Ku kembalikan lagi hatimu bagian 1
"Assalamu'alaikum,
Ra," sapa Niken yang baru saja tiba, dia menyapa sahabatnya yang duduk dengan
raut muka risau. Tiara melirik.
"Wa'alaikumsalam,"
lirih dia menjawab.
"Ada
apa, Ra? Kok muka kamu ruet banget kaya cucian belum disetrika," Niken
mencoba bergurau, namun Tiara justru tertunduk. Niken sempat menatap bola
matanya yang telah tergenang air mata.
"Maaf,
Ra, aku tadi ngeberesin tugas buat ngajar besok, jadi rada telat deh,"
Niken berusaha memberi suasana yang relax karena dia melihat raut muka Tiara
yang menyimpan persoalan.
"Kenapa,
Ra?" kembali Niken bertanya sambil menepuk bahu sahabatnya sejak mereka
masih kanak-kanak. Tiara mengangkat kepalanya lalu dia mengusap air matanya.
"Aku
bingung, Ken," ucapnya lirih menahan isak tangis. Niken meraih bahunya
lalu membawa dalam pelukannya. Hal ini justru membuat Tiara terisak seakan dia
ingin menumpahkan semua perasaannya. Niken menepuk-nepuk bahu sahabatnya dengan
kelembutan.
"Sabar,
Ra, istighfar," Niken membesarkan hati Tiara yang merangkulnya erat sambil
terus menangis.
Setelah
puas menumpahkan semua rasanya, Tiara mengangkat kepalanya mengusap airmatanya.
Niken tersenyum, mengambil tisu dari dalam tasnya lantas memberikan pada Tiara.
"Semalam
ibu dan ayah baru kasih tahu bahwa mereka akan menjodohkan aku dengan anaknya
Pak Haji Syarif," Tiara menceritakan kerisauannya. Niken terkejut.
"Pak
Haji Syarif yang tinggal di Tanah Manisan yang waktu itu kamu ajak aku ke
sana," Niken mencoba mengingat siapa Pak Haji Syarif itu. "Anaknya
kembar kan, Ra?" lanjut Niken ingin tahu.
"Terus
sama yang mana kamu dijodohkannya?" tanya Niken karena putra Pak Syarif
itu kembar.
"Yang
namanya Mas Raihan sudah nikah, mereka menjodohkan aku sama Mas Rafiq anaknya
yang satu lagi," jawab Tiara. Tiara menggeleng.
"Bukan
itu masalahnya, Ken, tapi aku mencintai Mas Danang," ucap Tiara mengubah
posisi duduknya. Niken ta'zim menyimak penuturan Tiara yang tampak berat
memilih.
"Mas
Danang sebenarnya sudah siap melamar aku tapi ayah sama ibu keburu mengiyakan
perjodohan itu. Katanya ayah berhutang budi sama Pak Haji Syarif sebab dulu
selama sekolah ayah mendapat bantuan dana dari orang tuanya Pak Haji Syarif,
makanya mereka menerima perjodohan itu," jelas Tiara menggigit bibir.
"Terus
gimana, Ra?" tanya Niken ragu, Tiara menggeleng.
"Aduh..."
pekik Niken menahan sakit ketika sebuah mobil HLV berwarna hitam menyenggol
stang motornya hingga Niken kehilangan keseimbangan dan membuatnya jatuh.
Pengemudi mobil segera menepikan kendaraannya, setelah memarkirkan si roda
empat, si pengemudi yang merupakan seorang pria berkulit bersih dengan
tahilalat di atas bibir kirinya turun dari mobil dan melangkah mendekati Niken
yang masih mengerang sakit sambil tertatih. Dia mencoba memberdirikan motornya
dan menuntun ke pinggir jalan.
"Maaf,
Mba," ucap pria itu ketika telah dekat dengan Niken dan langsung membantu
Niken yang membawa motornya. Niken memasang muka marahnya sambil menahan sakit
karena tangan dan kaki kirinya terasa ngilu.
"Gimana
sih, Mas?" bentak Niken ketus, namun dia membiarkan pria itu membantu
menuntun motornya hingga ke tepi.
"Maaf,
Mba, saya tanggung jawab tuk kesalahan saya, Mba," ucap pria itu.
"Nama
saya Rafiq, saya tinggal di Tanah Manisan, Cipenang, Cipedak," lanjutnya
memperkenalkan diri. Kini mereka telah berada di trotoar jalan di kawasan Duren
Tiga, banyak pasang mata memperhatikan mereka namun karena tidak terjadi
keributan maka semuanya hanya berlalu.
"Kita
ke rumah sakit aja, Mba, biar motornya kita titip dulu, tapi dimana ya..."
Rafiq memberi ide namun dia sendiri yang bingung atas idenya, matanya menyapu
sekeliling mencari tempat yang nyaman untuk menitipkan motor. Niken terdiam,
dia masih meringis menahan sakit.
"Ah,
di parkiran supermarket itu aja," Rafiq tampak senang karena bisa
menyelesaikan satu masalahnya.
