Cincin bermata tiga bagian 16

Table of Contents

Semua orang terpaku menyaksikan sebuah keajaiban: Arya masih hidup. Ia menggeliat, mencoba melepaskan diri dari kain kafannya. "Mas, tolong buka kain ini, aku masih bernyawa," pinta Arya, menatap Pak Setiawan kakaknya dan Pak Anto suaminya secara bergantian. Setiawan masih termangu tak percaya, sementara Anto terduduk lunglai, wajahnya pucat pasi. "Mas," sekali lagi Arya berseru, suaranya lemah namun penuh harap. Setiawan tergugah sadar dan segera membantu Arya membuka kain kafan. Namun, ia tersadar bahwa jika kain itu dibuka, Arya akan telanjang. "Ma, carikan pakaian atau apapun yang bisa dipakai Arya untuk menutup tubuhnya," teriak Setiawan kepada Ratmi, istrinya yang masih berada di luar liang.

 

Semua yang terdiam tak mengerti dengan apa yang terjadi langsung tersadar mendengar seruan Setiawan. Cekatan, Ratmi mencari apa yang diminta suaminya. Dia bertanya pada yang lain apakah ada yang membawa baju salin. Beruntung, Umi Yani yang sudah mempersiapkan diri untuk menginap langsung berlari kecil ke mobil dan mengambil tas yang berisi baju salin. "Ini Bu, semoga muat untuk Bu Arya," Umi Yani memberikan tas berisi gamis dan hijab kepada Bu Ratmi. "Ini Pa," Bu Ratmi dengan sopan melempar baju itu ke Setiawan yang masih berada di dalam liang. "Maaf Pak Basuki, bisa minta tolong ke atas biar Pak Anto yang menggantikan pakaian adik saya."

 

Lia menarik nafas lega setelah menyadari apa yang terjadi. Dia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, lantas bersujud. "Alhamdulillah hirobil alamin," ucapnya dalam sujud syukurnya. "Terima kasih ya ALLAH," lanjutnya dengan doa yang lain, dipanjatkan sebagai rasa syukur karena Tante Arya masih hidup.

 

Setelah Arya berganti pakaian, Setiawan, Anto, Ustad Abas, Abi Tarno, dan penjaga makam berusaha membantu Arya untuk naik ke atas. Sifa langsung memeluk mamanya dengan tangisan yang memilukan. Arya juga memeluk dan menciumi putrinya dalam linangan air mata. Suasana haru menyelimuti semua orang yang ada di area pemakaman. Mala yang merangkul bahu Lia tiba-tiba tersentak karena bahunya ditepuk seseorang. Gadis ini refleks menolehkan kepala, betapa terkejutnya dia ketika yang dilihatnya adalah Pak Otong. "Maaf, bisa kita ke sana," ekor mata Pak Otong menunjuk sebuah tempat tak jauh dari tempat mereka berdiri. Mala melepaskan tangannya dari bahu Lia dan berbisik, "Li, gue ke situ sebentar ya," tanpa menunggu jawaban dari Lia, segera Mala membalikan badan dan melangkah mengikuti Pak Otong yang telah berjalan lebih dulu.

 

"Kalian harus melepaskan cincin itu dari jari anak itu, lalu kuburkan bersama ini," Pak Otong mengulurkan sebuah kain putih terlipat yang berbentuk persegi panjang. Mala melotot menatap Pak Otong tak mengerti. Pak Otong tak menjawab, dia membalas tatapan Mala dengan sorotan yang lebih tajam. Mala tersentak, lalu mengarahkan bola matanya ke tangan Pak Otong yang masih terulur. "Apa maksudnya?" lirih Mala bertanya. "Lepaskan cincin itu dan kuburkan bersama benda ini, hanya gadis itu yang bisa melepaskan cincin petaka itu," Pak Otong menjawab. "Gadis itu memiliki mata batin yang terang, suruh dia lebih fokus dan gunakan semua kemampuan dirinya. Apalagi, teruslah gunakan manik-manik yang biasa dia pegang," lanjut Pak Otong. "Ambil dan segera bertindak sebelum serangan berikutnya," tegas Pak Otong menatap Mala lebih galak. Mala dengan terbata menerima kain putih itu, tangannya bergetar saat membuka lipatan kain itu, dan terbelalak dia ketika melihat isinya adalah dua buah tulang sebesar jari kelingking. Nyaris dia melemparnya, namun tersadar dengan ucapan Pak Otong dan ingatannya pada cerita Lia tentang dua cincin yang berubah menjadi tulang, maka Mala segera melipat kembali kain itu dan memasukannya ke dalam saku celananya. Mala ingin bertanya sesuatu ke Pak Otong, namun ketika dia mengangkat mukanya, ternyata Pak Otong telah tak ada di hadapanya. Mata Mala berkeliling mencari keberadaan Pak Otong, namun tidak juga dia temukan. "Kemana tuh dukun, cepat amat ngilangnya," gumamnya sendiri, lalu membalikan badan melangkah mendekati Lia yang telah berjalan di belakang Arya yang masih merangkul Sifa.

