Didikan papa
Zahira
menghempaskan tubuh letihnya di atas ubin traso. Badan lemas lesu setelah
menjalani hari yang di luar dugaan. Dipandanginya sekeliling ruangan berukuran
4x6 meter, yang hanya ada kasur busa cukup untuk dua orang, lemari kayu, meja
kecil, kipas angin, serta kamar mandi kecil berikut dapur darurat. Air mata
menetes mengingat kejadian sebelum dia dan keluarganya berada di kontrakan Bu
Irma, yang bertolak belakang dengan kehidupan sebelumnya.
Gadis
ini bernama Zahira Kamila, Ara adalah sapaan kecilnya. Dia adalah putri bungsu
dari dua bersaudara, pasangan Teguh Firdaus dan Martini. Kemapanan ekonomi
kedua orang tuanya, yang merupakan pemilik lima cabang warung mie ayam bakso
serta toko baju anak di sebuah pusat grosir ternama di kota ini, membuat
kehidupan keluarga mereka tercukupi.
Berliana
Kartika adalah putri sulung dari keluarga ini. Perbedaan usia keduanya hanya
tiga tahun, kebersamaan selalu terjalin hingga mereka laksana anak kembar.
Kehidupan keluarga tercukupi, bahkan rumah serta perabot mewah sudah dirasakan
oleh dua putri ini sejak kecil. Pendidikan mereka menjadi prioritas, dimana
orang tua mereka menyekolahkan anaknya pada sekolah swasta ternama di kota ini.
Kemewahan menjadi santapan keduanya, segala kebutuhan tercukupi bak putri raja.
Pendidikan agama menjadi pondasi utama, selain kemandirian menjadi syarat
mutlak dari setiap nasehat papa dan mama. Dikala liburan, Ara dan Lia sering
ikut berdagang di toko milik orang tuanya. Ara merupakan anak cerdas, ini
terbukti nilai akademisnya menempati peringkat teratas di kelas serta piala
berjejer di lemari pajangan, tanda dia telah meraih kemenangan dari lomba
bidang studi ataupun lomba karate. Ya, itu karena sejak usia lima tahun Ara
telah dimasukkan pada seni bela diri asal Jepang ini. Mba Lia, sapaan untuk
putri sulung ini, lebih memilih renang untuk menyalurkan minatnya. Meski tak
sebanyak piala yang dimiliki adiknya, namun tetap terpajang manis beberapa
piala Mba Lia tanda kemenangannya.
Tragedi
keluarga ini bermula ketika Pak Teguh bertemu teman kecil semasa sekolah, Dimas
namanya. Di jaman sekolah, Dimas adalah seorang anak yang terlahir dari
keluarga sederhana, ayahnya tukang sayur keliling sedangkan ibunya penjual jamu
gendong. Untuk urusan kecerdasan, Dimas terhitung anak yang tak terlalu pandai,
bahkan Dimas pernah tinggal kelas. Papa
menjual semua aset pribadi dan kami sekeluarga terpaksa meninggalkan fasilitas
yang kami miliki. Rumah kontrakan sederhana awal kami memulai lembaran baru,
sisa uang tabungan menjadi modal hidup kami berempat. Belum cukup di sini,
keiklasan dipertaruhkan. Seminggu setelah keluarga kami kehilangan tujuh toko
wallpaper, satu toko baju, rumah mewah beserta semua isinya, termasuk 4 mobil
yaitu Pajero, Honda Jazz, Toyota Camry, Honda Civic, serta 3 motor yaitu Yamaha
NMAX, Kawasaki Ninja, dan Honda Vario, ikut disita. Papa yang shock terpukul
dengan kejadian ini mendapat serangan jantung. Seminggu di kamar ICU akhirnya
papa berpulang menghadap Sang Illahi. Keuangan menipis untuk biaya perawatan
papa, untuk itu aku, mama, dan Mba Lia mencari tempat tinggal yang lebih murah
lagi harganya. Tinggal di ibu kota tak mungkin mendapat tempat dengan harga
murah, hingga kami memutuskan melipir ke pinggiran kota. Sekolah terpaksa aku
dan Mba Lia berhenti. Aku sedang menjalani kelas dua SLTP dan Mba Lia sudah
kelas 11 di SLTA favorit pilihannya. Hancur benar-benar hancur kehidupan
keluargaku. Jangankan merencanakan masa depan, untuk makan hari ini saja kami
harus memutar otak menguras tenaga demi bertahan hidup. Bagai bumi dan langit,
seperti minyak dan air, perbedaan kehidupan diriku yang sudah jatuh tertimpa
tangga, pribahasa itu kurasa.
Lamunan
ku terhenti saat ku rasa mama menepuk bahuku dan duduk di sampingku. “Maafkan
mama ya De,” katanya lirih, menahan butiran air yang telah tergantung di ujung
pelipis mata sendunya. Aku tak menjawab, tersenyum dan larut dalam pelukan
hangat mama dengan mencoba tak menangis. Sesaat aku menikmati rasa berdua
dengan mama, namun seketika aku melepaskan pelukan mama, segera aku mencium
kedua pipi mama berulang kali sambil sesekali menghapus air mata mama. “Kita
sholat magrib yuk Ma,” ajakku meredakan suasana. Mama mengangguk tanda setuju.
Aku dan mama bergiliran ke kamar mandi untuk berwudu dan setelahnya kami sholat
berjamaah. Selesai sholat dan berdzikir, aku melanjutkan membaca Al-Qur’an
seperti ajaran papa.
Sesibuk
apapun papa, selalu menyempatkan diri untuk sholat berjamaah dengan istri dan
dua putrinya. Dalam satu minggu, papa menjadwalkan minimal ada tujuh kali kami
harus sholat berjamaah dan setelahnya tadarusan Al-Qur’an bersama. Kebiasaan
ini tak ingin aku tinggalkan karena inilah kebahagiaan yang memberi ikhlas di
hati untuk menerima takdir dan bersyukur. Bagi ku, papa adalah figur laki-laki
dambaan. Selain pandai berbisnis, selalu memanjakan keluarga dengan mencukupi
kebutuhan, ditambah fasilitas kemewahan diberikan, namun pendidikan agama tetap
nomor satu. Do’a ku untukmu papa, surga tempat terbaik balasan dari Allah kan
papa dapat serta kami berempat bisa berkumpul kembali bersama.
Mama
mengakhiri tilawah Al-Qur’an karena tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Mama
berdiri melangkah membuka pintu dan Mba Lia tersenyum sambil mengucap salam
dengan tangan membawa kantong plastik berwarna merah. Setelah menjawab salam,
mama bertanya, “Dari mana Mba?” Mba Lia tak menjawab, langsung masuk kamar
mandi. Tak lama keluar lagi dan bercerita bahwa dia tadi habis membantu seorang
ibu tuna netra pulang ke rumahnya. Mba Lia bertemu Bu Tari di sebuah warung
nasi yang tadi aku tinggalkan. Mba Lia di sana karena azan magrib berkumandang,
aku terlebih dulu pulang ke rumah yang jaraknya tak jauh. Mba Lia ingin membeli
nasi bungkus untuk makan malam kami. Saat Mba Lia akan membayar, Bu Tari malah
melarangnya dan membayartiga bungkus nasi yang Mba Lia beli. Awalnya Mba Lia
menolak dan bingung mengapa Bu Tari membayar makanannya. Ternyata Bu Tari
tersesat, bingung mau pulang ke rumahnya. Setelah menyelesaikan urusan di
warung nasi, Bu Tari bercerita bahwa dia lupa arah jalan ke rumahnya dan
meminta Mba Lia membantu. Rasa iba membuat Mba Lia mengantarkan Bu Tari ke
rumahnya, untung jaraknya tak terlalu jauh dan kemarin Mba Lia lewat di daerah
itu. Satu berita bahagia adalah Bu Tari ingin mencoba kue buatan mama. Kalau
rasanya cocok, dia ingin memesan dalam jumlah lumayan. Cerita Mba Lia sambil membuka bungkusan nasi,
menyajikan kemudian mengajak aku dan mama makan.
Malam
telah larut, mama dan Mba Lia masih bergulat di dapur membuat kue untuk
berdagang besok serta membuat beberapa tester kue yang ingin diberikan pada Bu
Tari. Mataku tak bersahabat, rasa kantuk membuat aku tenggelam dalam mimpi
indahku. Hidupku kini sangat berbeda sekali, tidak ada fasilitas kemewahan yang
dulu aku rasa. Inilah pengalaman pertamaku hidup dalam keterbatasan. Pastilah
besok, besok, dan hari-hari berikutnya, pengalaman pertama dari setiap kejadian
yang belum pernah ku rasa akan ku alami. Mimpi terindahku adalah bisa
melanjutkan sekolah kembali serta membuka usaha bersama mama dan Mba Lia. Untuk
hari ini saja, aku berdagang keliling menjajakan kue buatan mama. Hasilnya
hanya laku sepertiga saja dari dagangan yang aku bawa. Aku pernah ikut
berdagang di toko mama ataupun di toko papa. Sungguh berbeda dahulu, aku tak
perlu menantang terik mentari, mengeluarkan peluh keringat, berteriak
menawarkan kue yang ku bawa. Cukup berat pengalaman pertama ku berdagang, meski
aku selalu berdua dengan Mba Lia. Lambaian tangan ataupun gelengan kepala orang
tanda menolak, cibiran pedagang lain, atau palakan preman yang minta jatah,
padahal kami yang berusaha payah, ditambah entah berapa ribu langkah yang harus
kami tempuh dengan berbagai penghalang baik dari cuaca ataupun kondisi jalanan
yang tak bersahabat, sangat menguji kesabaran, keiklasan, dan segala rasa yang
bergemuruh bertentangan di hati. Didikan iman, kekuatan agama yang ditanamkan
kedua orang tua memberi embun dingin dalam bara rasa hati. Tuhan… baru ku
mengerti sulitnya mencari uang. Semoga pengalaman ini menambah rasa syukurku
atas semua kenikmatan yang Kau beri. Bertabur do’a selalu kupanjatkan seiring
helaan nafasku.
Bu
Tari, wanita tuna netra berusia 45 tahun, seorang guru komputer pada lembaga
belajar tuna netra. Tester kue yang kami beri bersambut baik hingga setiap hari
Jumat, Bu Tari memesan 50 snack box yang berisi masing-masing 4 kue dan satu
gelas minuman air mineral. Alhamdulillah, ada pemasukan untuk keuangan kami.
Tak hanya sampai di sana, Bu Tari membantu padaku untuk melanjutkan sekolah
dengan jalur beasiswa. Mba Lia diikutsertakan pada kejar paket C dan Mba Lia
diberi kesempatan mengajar orientasi mandiri pada tuna netra baru pada lembaga
belajar dimana Bu Tari juga ada di sana. Karena mata Mba Lia masih awas, maka
kesempatan ini diberikan agar Mba Lia dapat membantu tuna netra trampil
menggunakan tongkat sebagai alat bantu serta mengenali tempat dimana mereka
berada. Setapak demi setapak kehidupan kami berubah, terlebih lagi mama
perlahan memiliki beberapa langganan tetap untuk membuat snack box. Satu
diantara langganan mama mengajak kerjasama membuat toko kue, Bu Intan yang
memberi modal keseluruhan dan mama yang bertugas membuat kue. Hasil keuntungan
dibagi dua. Rahasia Tuhan tak ada yang tahu. Kesempatan yang aku dapat tak ku
sia-siakan, aku lulus SLTP dengan nilai terbaik di sekolah. Untuk itu, dengan
tetap mendapat beasiswa, aku masuk ke SLTA favorit. Mba Lia diangkat menjadi
karyawan pada lembaga tuna netra, selain sebagai guru orientasi mandiri, Mba
Lia juga sebagai pembaca buku audio. Buku audio adalah buku awas yang dibacakan
kemudian direkam dan diedarkan pada alat dengar agar tuna netra bisa menikmati
berbagai buku yang ingin dibaca.
Perjuangan hidup aku, mama, dan Mba Lia yang tak mudah, berbagai rasa
bergejolak bertentangan di hati, namun keyakinan kerja keras dan do’a telah
mengubah kehidupan kami. Setidaknya rumah tinggal kami sudah jauh lebih layak,
aku dapat melanjutkan sekolah kembali dan Mba Lia sangat menikmati pekerjaannya
di lembaga tuna netra serta mama yang telah memiliki toko kembali, meski hanya
kongsi. Sungguh berharga didikan papa untuk semangat kerja, buktikan dengan
karya yang nyata, mandiri, dan yang terpenting tetap istiqomah, kuatkan iman,
jangan tinggalkan sholat, tilawah, berbagi, serta balut hati dengan ikhlas dan
sabar. Setiap detik yang dijalani adalah pengalaman pertama, pengalaman
berharga yang menjadi cambuk agar lebih kuat lagi iman di hati. Terimakasih
papa.... aku bangga bisa menjadi anakmu.