"Mba,
tunggu di sini ya, biar saya parkirkan dulu motor, Mba, di sana," Rafiq
menunjuk sebuah minimarket di seberang jalan. Niken tidak bereaksi, dia
mengusap-usap tulang kering kakinya yang memar.
"Alhamdulillah,
semuanya baik-baik saja, Mba, tidak ada luka yang serius dari kecerobohan saya,
soal motor Mba nanti saya bawa ke bengkel ya," ucap Rafiq ketika mereka
masih di UGD rumah sakit, meski hatinya sangat kesal marah dan tak terima
dengan kejadian ini namun sikap Rafiq yang sangat bertanggung jawab ditambah
santun dengan kelembutannya membuat luruh semua kesal di hati Niken.
"Saya
urus administrasi dulu ya, Mba," Rafiq pamit dan berjalan meninggalkan
Niken yang masih berbaring di ranjang pasien.
Mereka
telah keluar dari rumah sakit karena memang tak ada luka yang serius, Niken
hanya sedikit luka memar dan dari hasil rongsen tak ada yang membahayakan,
untuk itu dokter mengijinkan Niken pulang.
"Dimana
rumah Mba?" tanya Rafiq yang sedang menyetir mobil, dia berniat
mengantarkan Niken pulang.
"Di
Mampang Prapatan, tapi kita ambil motor aja dulu," jawab Niken yang duduk
di sisi kiri.
"Oh
iya, nanti kita bawa ke bengkel sekalian," Rafiq baru teringat motor yang
dia parkirkan di minimarket.
"Ya
udah, kita selesaikan soal motor dulu ya," lanjut Rafiq.
"Eh
iya maaf, Mba, apakah Mba tidak mengabari keluarga Mba?" Rafiq menoleh
sekilas.
"Sudah
tadi," singkat Niken menjawab.
"Mba
kerja dimana?" tanya Rafiq lagi.
"Panggil
aja Niken, saya ngajar di TK," Niken mencoba bersikap bersahabat.
"Tadi
saya pulang ngajar tapi sengaja minta ijin lebih awal karena ada urusan yang
mesti diselesaikan, eh malah kena masalah," Niken membuang tatapannya ke
arah jalan.
"Maaf
ya, Mba, eh maaf Niken," Rafiq segera mengakui kesalahannya.
"Qodarullah,
ini memang kehendak Allah yang harus saya jalani," ucap Niken, Rafiq
tertegun dengan jawaban Niken. Dalam hati dia bergumam, "Masya Allah,
keren banget nih perempuan."
Di
bengkel, urusan motor juga cepat ditangani karena tak ada kerusakan yang fatal,
hanya stang motor saja yang sedikit dibenarkan.
"Mba
eh, Niken kamu saya antar pulang saja biar motornya dititip aja di sini, nanti
setelah mengantar kamu baru saya ambil dan saya antar lagi ke rumah kamu,"
Rafiq memberi sebuah ide, Niken menatap Rafiq tak mengerti karena baginya itu
akan lebih merepotkan Rafiq tapi rasa sakit yang masih belum reda membuat Niken
menyetujuinya.
"Kamu
kenapa sih tadi ceroboh gitu?" tanya Niken ketika mereka sudah berada di
dalam mobil untuk menuju rumah Niken.
"Saya
lagi bingung, Niken," Rafiq menjawab, Niken menoleh menatapnya bertanya.
"Saya
dijodohkan umi dan abi saya dengan seorang wanita yang sudah memiliki pilihan
sendiri," lanjutnya, Niken mendengarkannya penuh keingintahuan.
"Orang
tua wanita itu adalah anak angkat kakek saya sehingga ayahnya gadis itu merasa
hutang budi dengan keluarga saya, eh akhirnya mereka menjodohkan saya dengan
anaknya," sambung Rafiq mengusap wajahnya dengan sebelah tangan.
"Saya
tidak mau merusak kebahagian orang lain, apalagi saya dengar kekasih gadis itu
telah siap untuk melamarnya namun perjodohan ini membuat gadis itu jadi serba
salah," sambung Rafiq berterus terang. Niken tersentak karena ingatannya
tiba-tiba teringat Tiara.
"Kok
sama ya dengan cerita Tiara kemarin," gumamnya dalam hati.
"Siapa
nama gadis itu?" tanya Niken melirik Rafiq.
"Tiara,
dia juga ngajar seperti kamu tapi dia itu guru sekolah dasar," Rafiq
menerangkan, Niken tersendak, dia memelototi Rafiq karena terkejut, benar
dugaannya bahwa Tiara adalah gadis itu.
"Kenapa,
Niken?" Rafiq balik menatap Niken karena sorot mata Niken yang menyimpan
sebuah misteri.
"Ah,
enggak," Niken mengubah posisi duduknya membuang tatapannya ke jalan raya.
"Nanti
lampu merah depan ke kanan ya," Niken menganti topik pembicaraan dengan
memberikan arahan menuju rumahnya.