 

Jauh di luar kota, di dalam sebuah hutan lebat, di kediaman Ki Sastro yang merupakan sebuah rumah panggung, seorang laki-laki paruh baya tampak garang marah menatap cermin yang tergeletak di dalam sebuah baskom tanah liat dengan genangan air memenuhinya. "Bangsat... setan alas," makinya sambil mengetuk-ngetuk tongkat kayu di tangannya, bau anyir memenuhi rongga di dalam ruangan itu. "Bedebah, kenapa mangsa itu masih hidup?" terus dia memaki tanpa henti ketika cermin itu memperlihatkan kondisi Arya yang masih hidup. "Bajingan... kuat berani sekali menantang aku," bentaknya semakin kasar. Lalu, dia mengambil ponselnya, jemarinya bergerak mencari nama seseorang di layar monitor. "Segera kemari sekarang juga," bentaknya keras ketika dia sudah berhasil menemukan nama yang dicarinya lalu menelpon orang itu. "Ada apa Ki?" tanya Ririn terbata karena ngeri mendengar suara Ki Sastro yang begitu kasar. "Tidak perlu banyak tanya, segera kemari atau nyawa kalian sebagai gantinya," bentak Ki Sastro sekali lagi, lalu dia menutup telponnya.

 

Ririn segera menelpon Taufik suaminya. "Iiihhh kemana sih Mas Taufik ini," ucapnya kesal karena sudah berkali-kali Ririn menelpon tapi hp Taufik dalam keadaan mati. "Sialan, kenapa dimatikan sih hp-nya," lanjut Ririn yang masih gemetar dengan bentakan Ki Sastro. Akalnya tetap bekerja, dia segera menelpon operator taksi untuk memesan taksi yang akan dia gunakan untuk ke rumah Ki Sastro. "Ah, terpaksa aku ke sana sendiri aja," lirih Ririn berucap untuk dirinya sendiri. Dia diam tertegun, berusaha menepis kegusarannya. "Tapi gimana kalau aku di..." dia mengibaskan tangannya, mengeleng, menutup mata tak ingin meneruskan pikiran jeleknya. "Ah, bodo amat, yang penting niat balas dendam ini harus tuntas," tepisnya, lalu berdiri, melangkah ke luar rumah. Tak berapa lama kemudian, sebuah mobil Avanza biru bermahkota berhenti di depan rumah. Segera Ririn melangkah mendekat, lalu naik ke dalamnya.

 

Di pertengahan jalan, tiba-tiba ponsel Ririn berdering. Dia mengambil gawai yang masih dia letakkan di sampingnya karena Ririn masih mencecar menelpon Taufik yang tetap saja hp-nya dalam keadaan mati. Ririn melihat nama yang tertera di layar monitor. "Ki Sastro," ucapnya lirih, lalu dia menekan tombol hijau. "Sudah di mana kamu?" bentak kasar Ki Sastro sebelum Ririn bersapa. "Sudah di jalan Ki, kemungkinan satu jam lagi saya sampai atau satu setengah jam lagi," terpatah Ririn menjawab. Tanpa menjawab, Ki Sastro menutup telpon, yang membuat Ririn menarik nafas panjang. "Ibu baik-baik saja?" tanya sopan supir yang melihat dari kaca spion dalam. "Enggak kenapa, jalan saja ke tempat yang saya mau," Ririn menjawab. Rasa takut masih menyelimuti hatinya, perasaannya tak enak, terlebih lagi suara Ki Sastro yang sangat menakutkan ditambah Taufik yang masih belum bisa dia hubungi, hanya pesan singkat beberapa kali yang dia kirimkan. Ririn berusaha memejamkan matanya untuk menepis, menghilangkan semua rasa tak enaknya. Suara Ki Sastro terus terngiyang di telinganya, dia mengeleng. "Ada apa sih Ki Sastro, kemana juga sih Mas Taufik," gumamnya sambil menarik nafas dalam.

 

 

 

Bersambung....

 

Pengumuman

 

Terima kasih bagi para pembaca yang sudah ikut kontribusi untuk mengikuti Challenge dari kami di serial cincin bermata tiga, dan kali ini kami umumkan sesuai janji kami di postingan sebelumnya, maka ada satu terpilih yang akan mendapatkan saldo dana sebesar 50000 (Lima Puluh Ribu Rupiah) dengan ide yang sangat bagus, walau bentuknya ide tapi sudah tergambar dalam episode 16 kali ini.

ide terpilih dengan atas nama:

Selamat kepada

 

Oktaviani Dewi Gayatri

081387334648

 

 

dengan ide gagasan sebagai berikut:

 

Setelah Arya bangun dari mati surinya, tentu dia dibawa pulang. Kemudian, cincin di jari Sifa bisa dilepas berkat zikir dari Lia dan yang lainnya. Di tempat persembunyian, Ririn dan Taufik mulai gelisah karena usaha mereka di ambang kegagalan. Mereka pun kembali ke dukun mereka untuk meminta arahan. Keduanya sangat terkejut disebabkan sebuah syarat.

 

Selamat yaa, bagi teman-teman yang belum dapat, jangan sedih, jadikan challenge ini sebgai permainan, Insya Allah kami akan usahakan mengadakan give away lagi untuk kedepannya, doakan ya.

 

Jadi alasan kami memilih ide dari Oktaviani Dewi Gayatri, karena idenya runtut dan jelas jalan cerita apa yang akan tersajikan di episode 16, untuk peserta lainnya itu idenya lebih menunjukan ide ceritanya langsung tamat, cincin akan terus update entah sammpai berapa episode, jadi kurang tepat jika teman-teman memberikan ide langsung ke ending cerita, tapi tidak mengapa, kami tetap apresiasi antusias kalian, dan kami ucapkan banyak terima kasih yang mengikuti challenge ini dan semua para pembaca yang selalu setia membaca konten-konten dari kami.

 

dan bagi idenya yang terpilih, akan dihubungi untuk menerima hadiah saldo dana.

 

terus pantengin ya, serial cincin bermata tiga hingga tamat


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar