Senyum di ujung batas terakhir
Matahari
tengah bersinar terik, memanggang Jakarta dengan panasnya yang khas. Debu
jalanan menari-nari dalam sorot mentari yang menembus celah-celah atap seng
warung pecel ayam Pak Ibnu. Aroma gurih pecel ayam, bercampur dengan aroma
keringat dan asap knalpot, menciptakan suasana khas warung pinggir jalan.
Warung itu, meski sederhana dengan bangku-bangku kayu yang sedikit reyot dan
meja-meja yang permukaannya mulai mengelupas, selalu ramai. Dua belas orang,
dari bapak-bapak berkaus oblong hingga anak sekolah berseragam putih abu-abu,
memenuhi setiap sudutnya. Novi dan Sarah memilih sudut kiri depan pintu masuk,
sedikit terpencil dari hiruk pikuk utama.
Novi,
dengan hijab instan berwarna biru langit dan blus katun longgar, tampak asyik
menikmati hidangannya. Sesekali matanya membulat, seolah terkejut oleh ledakan
rasa pedas di mulutnya. Ia mengipasi mulutnya dengan tangan, berusaha meredakan
sensasi terbakar yang nikmat itu. Sarah, di sisi lain, mengenakan hijab segi
empat berwarna cokelat muda yang senada dengan gamisnya. Wajahnya yang oval
tampak sedikit lelah, namun ia berusaha memasang senyum yang cerah. Bumbu pecel
ayam menempel di sudut bibirnya, namun ia seolah tak menyadarinya.
"Gila,
Ra, ini sambel Pak Ibnu emang nggak ada obat! Pedesnya bikin bibir dower!"
kata Novi, sambil mengipasi mulutnya lebih kencang.
Sarah
tersenyum tipis. "Bener, Vi. Tapi nagih banget, kan? Loe sih emang demen
pedes."
"Nah,
itu dia! Eh, ngomong-ngomong, Tasya lagi seneng apa sekarang? Pasti udah banyak
tingkah ya?" tanya Novi, membayangkan anak kecil yang lucu.
Sarah
tersenyum. "Iya, Vi. Lagi seneng banget nyanyi-nyanyi nggak jelas. Tapi ya
gitu deh... liriknya kebolak-balik."
Novi
tertawa. "Ah, namanya juga anak-anak! Yang penting happy, kan?"
Sarah
mengangguk, senyumnya sedikit lebih lebar, namun raut wajahnya tetap menyimpan
gurat-gurat kekhawatiran, seolah senyum itu hanya menutupi kegelisahannya.
"Iya sih, Vi. Walau gitu, dia ngertiin gue. Dia selalu gandeng tangan gue
erat-erat kalo lagi di luar. Kayak tau aja kalo dia yang harus nuntun gue ke
sana kemari."
Novi
mengunyah kunyahan terakhirnya. "Kenapa sih, Ra? Kok gue liat dari tadi
loe kayak ada yang dipendem gitu? Ada apaan emangnya?" Sarah baru saja
meletakkan sendoknya. Ia menghela napas panjang dan menatap Novi, ekspresinya
berubah serius.
“Gue
lagi bad mood, nih,” sambung Sarah sambil memutar kedua bola matanya, seolah
mencari sesuatu.
"Emang
kenapa, sih, Ra?" tanya Novi sambil mengarahkan tatapannya yang penuh
tanya ke arah Sarah.
Sambil
sesekali menyedot minumannya, Sarah mulai mengutarakan kerisauannya, "Gue
ditawarin nulis bareng sama teman-teman tunanetra buat bikin buku
antoloeegi."
"Iya,
sih, tapi kali ini ide gue kenapa buntu, ya," keluh Sarah sambil menghela
napas.
"Temanya
braille, gue udah nulis beberapa kali tapi kok nggak enak aja, tuh tulisan,"
kata Sarah sambil menggigit bibir bawahnya, sedangkan Novi asyik menghabiskan
es teh tawarnya.
"Kok
bisa? Kan biasanya Lu lancar jaya aja kalau buat cerpen," sahut Novi yang
telah menghabiskan segelas minumannya.
"Nah,
itu dia masalahnya. Kenapa, ya, kok untuk yang satu ini gue buntu banget? Mana
deadline-nya tinggal dua minggu lagi sama ketentuan jumlah kata harus 2.000
sampai 2.500," lanjut Sarah sambil mengubah posisi duduknya.
