Senyum di ujung batas terakhir

Table of Contents

Matahari tengah bersinar terik, memanggang Jakarta dengan panasnya yang khas. Debu jalanan menari-nari dalam sorot mentari yang menembus celah-celah atap seng warung pecel ayam Pak Ibnu. Aroma gurih pecel ayam, bercampur dengan aroma keringat dan asap knalpot, menciptakan suasana khas warung pinggir jalan. Warung itu, meski sederhana dengan bangku-bangku kayu yang sedikit reyot dan meja-meja yang permukaannya mulai mengelupas, selalu ramai. Dua belas orang, dari bapak-bapak berkaus oblong hingga anak sekolah berseragam putih abu-abu, memenuhi setiap sudutnya. Novi dan Sarah memilih sudut kiri depan pintu masuk, sedikit terpencil dari hiruk pikuk utama.

 

Novi, dengan hijab instan berwarna biru langit dan blus katun longgar, tampak asyik menikmati hidangannya. Sesekali matanya membulat, seolah terkejut oleh ledakan rasa pedas di mulutnya. Ia mengipasi mulutnya dengan tangan, berusaha meredakan sensasi terbakar yang nikmat itu. Sarah, di sisi lain, mengenakan hijab segi empat berwarna cokelat muda yang senada dengan gamisnya. Wajahnya yang oval tampak sedikit lelah, namun ia berusaha memasang senyum yang cerah. Bumbu pecel ayam menempel di sudut bibirnya, namun ia seolah tak menyadarinya.

 

"Gila, Ra, ini sambel Pak Ibnu emang nggak ada obat! Pedesnya bikin bibir dower!" kata Novi, sambil mengipasi mulutnya lebih kencang.

 

Sarah tersenyum tipis. "Bener, Vi. Tapi nagih banget, kan? Loe sih emang demen pedes."

 

"Nah, itu dia! Eh, ngomong-ngomong, Tasya lagi seneng apa sekarang? Pasti udah banyak tingkah ya?" tanya Novi, membayangkan anak kecil yang lucu.

 

Sarah tersenyum. "Iya, Vi. Lagi seneng banget nyanyi-nyanyi nggak jelas. Tapi ya gitu deh... liriknya kebolak-balik."

 

Novi tertawa. "Ah, namanya juga anak-anak! Yang penting happy, kan?"

 

Sarah mengangguk, senyumnya sedikit lebih lebar, namun raut wajahnya tetap menyimpan gurat-gurat kekhawatiran, seolah senyum itu hanya menutupi kegelisahannya. "Iya sih, Vi. Walau gitu, dia ngertiin gue. Dia selalu gandeng tangan gue erat-erat kalo lagi di luar. Kayak tau aja kalo dia yang harus nuntun gue ke sana kemari."

 

Novi mengunyah kunyahan terakhirnya. "Kenapa sih, Ra? Kok gue liat dari tadi loe kayak ada yang dipendem gitu? Ada apaan emangnya?" Sarah baru saja meletakkan sendoknya. Ia menghela napas panjang dan menatap Novi, ekspresinya berubah serius.

 

“Gue lagi bad mood, nih,” sambung Sarah sambil memutar kedua bola matanya, seolah mencari sesuatu.

 

"Emang kenapa, sih, Ra?" tanya Novi sambil mengarahkan tatapannya yang penuh tanya ke arah Sarah.

 

Sambil sesekali menyedot minumannya, Sarah mulai mengutarakan kerisauannya, "Gue ditawarin nulis bareng sama teman-teman tunanetra buat bikin buku antoloeegi."

 

"Iya, sih, tapi kali ini ide gue kenapa buntu, ya," keluh Sarah sambil menghela napas.

 

"Temanya braille, gue udah nulis beberapa kali tapi kok nggak enak aja, tuh tulisan," kata Sarah sambil menggigit bibir bawahnya, sedangkan Novi asyik menghabiskan es teh tawarnya.

 

"Kok bisa? Kan biasanya Lu lancar jaya aja kalau buat cerpen," sahut Novi yang telah menghabiskan segelas minumannya.

 

"Nah, itu dia masalahnya. Kenapa, ya, kok untuk yang satu ini gue buntu banget? Mana deadline-nya tinggal dua minggu lagi sama ketentuan jumlah kata harus 2.000 sampai 2.500," lanjut Sarah sambil mengubah posisi duduknya.

