Playboy kampungan

Table of Contents

Taman kota nan indah, dengan awan berarak beraneka bentuk menghiasi cakrawala putih, diterangi sinar mentari yang sedikit meredup. Dua gadis, Sarah dan Laila, duduk bersebelahan, menatap lurus ke depan, menyelediki seorang pemuda yang duduk berseberangan.

 

"Lo yakin dia orangnya, La?" tanya Sarah, terus menatap menyelidiki seorang pria yang duduk di hadapan mereka dalam jarak tiga meter. Laila juga ikut menatap dengan raut muka ragu.

 

"Iya, apa bukan ya?" ucap Laila ragu.

 

"Kayaknya sih bukan, Rah," tambahnya lagi, masih dalam tatapan menyelidiki ke arah pria berkaos bola Chelsea yang asyik dengan lembaran korannya.

 

"Coba lo telpon dia. Kalau dia ngambil ponselnya dan ngangkat, berarti itu benar. Tapi kalau sebaliknya, ya sudah," Sarah memberi saran. Lantas, Laila mengambil ponsel, tapi Sarah menahannya ketika Laila ingin menekan nomor yang dituju.

 

"Lo jangan di sini. Sini HP lo, biar gw yang telpon dari balik pohon itu," Sarah berkomentar, dengan sebelah tangan meminta ponsel Laila, sedangkan bola matanya menunjuk sebatang pohon. Laila mengangguk, menyerahkan ponselnya. Dia mengerti apa maksud sahabatnya.

 

Sementara Sarah telah berdiri di balik sebuah pohon, Laila lebih memfokuskan pandanganya ke arah pria di hadapannya yang sedari tadi asyik membaca koran.

 

"Ah, bukan dia orangnya," kata Sarah setelah kembali.

 

"Pantesan aja ngga sesuai ekspetasi gw," tambah Sarah tertawa, "Hahahahahhahha." Laila pun tersenyum, ikut juga tertawa karena pria itu masih terus asyik membaca koran tanpa terdengar suara ponsel berdering sampai Sarah kembali.

 

Hari ini, Laila membuat janji dengan seorang pria yang dikenalnya lewat sosial media. Sengaja, Laila mengajak Sarah, sahabat kecilnya, agar bila terjadi hal yang tak diinginkan, ada Sarah yang membantu.

 

Sudah nyaris satu jam kedua gadis ini duduk menunggu di sebuah taman kota, namun yang dinanti belum juga terlihat batang hidungnya. Lebih dari sepuluh kali Laila sudah menelpon orang itu, bahkan pesan WhatsApp sudah memenuhi chatingan di ponselnya.

 

"Kita pulang aja yuk, Rah," ajak Laila sambil merapikan bekas minuman dan makanan yang telah mereka habiskan.

 

"Kok balik?" Sarah menoleh.

 

"Ngapain nungguin orang ngga jelas," ucap Laila yang sudah putus asa kecewa.

 

"Kalau emang dia serius seperti kata-kata di pesanya, pasti dia ngga ngaret kaya gini," tambah Laila, merapikan tasnya.

 

"Bener juga ya," ucap Sarah yang meneguk tetesan terakhir air minumnya.

 

"Gw masih penasaran, La. Kita tunggu sepuluh menit lagi ya," pinta Sarah, dan Laila pun menyetujuinya.

 

Belum semenit, ponsel Laila berdering. Laila mengambil benda itu dan sebelum mengangkat, dia lihat nama yang tertera di layar monitor.

 

"Nih dia orangnya, panjang umur dia," ucap Laila setelah membaca nama Haris yang tertera di layar monitor.

 

"Buruan angkat, tapi loudspeaker ya," kata Sarah menyemangati Laila.

 

"Hai La, sory aku telat. Tadi ban motorku kempes, jadi harus cari tempat tambal ban," kata seseorang nun jauh di balik percakapan. Laila tetap diam.

 

"Aku tahu kamu kecewa, tapi terserah bagaimana kamu aja deh," sambung orang itu, dan Laila tetap diam tak merespon.

 

"Halo La... kamu denger aku?" tanya lawan bicaranya.

 

"Iya," singkat Laila menjawab.

 

"Aku sekarang baru mau ke sana, mungkin 30 menit lagi baru sampai," jelas dia di seberang percakapan.

 

"Kamu mau nunggu ngga?" tanyanya. Laila menoleh ke Sarah, menatap meminta persetujuan, dan Sarah mengangguk.

 

"Ya udah, aku tunggu," jawab Laila dan mengakhiri pembicaraanya via telepon.

 

"Gw ke toilet dulu, Rah," kata Laila sehabis menutup telepon dan menyimpan benda persegi panjang itu ke dalam tasnya. Sarah mengangguk.

 

"Balik aja yuk, Rah," pinta Laila ketika sampai dari toilet. Sarah menatap sahabatnya, "Lah, kenapa?" tanyanya singkat.

 

"Gw datang tamu bulanan," jelas Laila singkat, berdiri di hadapan Sarah yang masih duduk asyik bermain games di ponselnya.

 

"Trus cowok itu gimana?" tanya Sarah lagi sambil memasukan ponsel ke dalam tasnya.

 

"Tadi sudah gw kirim pesan. Biarin aja lah," ucap Laila. Sarah pun berdiri, dan kedua sahabat ini pergi meninggalkan taman kota.

 

Laila berdiri di depan pagar rumahnya. Dia menatap ke kanan, ke arah jalan pintu utama komplek perumahannya. Langit sedikit mendung, dan di sekeliling Laila tampak sepi.

 

"Mana tuh orangnya?" ucap Laila pada dirinya sendiri. Sebelum meninggalkan taman kota, Laila sudah mengirim pesan bahwa dia mau pulang. Haris mendesak Laila untuk memberi tahu alamat rumahnya, dan Laila pun memberi. Setelahnya, Haris mengirim pesan bahwa dia sudah berada di dekat rumah Laila. Gadis berlesung pipi ini menolehkan kepalanya, dan pandanganya menyapu sekeliling. Tiba-tiba, sebuah motor Lexi berhenti di hadapannya.

 

"Maaf, Mba," seseorang yang duduk di atas motor menyapanya. Laila sontak terkejut karena menurutnya dari tadi dia tak mendengar suara mesin motor, namun mengapa tiba-tiba telah berhenti di hadapannya seorang pria dengan motor Lexinya.

 

"Ini rumah Laila?" tanya pria itu setelah membuka helmnya. Senyum tipis tersungging dari bibir tipis pria berambut lurus berwajah tampan.

 

"Iya benar," jawab Laila sedikit terbata, menatap pria di hadapannya.

 

"Maaf, Mas, siapa ya?" tanya Laila.

 

"Saya Haris. Mba kan Laila?" pria itu balik bertanya. Laila mengangguk. Tiba-tiba, detak jantungnya tak karuan.

 

"Haris," gumam Laila pelan. Haris tersenyum.

 

"Maaf tadi ingkar janji," katanya, menatap Laila yang terlihat grogi.

 

"Nih ban ngga bersahabat, pake kempes lagi," sambung Haris, menunjuk ban belakang motornya sambil tertawa kecil, dan Laila juga tersenyum.

 

"Enaknya ngobrol dimana nih?" tanya Haris yang belum turun dari motor hitamnya.

 

"Eh iya, masuk yuk," tersadar Laila akhirnya mempersilahkan Haris masuk.

 

"Kok sepi?" tanya Haris ketika mereka telah duduk di teras rumah. Haris menatap sekeliling rumah yang memang sepi.

 

"Lagi pada keluar," jawab Laila singkat.

 

"Mau minum apa?" tanya Laila sambil membenarkan posisi duduknya. Haris tersenyum, menatap Laila lekat. Laila yang sadar pada tatapan Haris sedikit jengah hingga dia bangkit berdiri. Haris tersenyum.

 

"Apa aja boleh," jawab Haris, dan Laila pun melangkah masuk ke dalam rumah.

 

"Enak ya kalau jadi guru," Haris memulai obrolan saat Laila sudah datang dan membawa segelas es sirup dan beberapa potongan kue bronis. Laila tersenyum.

 

"Ya Alhamdulillah, dinikmati aja," jawab Laila.

 

"Eh kan kamu kerja di rumah sakit Hermina Jati Negara ya?" Laila bertanya balik. Haris mengangguk, tatapan matanya berkata "benar".

 

"Temanku jadi suster di sana," tambah Laila.