"Nyebelin
nggak, tuh," cibirlah Sarah sebagai ungkapan perasaan kesalnya.
"Kenapa
nggak Lu batalin aja, Ra?" Novi memberikan ide.
"Udah.
Sejak awal ditawarin, gue udah coba menolak, tapi PJ-nya ngasih keloeenggaran
waktu satu bulan. Sekarang tinggal empat belas hari lagi, gimana coba?"
Sarah berdecak kesal. Novi, temannya yang dikenal di sebuah Yayasan Tunanetra,
tertawa kecil.
"Ngapa
Lu malah ketawa, Vi?" tanya Sarah dengan nada sedikit tidak suka.
"Hahaha...
Udah Lu nulis aja pengalaman pribadi tentang gimana awalnya mengenal huruf
braille. Ceritain tentang Mbak Esa yang pertama kali ngajarin Lu huruf braille,
terus gimana perjuangan sama Pak Muiz pas loee belajar Iqro Braille sampai
sekarang Lu udah bisa ngaji Al-Qur'an sendiri," ucap Novi, memberikan ide
sambil memancing kembali semangat sahabatnya. Sarah diam mendengarkan.
Sarah
telah menghasilkan sepuluh buku soloe dan lebih dari seratus antoloegi. Ia juga
sering diminta menjadi motivator dan narasumber di berbagai forum penulisan.
"Iya,
sih, Vi. Malah gue berniat menceritakan Lu sebagai pembaca buku audio, tapi apa
hubungannya, ya sama braille?" tanya Sarah. Novi tertawa mendengar keluhan
sahabatnya.
"Nyebelin
Lu, Vi," omel Sarah.
"Hahaha,
tenang aja, Bu. 'Kan Lu bisa nyeritain buku audio yang juga bisa digunakan
tunanetra sebagai media bacaan selain buku braille," jawab Novi sambil
merapikan diri dan bersiap kembali ke yayasan tempatnya bekerja. Sarah
mengangguk-angguk mendengar penjelasan Novi.
"Ya,
udah, yuk, kita balik! Bentar lagi suami loee ngejemput," ajak Novi sambil
berdiri. Sarah pun ikut berdiri.
Di
tengah kesunyian rumah, komputer bicara menjadi satu-satunya teman setia Sarah.
Jari-jarinya menari di atas keyboard, namun sudah satu jam lamanya kursor di
layar hanya berkedap-kedip, seolah mengejek kebuntuan idenya.
Sarah
menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Apa, ya, yang bisa
kutulis untuk antoloegi braille ini?" gumamnya lirih, seraya menggigit
bibir dan menggaruk kepala yang tidak gatal. "Ah, suasana hatiku sedang
benar-benar buruk hari ini."
"Dear
Diary...
Jiwaku
terasa rapuh, Diary.
Hatiku
hampa, seperti ruang tanpa jendela."
Saat
pikirannya kalut mencari ide untuk cerpen braille, tiba-tiba notifikasi pesan
terdengar dari ponselnya. Dengan lesu, Sarah mengambil ponsel itu, menggeser
layar sentuh, dan mendengarkan pesan dari Indah, temannya yang mengajak ikut
antoloegi braille. "[Assalamu'alaikum, Ibu cantik,]" Sarah membacanya
dengan tersenyum kecut, lalu jemarinya dengan lincah mengetik balasan.
[Wa'alaikumsalam,
Ndah.]
Tak
berapa lama, notifikasi pesan berbunyi. Sarah mendengarkan kembali pesan dari
Indah, "[Gimana, Ra, udah jadi naskah Lu?]"
[Belum.]
Sarah langsung menjawab
Pesan
terkirim dan Indah langsung membalas, "[loeeh, kok bisa, sih? 'Kan Lu itu
paling cepat nulisnya dan itu sudah terbukti lho dengan karya-karya Lu yang
keren-keren.]" Sarah mendesah membacanya. Dengan sedikit tak bersemangat,
dia membalas pesan itu untuk menjelaskan kondisinya.
[Enggak
tahu, nih. Gue kok nggak ada ide buat antoloeegi ini. Apa gue mundur aja, ya,
Ndah?]
[Kok
gitu, Ra? Ayolah, dicoba dulu. 'Kan masih tiga belas hari lagi. Gue yakin Lu
pasti bisa.] Sarah mendengarkan pesan yang diterimanya.
Dengan
sedikit malas, Sarah mengetik jawaban dan mengirimkannya, [Ya udah, deh. Kalau
sampai lusa gue nggak ada ide juga, mohon maaf gue mundur aja, ya.]
[Jujur,
sih, Ra, gue sedikit kecewa Lu mundur, tapi gue masih tetap yakin Lu pasti bisa
ikut antoloeegi ini.] Sarah tak menjawab karena ia mendengar ponsel bicaranya
bahwa Indah sedang mengetik pesan. Tak berapa lama, notifikasi berbunyi. Sarah
menggeser layar sentuh dan mendengarkan kembali isi pesan yang diterima.
[Baiklah,
Ra, kalau begitu. Kabarin aja kalau memang tiba-tiba Lu berubah pikiran.] Sarah
menarik napas panjang dan mengembuskannya, lalu meletakkan kembali ponsel dan
mulai memfokuskan diri untuk mengetik kata demi kata yang ia urai.
jiwaku
rapuh.
hatiku
kosong.
ragaku
semu dan pikiranku melayang entah ke mana.
ingin
rasanya terbang tapi sayapku telah patah sebelah.
hasrat
ingin melanglang buana tapi langkah ini tertahan dalam kenetraan.
kini,
aku bagai burung di sangkar emas yang hanya bisa mengubur semua hasrat.
sekarang
aku terpuruk dalam gelap yang tak berujung.
Oh
Diaryku ....
apakah
ini akhir kisahku yang hanya bisa diam mematung?
apakah
ini lara yang tak terobati hingga sesak dada ini takkan meloeenggar?
apakah
aku tak berhak lagi untuk menikmati indahnya dunia?
apakah
aku masih boleh untuk berkarya?
Duhai
hatiku yang terluka ....
bila
diri ini mau menangis, silakan menangislah.
jangan
bendung lagi air mata, sebab kini sudah waktunya rasa kecewa yang terpendam itu
dihancurkan dengan isakan sesungguhnya.
menangislah
duhai diri, karena saat ini memang harus menangis.
Bait
puisi itu terukir di layar monitor Sarah. Ia menyandarkan punggungnya ke
sandaran kursi. "Ah, kenapa jadinya gini lagi, sih? Apa hubungannya, ya
sama braille?"
Sarah
menggerutu karena ia tak berhasil juga menulis cerita dengan tema braille yang
ditawarkan Indah. Ia berdecak kasar lalu beranjak berdiri. "Dahlah, aku
nyerah aja, deh."
Tiga
hari telah berlalu. Indah kembali menelepon Sarah, dan kali ini Sarah benar-benar
menyerah untuk tidak ikut dalam antoloegi braille. Indah sangat kecewa, tetapi
dengan terpaksa menyetujui keputusan Sarah.
"Alhamdulillah,
akhirnya Indah mau ngertiin aku juga, ya. Setidaknya bebanku lenyap deh,"
gumam Sarah yang telah duduk menghadap komputernya.
Braille
....
Ketika
kegelapan menemani kesaharianku
Ketika
aku menyandang kata difabel netra
Ketika
itu pula, aku berkenalan denganmu
Dengan
segala perjuangan, akhirnya jalinan keakraban itu mengikatku denganmu.
Paduan
titik yang membentuk sebuah huruf tersusun rapi, menjadi kata berlanjut dalam
kalimat
Rabaan
tangan menjadi cara untuk mengenalimu agar kami bisa membaca kembali
Braille
oh braille ....
Dahulu
aku tak pernah menyangka akan mengenalmu
Takdirlah
yang mempertemukan kita
Hingga
kini aku telah bangga bisa menyandingmu dalam setiap bacaan yang kunikmati
Bahkan
yang teristimewa adalah sujud syukurku karena kini kembali bisa membaca
kalam-Mu, ya Rabb
Meski
mataku buta
Walau
hanya dengan rabaan tangan, kini aku berusaha istiqamah bertilawah
Terima
kasih, braille.
Sarah
tersenyum. Rona bahagia terpancar dari raut wajahnya, meski ia sudah tidak ikut
cerpen antoloegi braille, semangat menulisnya masih mengalir dalam darahnya.
"Alhamdulillah,
biar puisi kecil, tapi setidaknya aku bisa bercerita dengan braille,"
ucapnya bangga.
Minggu
itu, Sarah dan keluarganya menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan. Tongkat
putihnya menjadi penuntun, namun tak mengurangi semangatnya menikmati suasana
ramai. Ketika hendak naik lift, tiba-tiba Tasya, putri tunggalnya yang berusia
tujuh tahun, menarik lengannya dan menempelkannya pada dinding lift. "Mi,
coba baca, ini ada huruf braille-nya," ucap Tasya memberi tahu. Sarah
tersenyum. Dengan cekatan, ia meraba tombol lift dan menemukan huruf braille di
tengahnya.
"Yang
ini berarti naik, dan yang ini berarti turun," Sarah menjelaskan satu per
satu tombol yang ditunjuknya.
“Mimi
nebak, apa beneran bacanya?” tanya Tasya menatap miminya untuk meyakinkan
dirinya.
Sarah
mengusap kepala putrinya dengan lembut. Di sisi lain, Pras, suami Sarah,
memperhatikan mereka sambil tersenyum. "Emang menurut Kakak, Mimi itu
nebak apa nggak, sih?" tanya Pras, mencoba memberikan keyakinan pada Tasya
yang terus menatap Miminya.
"Nah,
makanya Kakak nanya, Bi. Sebenarnya Mimi nebak aja karena ada arah panahnya,
atau memang Mimi tahu huruf yang ada di tombol itu?" jelas Tasya membela
diri.
"Ya
nggak nebaklah, Kak. Kan itu ada huruf U dan P yang berarti UP atau naik, dan huruf
DWN atau DOWN yang berarti turun," Sarah menerangkan sambil menempelkan
jemarinya di masing-masing tombol agar Tasya benar-benar yakin bahwa Miminya
memang bisa membaca tulisan braille.
"Mimi
hebat!" sorak Tasya riang.
Menunggu
pintu lift terbuka, Sarah tersenyum sambil bergumam, "Alhamdulillah, ada
gunanya juga, ya, huruf braille itu."
Saat
lift sampai dan pintunya terbuka, Sarah sekeluarga serta tiga orang lainnya
masuk.
Sarah
meminta Pras untuk berdiri di dekat pintu, di mana ada tombol petunjuk lantai
yang akan dituju. Pras menurutinya. Ketika pintu lift tertutup, Sarah meraba
satu per satu tombol dan menyebutkan angka yang tertera di setiap tombol. Tasya
bertepuk tangan, merasa bangga pada Miminya.
“Mimi
hebat, enggak sia-sia Mimi belajar braille sama tante Esa," Pras yang
berdiri di sisi kanan Tasya mengusap kepala putri semata wayangnya.
Setibanya
di lantai tiga, mereka turun lalu melangkah santai menikmati keramaian mal
sambil sesekali Tasya menjelaskan apa yang sedang mereka lewati.
"Mi,
itu ada toko kacamata," tunjuk Tasya pada sebuah optik yang tak jauh dari
keberadaan mereka.
“Abi
mau cuci kacamata nggak," lanjutnya sambil menatap Pras.
"Boleh,
deh, Kak," jawab Pras menyetujui.
"Ya
udah kita ke sana, yuk, Mi," ajak Tasya menarik lengan Sarah.
Sampai
di depan pintu optik, Sarah menghentikan langkahnya dan bergeser ke tepi kiri
toko. "Gimana kalau Mimi nunggunya di sini aja, ya, Bi?" pinta Sarah
yang merasa suasana di dalam optik sedikit ramai.
“Ya
udah kalau memang Mimi nggak keberatan,” jawab Pras bersiap melangkah masuk ke
dalam optik.
“Enggak
kok, Ya udah Abi masuk aja sana, biar Mimi di sini sama Tasya,” jawab Sarah.
“Nggak
mau. Mimi aja di sini, aku ikut Abi,” tolak Tasya dengan menggandeng lengan
Pras, Sarah tersenyum sambil mengangguk memberi persetujuan. Selagi menunggu
Sarah mengambil ponselnya, tiba-tiba seorang wanita berhijab ungu menegurnya,
"Assalamu'alaikum."
Sarah
mengarahkan wajahnya ke sumber suara, “Waalaikumussalam. Siapa, ya dan mau
apa?” tanya Sarah.
“Maaf,
Bu, nama saya Dila. Tadi sewaktu naik lift, saya mendengar obrolan Ibu dengan
anak Ibu,” jawab Dila menjelaskan tujuanya.
Sarah
tetap menatap ke depan, menunggu kelanjutan penjelasan Dila, orang yang baru
dikenalnya.
“Maaf,
Bu, saya harap Ibu tidak tersinggung dengan pertanyaan saya,” Dila berkata dan
Sarah hanya tersenyum kecil. “Ibu bisa membaca huruf braille, ya?” tanya Dila.
“Bisa,
biar masih belum cepat merabanya. Emang kenapa, Mba?” jawab Sarah dengan balik
bertanya.
“Maaf,
Bu, soalnya yang saya tahu sekarang ini tunanetra 'kan sudah nyaman menggunakan
kecanggihan teknoloeegi, baik untuk berkomunikasi ataupun membaca berbagai
macam tulisan. Nah saya sedikit ingin tahu soal Ibu, apakah boleh?” jelas Dila.
“Tentang
apa?” tanya Sarah.
“Saya
adalah seorang aktivis dari Perhimpunan Jiwa Sehat dan saya tertarik ketika
melihat Ibu di lift apalagi ketika putri Ibu koperatif menunjukkan huruf
braille di tombol pintu lift dan Ibu merespon sangat baik,” tutur Dila
“maaf
ibu tuna netra baru atau sejak lahir?” tanya dila mulai mencari tahu tentang
Sarah, Sarah tersenyum
“
baru tujuh tahun “ singkat dijawabnya, dila mengangguk kecil
“oh,
berarti ibu baru juga ya mengenal huruf braille” tanya dila
“iya
, sejak jadi tuna netra dan saya mengenal yayasan untuk tuna netra” jawab sarah
“kenapa
sih ibu mau belajar huruf braille,eh maaf, kalau menurut saya huruf braille itu
kan susah banget tuh”, Sarah tertawa kecil mengedarkan pandanganya.
“jujur
saya salut banget sama tuna netra yang masih mau mengunakan huruf braille untuk
membaca atau menulis , soalnya kan sekarang itu kecanggihan tehnoloeegi sudah
bisa memfasilitasi tuna netra” dila memberikan pendapat.
“iya
sih mba, tapi tujuan utama saya adalah saya ingin kembali bisa membaca
al-qur’an” terang Sarah
obrolan
santai kedua wanita itu pun berlanjut yang pada intinya Dila sangat mengagumi
Sarah yang baru 7 tahun menjadi tunanetra karena glukoma tapi mau belajar huruf
braille dan mengunakannya sebagai media untuk membaca sedangkan kemajuan zaman
kini telah menempatkan kecanggihan tekhnoloeegi untuk bisa mengakses berbagai
hal yang diinginkan tanpa harus bersusahpayah meraba lagi yang menurut Dila
tingkat kesulitan meraba itu jauh lebih sulit.
“Emang,
sih bener gitu , Mba. Tapi saya mengunakan huruf braille juga sebagai media
saya membaca Al-Qur’an lagi, 'kan Alhamdulilah saya kembali bisa mengaji
lagi." Komentar Sarah menanggapi ucapan Dila.
“Iya,
ya, Bu bener juga, tuh. Ternyata membaca Al-Qur’an dengan meraba jauh lebih
mengena, ya daripada mengikuti suara di ponsel.” Dila menyetujui pendapat
Sarah.
"Bener
banget, tuh Mba Dila dan saya juga merasakan terapi tersendiri ketika jemari
saya meraba di Al-Qur’an yang sedang saya baca,” sahut Sarah bangga.
“tapi
apa sih bu, kendala ibu ketika membaca huruf braille?” kembali dila bertanya
mengungkapkan keingintahuanya, sarah tertawa kecil menghadapkan wajahnya ke
depan.
“paling
susah itu ketika titiknya sudah nyaris tak teraba atau tertimpa pada lembar
belakangnya” jelas sarah, santai dila mendengarkan , tapi rasa kekagumanya
terpancar dari aora wajah orientalnya.
“Oke,
Bu Sarah, terima kasih banyak obrolannya, itu suami dan putri Ibu sudah
selesai,“ jawab Dila dan tak begitu lama suara Tasya terdengar mendekat, “Ayo,
Mi, Abi dah selesai.”
Keesokan
harinya di saat Sarah membuka laptopnya, hasrat menulis tiba-tiba bergeloera
entah kekuatan dari mana akhirnya ia berantusias membuat cerpen dengan tema
braille. Bersamaan Jemarinya lincah mengetik huruf demi huruf siluet mba esa
yang menjadi pengajar braille melintas dan gambaransaat dirinya belajar pertama
kali mengenal huruf braille hadir , segala kisah perjuangan dirinya takala
menghapalkan letak titik di setiap huruf abjad hadir laksana sarah sedang
memutar kembali tayangan film dirinya. Selain mba esa ,kehadiran pak muiz juga
datang menemani sarah yang tetap bersemangat mengetik naskah tulisanya, semua
cerita perjuangan itu dituangkanya dalam evoria bahagia hingga 'tak terasa
akhirnya Sarah mampu melahirkan karya cerpen braille yang ia beri judul
'Kemerlap Braille'
'Alhamdulillah,
akhirnya aku bisa ikutan, deh antoloeegi ini. Sekarang tinggal telepon Indah
apa masih bisa aku ikutan,' gumam Sarah lalu ia mengambil ponselnya dan
menggeser mencari nama Indah, ketika telah ditemukan langsung dihubunginya.
Nada sambung terdengar beberapa kali tapi belum ada respon, ada sedikit rasa
cemas Ketika Indah yang 'tak kunjung mengangkat teleponnya. Sarah tak gentar,
dia mencoba lagi menelpon tuk yang kedua kalinya, tetapi tetap sambungan jarak
jauh itu tak bersambut.
'Ayo,
dong angkat teleponnya,' gerutunya, "Ah! Ke mana, sih Indah itu.” Sarah
terus menggerutu sambil terus berusaha menelepon Indah. Di panggilan yang
keempat barulah usaha Sarah berbuah hasil.
"Asalamu’alaikum,"
sapa Indah.
"Maaf,
Ra. Gue tadi lagi di kamar mandi jadi nggak bisa angkat telepon Lu," jelas
Indah.
"Wa'alaikum
salam, iya Dah gue sempet putus asa aja, kok nggak Indah angkat, ya
teleponnya,"
"He,
maaf, Ra. Ada apa, nih?"
"gue
masih bisa ikut gabung di antoloeegi braille nggak, Dah?" tanya Sarah.
"Masih
banget, Ra."
"Alhamdulillah,
kalau emang masih bisa. Nanti abis nutup telepon gue kirim naskahnya."
"Alhamdulillah,
akhirnya Lu ikutan juga. gue senang banget, nih. Dari awal gue yakin bener
kalau Lu pasti bisa ikutan, Ra. Sayang ini cuma penulis pilihan aja, 'kan Lu
tahu gue cuma ngajakin sepuluh penulis di buku kali ini," jelas Indah
menyatakan rasa senangnya sebab ia memang yakin Sarah pasti bisa gabung bareng
dengan sembilan penulis lainnya di buku antoloeegi ini sebagai apresiasi Bulan
Braille yang diperingati di Bulan Januari.
"Alhamdulillah,
terima kasih, Dah, untuk segalanya."
Basa-basi
sejenak barulah obrolan berakhir dan setelahnya Sarah mengirimkan naskah hasil
karyanya.
'Alhamdulillah,
terima kasih, Yaa Allah.' Sarah mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan
tanda ia bersyukur atas kesempatan yang Allah izinkan hingga berhasil membuat
cerpen braille sesuai ketentuan dari penyelenggara.
Kemerlap
braille, cerpen yang menceritakan perjalanan di mana Sarah mulai menapaki
kehidupan baru bersama huruf braille hingga kini ia sudah bisa kembali membaca
Al-Qur’an yang pada awal kenetraanya sama sekali 'tak terbayangkan bisa membaca
kitab suci itu dengan rabaan tangan dan sekarang, kemerlap braille adalah satu
karya terbaru Sarah yang dinikmatinya dalam evoria. Dengan pembuktian bahwa
keterbatasan penglihatan bukan penghalang untuk terus berkarya.
Posting Komentar