 

"Nyebelin nggak, tuh," cibirlah Sarah sebagai ungkapan perasaan kesalnya.

 

"Kenapa nggak Lu batalin aja, Ra?" Novi memberikan ide.

 

"Udah. Sejak awal ditawarin, gue udah coba menolak, tapi PJ-nya ngasih keloeenggaran waktu satu bulan. Sekarang tinggal empat belas hari lagi, gimana coba?" Sarah berdecak kesal. Novi, temannya yang dikenal di sebuah Yayasan Tunanetra, tertawa kecil.

 

"Ngapa Lu malah ketawa, Vi?" tanya Sarah dengan nada sedikit tidak suka.

 

"Hahaha... Udah Lu nulis aja pengalaman pribadi tentang gimana awalnya mengenal huruf braille. Ceritain tentang Mbak Esa yang pertama kali ngajarin Lu huruf braille, terus gimana perjuangan sama Pak Muiz pas loee belajar Iqro Braille sampai sekarang Lu udah bisa ngaji Al-Qur'an sendiri," ucap Novi, memberikan ide sambil memancing kembali semangat sahabatnya. Sarah diam mendengarkan.

 

Sarah telah menghasilkan sepuluh buku soloe dan lebih dari seratus antoloegi. Ia juga sering diminta menjadi motivator dan narasumber di berbagai forum penulisan.

 

"Iya, sih, Vi. Malah gue berniat menceritakan Lu sebagai pembaca buku audio, tapi apa hubungannya, ya sama braille?" tanya Sarah. Novi tertawa mendengar keluhan sahabatnya.

 

"Nyebelin Lu, Vi," omel Sarah.

 

"Hahaha, tenang aja, Bu. 'Kan Lu bisa nyeritain buku audio yang juga bisa digunakan tunanetra sebagai media bacaan selain buku braille," jawab Novi sambil merapikan diri dan bersiap kembali ke yayasan tempatnya bekerja. Sarah mengangguk-angguk mendengar penjelasan Novi.

 

"Ya, udah, yuk, kita balik! Bentar lagi suami loee ngejemput," ajak Novi sambil berdiri. Sarah pun ikut berdiri.

 

Di tengah kesunyian rumah, komputer bicara menjadi satu-satunya teman setia Sarah. Jari-jarinya menari di atas keyboard, namun sudah satu jam lamanya kursor di layar hanya berkedap-kedip, seolah mengejek kebuntuan idenya.

 

Sarah menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Apa, ya, yang bisa kutulis untuk antoloegi braille ini?" gumamnya lirih, seraya menggigit bibir dan menggaruk kepala yang tidak gatal. "Ah, suasana hatiku sedang benar-benar buruk hari ini."

 

"Dear Diary...

 

Jiwaku terasa rapuh, Diary.

Hatiku hampa, seperti ruang tanpa jendela."

 

Saat pikirannya kalut mencari ide untuk cerpen braille, tiba-tiba notifikasi pesan terdengar dari ponselnya. Dengan lesu, Sarah mengambil ponsel itu, menggeser layar sentuh, dan mendengarkan pesan dari Indah, temannya yang mengajak ikut antoloegi braille. "[Assalamu'alaikum, Ibu cantik,]" Sarah membacanya dengan tersenyum kecut, lalu jemarinya dengan lincah mengetik balasan.

 

[Wa'alaikumsalam, Ndah.]

 

Tak berapa lama, notifikasi pesan berbunyi. Sarah mendengarkan kembali pesan dari Indah, "[Gimana, Ra, udah jadi naskah Lu?]"

 

[Belum.] Sarah langsung menjawab

 

Pesan terkirim dan Indah langsung membalas, "[loeeh, kok bisa, sih? 'Kan Lu itu paling cepat nulisnya dan itu sudah terbukti lho dengan karya-karya Lu yang keren-keren.]" Sarah mendesah membacanya. Dengan sedikit tak bersemangat, dia membalas pesan itu untuk menjelaskan kondisinya.

 

[Enggak tahu, nih. Gue kok nggak ada ide buat antoloeegi ini. Apa gue mundur aja, ya, Ndah?]