 

"Siapa namanya?" tanya Haris.

 

"Dwi. Dwi Kartika," jawab Laila dan menjelaskan posisi pekerjaan Dwi. Air muka Haris seakan berpikir, namun tiba-tiba ada keterkejutan dari rona wajahnya saat Laila memperlihatkan foto Dwi yang ada di ponselnya. Laila yang menyadari perubahan raut wajah Haris segera bertanya.

 

"Kamu kenal dia?" tanya Laila menatap Haris. Haris tersenyum.

 

"Iya, dia mantanku," jujur Haris berkata ringan, dan ini membuat Laila benar-benar seperti tersengat listrik tegangan tinggi.

 

"Apa mantan kamu?" pekik Laila ketus dan tak percaya. Haris tersenyum menatap Laila. "Emang kenapa?" tanyanya sambil tertawa kecil. Laila menggeleng, tak menduga Haris berkata ringan seolah tak ada masalah baginya. Laila menarik nafas panjang, menahan emosinya karena dia sudah tahu bagaimana perangai Haris dari cerita Dwi. Playboy kampungan ini hanya ingin numpang hidup dari wanita yang dia pacari, dan sudah banyak korban yang tergoda bujuk rayu serta ketampanan wajahnya. Laila berdiri, memasang badan dengan wajah tak sukanya.

 

"Sory Ris, saya masih banyak kerjaan, dan jauh lebih baik kamu ngga usah menjadikan saya korban kamu selanjutnya," Laila tegas mengutarakan, dengan tetap berusaha menahan emosinya.

 

"Sekarang kamu pulang aja, dan jangan pernah hubungi saya lagi," Laila mengarahkan pandanganya ke pintu pagar yang masih terbuka, dari tatapanya Laila menyuruh Haris pergi.

 

Haris tersenyum. Dia santai menanggapi sikap tak bersahabat Laila, namun tak satu katapun dia ucapkan. Hanya tertawa kecil sambil meneguk es sirup dan mengambil tiga potong bronis, lalu membungkusnya dengan tissue dan memasukan ke dalam tasnya.

 

Hati Laila kesal sejadinya. Dia membalikan badan, melangkah masuk dan menutup pintu rumah, lalu menguncinya. Dari balik pintu, dia mengumpat sejadinya.

 

"Dasar playboy kampungan. Norak, untung dia benar-benar bego sampai jujur bilang kalau Dwi mantan dia," Laila menarik nafas, menahan emosi kekecewaan.

 

"Emang dasar bego," Laila terus mengumpat, dan dari balik tirai jendela dia memandang kepergian Haris yang diiringi gerimis kecil.

 

"Apaan La... cowok itu mantan Dwi yang playboy kampungan itu?" Sarah berkata heran menanggapi cerita Laila saat Laila menelponnya dan menceritakan kejadian soal cowok playboy yang datang ke rumahnya dan ternyata dia adalah mantan Dwi, teman mereka di SMA.

 

"Iya, untung dia bego... eh maksudnya terlalu jujur," Laila menjawab.

 

"Tapi bagus deh kan gw ngga keburu jatuh cinta sama dia," tambah Laila diselingi tawa kecil, dan Sarah pun ikut tertawa. Obrolan via telepon dua sahabat ini mengalir lebih dari setengah jam, dan baru berakhir setelah ibu Sarah memanggil.

 

"Jadi cowok yang waktu itu lo ceritain adalah Haris si playboy kampungan itu, La?" kata Dwi menatap Laila tak percaya. Laila mengangguk sambil terus membaca daftar menu makanan. Dwi menggeleng, tertawa terbahak. Laila tersenyum melihat kelakuan temanya.

 

"Mana nih Sarah?" tambah Dwi masih dengan tawanya. Laila menggeleng. "Ngga tahu, katanya OTW," timpal Laila.

 

Sore ini, ketiga sahabat kecil ini membuat janji bertemu di sebuah restoran cepat saji di sebuah mal.

 

"Tuh dia anaknya," kata Laila yang melihat Sarah masuk.

 

"Panjang umur tuh bocah," tambah Dwi.

 

"Assalamualaikum sobat," salam Sarah ketika sampai dan mencium pipi kedua sahabatnya satu persatu. Sarah duduk di samping Laila, sedangkan Dwi duduk di hadapan mereka. Suasana restoran sedikit ramai, maklumlah ini jam pulang kantor.

 

"Kalian udah pesan makan?" Sarah bertanya sambil membuka buku menu.

 

"Belum," jawab Laila.

 

"Kan nunggu lo, Rah," tambah Dwi. Sarah tertawa. Ketiga sahabat ini pun memesan makanan dan minuman sesuai selera mereka masing-masing. Obrolan canda riang santai terjalin menyelimuti kebersamaan ketiga gadis ini, dengan topik obrolan pertama adalah playboy kampungan.

 

"Gw ke toilet dulu ya," kata Sarah berpamitan, berdiri melangkah meninggalkan kedua sahabatnya yang masih terus membicarakan kelakuan cowok playboy itu.

 

"Ups...SORY," pekik kecil Sarah ketika dia tak sengaja menabrak seorang laki-laki berpakaian casual yang berdiri di hadapannya. Aroma wewangian mengoda penciuman, seakan laki-laki ini ingin menebar pesona dengan parfum yang digunakanya selain ketampanan wajahnya. Laki-laki itu tersenyum. "Santai," singkat dia menjawab, memberi tatapan yang mengoda dan sedikit membuat Sarah jengah.

 

"Sekali lagi maaf ya," ucap Sarah. Laki-laki itu tertawa kecil dan menyodorkan tanganya seraya berkata, "Haris," singkat dia memperkenalkan diri. Sarah menerima uluran tangan hingga keduanya saling berjabat tangan.

 

"Sarah," jawabnya pelan. Dalam hati Sarah berpikir, "Seperti aku kenal nih suaranya," pikir Sarah membatin. Sarah mencoba menginggat suara itu. "Dimana ya, kayanya kenal deh suara ini," gumamnya terus berusaha mengingat.

 

"Kenapa ada yang aneh ya?" tanya Haris yang melihat raut muka Sarah. Sarah tersenyum dan menggeleng.

 

"Ngga kok. Duluan ya," kata Sarah melangkah meninggalkan Haris, namun sebelum Sarah pergi, Haris lebih dulu berkata, "Kamu sendiri di mal ini?" Haris menatap Sarah tersenyum.

 

"Kenapa emang?" Sarah balik bertanya, membalas tatapan Haris.

 

"Mau ngga aku temanin jalan-jalan di mal ini?" ucap Haris memberi tawaran. Tatapan Haris benar-benar mengoda, ditambah senyumnya terus dia tebarkan.

 

"Sory, saya ke sini sama dua teman saya," jawab Sarah menghindari tatapan laki-laki di hadapannya yang seakan siap menhipnotisnya. Masih terus tebar pesona, Haris mengeluarkan ponselnya dan bertanya, "Ya udah kalau tukaran nomer boleh dong?" Dia bersiap memegang ponselnya. Sarah mengejakan digit nomer ponselnya, dan tak lama ponsel Sarah berbunyi pertanda Haris telah memberikan nomer telponnya. Tanpa berkata, Sarah melangkah meninggalkan Haris yang masih sibuk dengan ponselnya.

 

Sarah kembali ke restoran dimana kedua sahabatnya ada di sana, dan sekembalinya Sarah ketiga sahabat ini asyik menghabiskan waktu kebersamaan mereka. Sarah tidak menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya pada kedua sahabatnya.

 

"Lo yakin, Rah, dia mau nemuin lo di tempat ini?" tanya Laila ketika berada di warung pecel ayam Bu Harjo di kawasan Otista.

 

"Dari pesanya sih gitu," jawab Sarah sambil mengambil ponsel dan berusaha mengirim pesan ke seseorang.

 

Hari ini, Sarah meminta Laila menemani dirinya untuk bertemu seorang laki-laki yang mengajaknya bertemu di tempat ini.

 

"Emang siapa sih, Rah, namanya?" tanya Laila sambil menulis pesanya.

 

"Haris," singkat Sarah menjawab.

 

"Haris?" pekik kecil Laila saat menyebut nama itu, dan spontan Sarah menatap sahabatnya ikut terkejut.

 

"Jangan-jangan itu laki-laki yang sama," ucap Laila meraih pulpen yang jatuh tadi saat dia kaget mendengar nama Haris disebut.

 

"Semoga bukan," ucap Sarah yang bergantian menulis pesanan makanan.

 

"Coba gw lihat foto profilnya," pinta Laila penasaran. Sarah memainkan ponselnya dan memperlihatkan foto profil sebuah nomer WhatsApp pada Laila.

 

"Nah, ngga salah lagi ini dia playboy kampung itu," kata Laila menatap gambar di monitor ponsel Sarah, dan Laila langsung mengambil ponsel mencari nomer Haris, dan setelah ketemu dia cocokan dengan foto profil dan nomer kontaknya. Sarah diam membeku, menyadari bahwa dia sudah nyaris jadi korban playboy itu. Sarah diam membeku, tatapanya kosong, seakan dia menelan kekecewaan yang terhebat.

 

"Hai Non... jangan bengong gitu," Laila berkata dengan menepuk punggung tangan Sarah, dan Sarah pun terhentak sadar dari rasanya.

 

"Pantesan aja waktu pertama denger suaranya, gw perasaan pernah deh dengar suaranya, tapi dimana, gw lupa," oceh Sarah mengingat kejadian itu.

 

"Pantesan aja, playboy kampungan itu benar-benar memikat dengan rayuan romantis dan perhatianya," tambah Sarah menepuk kepalanya pelan berulang kali.

 

"Bego amat ya gw," tambahnya. Laila tersenyum.

 

"Kita kerjain dia yuk," Laila mengutarakan idenya tersenyum. Sejenak, Sarah menatap Laila. "Maksudnya?"

 

"Lo tetap tunggu dia di sini, sementara gw pindah ke warung sebelah. Nanti kalau lo udah selesai makan, suruh dia yang bayar, termasuk makanan gw, dan kita pesan nasi uduk pecel ayam 10 bungkus kesemuanya, biarin aja dia yang bayar," jelas Laila pada Sarah yang mengangguk-angguk. Laila segera pergi meninggalkan Sarah setelah Haris memberi tahu bahwa sepuluh menit lagi dia sampai.

 

"Hai, Rah." Haris menyapa Sarah setelah dia datang dan duduk. Sarah tak menjawab. Sarah berusaha tersenyum semanis mungkin, padahal hatinya memberontak menghujat dirinya yang terjebak pada si playboy kampung ini.

 

"Kamu sudah pesan makan?" lanjut Haris menatap Sarah dengan melemparkan senyum kebanggaanya. Sarah mengangguk.

 

"Aku mau makan nasi uduk sama ayam bakar ah," ucap Haris kemudian memanggil pelayan warung dan menyebutkan pesananya.

 

Haris kembali menatap Sarah penuh arti, namun Sarah yang hatinya sudah memberontak dari tadi diam untuk menguasai emosinya.

 

"Kamu kerja dimana sih, kok ngga mau cerita di chatingan?" kata Haris memulai obrolan.

 

"Di MTH Square," Sarah menjawab datar.

 

"Itu apartemen kan?" Haris balik bertanya. Sarah hanya mengangguk. Haris terus mengisi kebersamaan dengan bercerita pengalamanya sebagai supervisor di sebuah brand pakaian pria ternama sebelum dia kini bekerja di rumah sakit Hermina Jati Negara sebagai tenaga administrasi, dibumbui lelucon kecil dan cerita konyolnya. Sarah tak ingin terlena pada arus cerita Haris, selain gadis berkacamata ini sudah tak tahan lagi menyimpan kekesalanya.

 

Untunglah tak berapa lama Laila datang mendekat. Haris menatap Laila datar, dengan memberi senyuman seakan dia mengatakan "hai". Sarah langsung berdiri saat Laila telah berada di sampingnya.

 

"Ris, nanti bayarin ya tagihanya," Sarah berkata dengan memamerkan senyum kemenangan lalu segera membalikan badan, melangkah bergandengan tangan dengan Laila. Haris tersenyum kecut, menatap kepergian dua gadis itu, dan betapa terkejutnya dia saat membayar tagihan karena tak menyangka dengan jumlahnya.

 

"Sialan tuh cewe, kena gw dikerjain," gerutunya sendiri. Haris terpaksa membayar tagihan sesuai dengan bill nota tagihan, dan setelahnya dia pergi meninggalkan warung pecel ayam itu.

 

 


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar