingin kembali ke tempat Sisil, berharap kehadirannya bisa mengusir perasaan aneh ini. Namun, langkahnya terhenti. Di meja yang tadi ia pilih, duduk dua wanita membelakanginya. Rambut panjang mereka tergerai menutupi punggung, tetapi ada yang aneh dengan posisi duduk mereka. Terlalu kaku, tidak alami. Seperti boneka yang dipajang. Adit membeku, menatap dua sosok yang tampak identik itu. Rasa takut mulai mencengkeramnya.

 

"Kok ada dua? Siapa sih mereka?" Perasaannya semakin kacau. Rasa mencekam itu semakin kuat, membuatnya sulit bernapas. Jantungnya berdebar keras.

"Aneh..." gumamnya. Ia melangkah mundur. Baru selangkah, ia mendengar suara gemerisik dari dalam ruang masak, diikuti suara mengerikan: tulang patah dan daging membusuk. Refleks, ia menoleh. Pocong melompat keluar dari kegelapan, bergerak dengan gerakan patah-patah yang mengerikan. Kain kafannya robek dan penuh lumpur.

 

“Pocong…” bisiknya, lidahnya kelu. Ia ingin berbalik dan lari, tetapi kakinya terasa terpaku di tanah. Mimpi buruk ini menjadi kenyataan. Adit membeku, ekspresi ketakutan terukir jelas di wajahnya. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan napasnya tercekat. Pocong itu mendekat, hanya dua meter darinya. Bau busuk menyengat hidungnya, membuatnya mual dan ingin muntah. Rasa takutnya mencapai puncak, nyaris membuatnya kehilangan kendali. Untungnya, instingnya untuk bertahan hidup menyala. Ia berbalik dan berlari secepat mungkin, mengabaikan bisikan-bisikan aneh yang memanggil namanya dengan nada mengerikan.

 

Saat melewati meja tempat dua sosok itu masih duduk, rasa penasaran dan ngeri mengalahkan akal sehatnya. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menoleh. Dua wanita cantik itu adalah kuntilanak! Wajah mereka pucat pasi, senyum mereka mengerikan, dan mata mereka sayu memancarkan kebencian yang mendalam. Bau anyir darah semakin kuat, nyaris membuatnya pingsan. Adit memberanikan diri melihat ke bawah. Kaki-kaki itu tidak menjejak tanah, melainkan melayang. Dari balik rambut mereka, seringai mengerikan terlihat jelas, disertai tawa cekikikan yang menusuk telinga, membuatnya merinding.

 

Tanpa berpikir panjang, Adit berlari secepat yang ia bisa, tidak peduli arah, hanya ingin menjauhi warung kopi terkutuk itu. Ia berharap bisa melupakan semua kengerian yang baru saja dilihatnya. Sejak saat itu, ia tidak pernah berani melewati tempat itu lagi. Setiap kali mendengar suara gemerisik atau merasakan angin dingin, bayangan hantu di siang bolong itu kembali menghantuinya. 

Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

1 komentar

Yuk komennya, boleh banget kalau mau request atau yang lainnya. kami harapkan Masukan berupa kritikan dari kalian dengan bahasa yang membangun
Comment Author Avatar
Rabu, 23 April 2025 pukul 21.48.00 WIB Delete
Request cerita yang nama tokohnya Afifah, dong.