 

[Kok gitu, Ra? Ayolah, dicoba dulu. 'Kan masih tiga belas hari lagi. Gue yakin Lu pasti bisa.] Sarah mendengarkan pesan yang diterimanya.

 

Dengan sedikit malas, Sarah mengetik jawaban dan mengirimkannya, [Ya udah, deh. Kalau sampai lusa gue nggak ada ide juga, mohon maaf gue mundur aja, ya.]

 

[Jujur, sih, Ra, gue sedikit kecewa Lu mundur, tapi gue masih tetap yakin Lu pasti bisa ikut antoloeegi ini.] Sarah tak menjawab karena ia mendengar ponsel bicaranya bahwa Indah sedang mengetik pesan. Tak berapa lama, notifikasi berbunyi. Sarah menggeser layar sentuh dan mendengarkan kembali isi pesan yang diterima.

 

[Baiklah, Ra, kalau begitu. Kabarin aja kalau memang tiba-tiba Lu berubah pikiran.] Sarah menarik napas panjang dan mengembuskannya, lalu meletakkan kembali ponsel dan mulai memfokuskan diri untuk mengetik kata demi kata yang ia urai.

 

jiwaku rapuh.

hatiku kosong.

ragaku semu dan pikiranku melayang entah ke mana.

ingin rasanya terbang tapi sayapku telah patah sebelah.

hasrat ingin melanglang buana tapi langkah ini tertahan dalam kenetraan.

kini, aku bagai burung di sangkar emas yang hanya bisa mengubur semua hasrat.

sekarang aku terpuruk dalam gelap yang tak berujung.

 

Oh Diaryku ....

 

apakah ini akhir kisahku yang hanya bisa diam mematung?

apakah ini lara yang tak terobati hingga sesak dada ini takkan meloeenggar?

apakah aku tak berhak lagi untuk menikmati indahnya dunia?

apakah aku masih boleh untuk berkarya?

 

Duhai hatiku yang terluka ....

bila diri ini mau menangis, silakan menangislah.

jangan bendung lagi air mata, sebab kini sudah waktunya rasa kecewa yang terpendam itu dihancurkan dengan isakan sesungguhnya.

menangislah duhai diri, karena saat ini memang harus menangis.

 

Bait puisi itu terukir di layar monitor Sarah. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Ah, kenapa jadinya gini lagi, sih? Apa hubungannya, ya sama braille?"

 

Sarah menggerutu karena ia tak berhasil juga menulis cerita dengan tema braille yang ditawarkan Indah. Ia berdecak kasar lalu beranjak berdiri. "Dahlah, aku nyerah aja, deh."

 

Tiga hari telah berlalu. Indah kembali menelepon Sarah, dan kali ini Sarah benar-benar menyerah untuk tidak ikut dalam antoloegi braille. Indah sangat kecewa, tetapi dengan terpaksa menyetujui keputusan Sarah.

 

"Alhamdulillah, akhirnya Indah mau ngertiin aku juga, ya. Setidaknya bebanku lenyap deh," gumam Sarah yang telah duduk menghadap komputernya.

 

Braille ....

 

Ketika kegelapan menemani kesaharianku

Ketika aku menyandang kata difabel netra

Ketika itu pula, aku berkenalan denganmu

Dengan segala perjuangan, akhirnya jalinan keakraban itu mengikatku denganmu.

Paduan titik yang membentuk sebuah huruf tersusun rapi, menjadi kata berlanjut dalam kalimat

Rabaan tangan menjadi cara untuk mengenalimu agar kami bisa membaca kembali

 

Braille oh braille ....

Dahulu aku tak pernah menyangka akan mengenalmu

Takdirlah yang mempertemukan kita

Hingga kini aku telah bangga bisa menyandingmu dalam setiap bacaan yang kunikmati

 

Bahkan yang teristimewa adalah sujud syukurku karena kini kembali bisa membaca kalam-Mu, ya Rabb

 

Meski mataku buta

Walau hanya dengan rabaan tangan, kini aku berusaha istiqamah bertilawah

 

Terima kasih, braille.

 

Sarah tersenyum. Rona bahagia terpancar dari raut wajahnya, meski ia sudah tidak ikut cerpen antoloegi braille, semangat menulisnya masih mengalir dalam darahnya.

 

"Alhamdulillah, biar puisi kecil, tapi setidaknya aku bisa bercerita dengan braille," ucapnya bangga.

 

Minggu itu, Sarah dan keluarganya menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan. Tongkat putihnya menjadi penuntun, namun tak mengurangi semangatnya menikmati suasana ramai. Ketika hendak naik lift, tiba-tiba Tasya, putri tunggalnya yang berusia tujuh tahun, menarik lengannya dan menempelkannya pada dinding lift. "Mi, coba baca, ini ada huruf braille-nya," ucap Tasya memberi tahu. Sarah tersenyum. Dengan cekatan, ia meraba tombol lift dan menemukan huruf braille di tengahnya.

 

"Yang ini berarti naik, dan yang ini berarti turun," Sarah menjelaskan satu per satu tombol yang ditunjuknya.

 

“Mimi nebak, apa beneran bacanya?” tanya Tasya menatap miminya untuk meyakinkan dirinya.

 

Sarah mengusap kepala putrinya dengan lembut. Di sisi lain, Pras, suami Sarah, memperhatikan mereka sambil tersenyum. "Emang menurut Kakak, Mimi itu nebak apa nggak, sih?" tanya Pras, mencoba memberikan keyakinan pada Tasya yang terus menatap Miminya.

 

"Nah, makanya Kakak nanya, Bi. Sebenarnya Mimi nebak aja karena ada arah panahnya, atau memang Mimi tahu huruf yang ada di tombol itu?" jelas Tasya membela diri.

 

"Ya nggak nebaklah, Kak. Kan itu ada huruf U dan P yang berarti UP atau naik, dan huruf DWN atau DOWN yang berarti turun," Sarah menerangkan sambil menempelkan jemarinya di masing-masing tombol agar Tasya benar-benar yakin bahwa Miminya memang bisa membaca tulisan braille.

 

"Mimi hebat!" sorak Tasya riang.

 

Menunggu pintu lift terbuka, Sarah tersenyum sambil bergumam, "Alhamdulillah, ada gunanya juga, ya, huruf braille itu."

Saat lift sampai dan pintunya terbuka, Sarah sekeluarga serta tiga orang lainnya masuk.

Sarah meminta Pras untuk berdiri di dekat pintu, di mana ada tombol petunjuk lantai yang akan dituju. Pras menurutinya. Ketika pintu lift tertutup, Sarah meraba satu per satu tombol dan menyebutkan angka yang tertera di setiap tombol. Tasya bertepuk tangan, merasa bangga pada Miminya.

 

“Mimi hebat, enggak sia-sia Mimi belajar braille sama tante Esa," Pras yang berdiri di sisi kanan Tasya mengusap kepala putri semata wayangnya.

 

Setibanya di lantai tiga, mereka turun lalu melangkah santai menikmati keramaian mal sambil sesekali Tasya menjelaskan apa yang sedang mereka lewati.

 

"Mi, itu ada toko kacamata," tunjuk Tasya pada sebuah optik yang tak jauh dari keberadaan mereka.

 

“Abi mau cuci kacamata nggak," lanjutnya sambil menatap Pras.

 

"Boleh, deh, Kak," jawab Pras menyetujui.

 

"Ya udah kita ke sana, yuk, Mi," ajak Tasya menarik lengan Sarah.

 

Sampai di depan pintu optik, Sarah menghentikan langkahnya dan bergeser ke tepi kiri toko. "Gimana kalau Mimi nunggunya di sini aja, ya, Bi?" pinta Sarah yang merasa suasana di dalam optik sedikit ramai.

 

“Ya udah kalau memang Mimi nggak keberatan,” jawab Pras bersiap melangkah masuk ke dalam optik.

 

“Enggak kok, Ya udah Abi masuk aja sana, biar Mimi di sini sama Tasya,” jawab Sarah.

 

“Nggak mau. Mimi aja di sini, aku ikut Abi,” tolak Tasya dengan menggandeng lengan Pras, Sarah tersenyum sambil mengangguk memberi persetujuan. Selagi menunggu Sarah mengambil ponselnya, tiba-tiba seorang wanita berhijab ungu menegurnya, "Assalamu'alaikum."

 

Sarah mengarahkan wajahnya ke sumber suara, “Waalaikumussalam. Siapa, ya dan mau apa?” tanya Sarah.

 

“Maaf, Bu, nama saya Dila. Tadi sewaktu naik lift, saya mendengar obrolan Ibu dengan anak Ibu,” jawab Dila menjelaskan tujuanya.

 

Sarah tetap menatap ke depan, menunggu kelanjutan penjelasan Dila, orang yang baru dikenalnya.

 

“Maaf, Bu, saya harap Ibu tidak tersinggung dengan pertanyaan saya,” Dila berkata dan Sarah hanya tersenyum kecil. “Ibu bisa membaca huruf braille, ya?” tanya Dila.

 

“Bisa, biar masih belum cepat merabanya. Emang kenapa, Mba?” jawab Sarah dengan balik bertanya.

 

“Maaf, Bu, soalnya yang saya tahu sekarang ini tunanetra 'kan sudah nyaman menggunakan kecanggihan teknoloeegi, baik untuk berkomunikasi ataupun membaca berbagai macam tulisan. Nah saya sedikit ingin tahu soal Ibu, apakah boleh?” jelas Dila.

 

“Tentang apa?” tanya Sarah.

 

“Saya adalah seorang aktivis dari Perhimpunan Jiwa Sehat dan saya tertarik ketika melihat Ibu di lift apalagi ketika putri Ibu koperatif menunjukkan huruf braille di tombol pintu lift dan Ibu merespon sangat baik,” tutur Dila

 

“maaf ibu tuna netra baru atau sejak lahir?” tanya dila mulai mencari tahu tentang Sarah, Sarah tersenyum

“ baru tujuh tahun “ singkat dijawabnya, dila mengangguk kecil

“oh, berarti ibu baru juga ya mengenal huruf braille” tanya dila

“iya , sejak jadi tuna netra dan saya mengenal yayasan untuk tuna netra” jawab sarah

“kenapa sih ibu mau belajar huruf braille,eh maaf, kalau menurut saya huruf braille itu kan susah banget tuh”, Sarah tertawa kecil mengedarkan pandanganya.

“jujur saya salut banget sama tuna netra yang masih mau mengunakan huruf braille untuk membaca atau menulis , soalnya kan sekarang itu kecanggihan tehnoloeegi sudah bisa memfasilitasi tuna netra” dila memberikan pendapat.

“iya sih mba, tapi tujuan utama saya adalah saya ingin kembali bisa membaca al-qur’an” terang Sarah

 

obrolan santai kedua wanita itu pun berlanjut yang pada intinya Dila sangat mengagumi Sarah yang baru 7 tahun menjadi tunanetra karena glukoma tapi mau belajar huruf braille dan mengunakannya sebagai media untuk membaca sedangkan kemajuan zaman kini telah menempatkan kecanggihan tekhnoloeegi untuk bisa mengakses berbagai hal yang diinginkan tanpa harus bersusahpayah meraba lagi yang menurut Dila tingkat kesulitan meraba itu jauh lebih sulit.

 

“Emang, sih bener gitu , Mba. Tapi saya mengunakan huruf braille juga sebagai media saya membaca Al-Qur’an lagi, 'kan Alhamdulilah saya kembali bisa mengaji lagi." Komentar Sarah menanggapi ucapan Dila.

 

“Iya, ya, Bu bener juga, tuh. Ternyata membaca Al-Qur’an dengan meraba jauh lebih mengena, ya daripada mengikuti suara di ponsel.” Dila menyetujui pendapat Sarah.

 

"Bener banget, tuh Mba Dila dan saya juga merasakan terapi tersendiri ketika jemari saya meraba di Al-Qur’an yang sedang saya baca,” sahut Sarah bangga.

 

“tapi apa sih bu, kendala ibu ketika membaca huruf braille?” kembali dila bertanya mengungkapkan keingintahuanya, sarah tertawa kecil menghadapkan wajahnya ke depan.

 

“paling susah itu ketika titiknya sudah nyaris tak teraba atau tertimpa pada lembar belakangnya” jelas sarah, santai dila mendengarkan , tapi rasa kekagumanya terpancar dari aora wajah orientalnya.

 

“Oke, Bu Sarah, terima kasih banyak obrolannya, itu suami dan putri Ibu sudah selesai,“ jawab Dila dan tak begitu lama suara Tasya terdengar mendekat, “Ayo, Mi, Abi dah selesai.”

 

Keesokan harinya di saat Sarah membuka laptopnya, hasrat menulis tiba-tiba bergeloera entah kekuatan dari mana akhirnya ia berantusias membuat cerpen dengan tema braille. Bersamaan Jemarinya lincah mengetik huruf demi huruf siluet mba esa yang menjadi pengajar braille melintas dan gambaransaat dirinya belajar pertama kali mengenal huruf braille hadir , segala kisah perjuangan dirinya takala menghapalkan letak titik di setiap huruf abjad hadir laksana sarah sedang memutar kembali tayangan film dirinya. Selain mba esa ,kehadiran pak muiz juga datang menemani sarah yang tetap bersemangat mengetik naskah tulisanya, semua cerita perjuangan itu dituangkanya dalam evoria bahagia hingga 'tak terasa akhirnya Sarah mampu melahirkan karya cerpen braille yang ia beri judul 'Kemerlap Braille'

 

'Alhamdulillah, akhirnya aku bisa ikutan, deh antoloeegi ini. Sekarang tinggal telepon Indah apa masih bisa aku ikutan,' gumam Sarah lalu ia mengambil ponselnya dan menggeser mencari nama Indah, ketika telah ditemukan langsung dihubunginya. Nada sambung terdengar beberapa kali tapi belum ada respon, ada sedikit rasa cemas Ketika Indah yang 'tak kunjung mengangkat teleponnya. Sarah tak gentar, dia mencoba lagi menelpon tuk yang kedua kalinya, tetapi tetap sambungan jarak jauh itu tak bersambut.

 

'Ayo, dong angkat teleponnya,' gerutunya, "Ah! Ke mana, sih Indah itu.” Sarah terus menggerutu sambil terus berusaha menelepon Indah. Di panggilan yang keempat barulah usaha Sarah berbuah hasil.

 

"Asalamu’alaikum," sapa Indah.

 

"Maaf, Ra. Gue tadi lagi di kamar mandi jadi nggak bisa angkat telepon Lu," jelas Indah.

 

"Wa'alaikum salam, iya Dah gue sempet putus asa aja, kok nggak Indah angkat, ya teleponnya,"

 

"He, maaf, Ra. Ada apa, nih?"

 

"gue masih bisa ikut gabung di antoloeegi braille nggak, Dah?" tanya Sarah.

 

"Masih banget, Ra."

 

"Alhamdulillah, kalau emang masih bisa. Nanti abis nutup telepon gue kirim naskahnya."

 

"Alhamdulillah, akhirnya Lu ikutan juga. gue senang banget, nih. Dari awal gue yakin bener kalau Lu pasti bisa ikutan, Ra. Sayang ini cuma penulis pilihan aja, 'kan Lu tahu gue cuma ngajakin sepuluh penulis di buku kali ini," jelas Indah menyatakan rasa senangnya sebab ia memang yakin Sarah pasti bisa gabung bareng dengan sembilan penulis lainnya di buku antoloeegi ini sebagai apresiasi Bulan Braille yang diperingati di Bulan Januari.

 

"Alhamdulillah, terima kasih, Dah, untuk segalanya."

 

Basa-basi sejenak barulah obrolan berakhir dan setelahnya Sarah mengirimkan naskah hasil karyanya.

 

'Alhamdulillah, terima kasih, Yaa Allah.' Sarah mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan tanda ia bersyukur atas kesempatan yang Allah izinkan hingga berhasil membuat cerpen braille sesuai ketentuan dari penyelenggara.

 

Kemerlap braille, cerpen yang menceritakan perjalanan di mana Sarah mulai menapaki kehidupan baru bersama huruf braille hingga kini ia sudah bisa kembali membaca Al-Qur’an yang pada awal kenetraanya sama sekali 'tak terbayangkan bisa membaca kitab suci itu dengan rabaan tangan dan sekarang, kemerlap braille adalah satu karya terbaru Sarah yang dinikmatinya dalam evoria. Dengan pembuktian bahwa keterbatasan penglihatan bukan penghalang untuk terus berkarya.


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar