Bukan Anak Haram

Table of Contents

Sandra menatap kosong pada gelas di hadapannya. Gadis berusia 16 tahun ini hanya mengaduk-aduk sendok yang ada di genggamannya. Sesekali, terdengar deruan helaan nafasnya. Sandra menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi, memejamkan mata, dan mendesah tak jelas. Dia membuka matanya, lalu gadis berkuncir ini menutup wajah dengan kedua belah tangannya. Sejenak, dia memendamkan wajahnya seakan ingin mengubur semua rasa yang telah bersemayam dalam pikirannya. Suara Ustad Fikri masih terngiang jelas di telinganya.

 

 

 

“Anak haram,” kata itu yang terus menemani pikirannya yang meminta jawaban dari pertanyaan yang menggema di daun telinganya.

 

 

 

“Apa benar aku ini anak haram?” batinya dalam hati.

 

 

 

Tiba-tiba, sentuhan tangan dirasakan pada bahunya. Sontak, Sandra tersentak menoleh ke kiri ingin tahu siapa yang mengganggu lamunannya.

 

 

 

“Hai, Non, ngapain ngelamun?” Suara riang Erni dengan senyum manisnya.

 

 

 

Sandra menatap sejenak sepupunya, lalu dia menepis anak rambutnya tanpa bersuara.

 

 

 

“Mikirin apa sih, Ra?” Kembali Erni bertanya sambil menarik kursi dan duduk di samping Sandra.

 

 

 

Sandra tetap diam. Bahkan kini, gadis berparas oriental ini mengaduk-aduk kembali es teh manisnya tanpa mempedulikan kehadiran Erni, yang merupakan anak dari adik mamanya. Erni yang mencoba menggodanya terus saja dia acuhkan.

 

 

 

“Ah, parah lo, Ra, nge-BT-in,” ucapnya sedikit kesal karena Sandra tetap tak berekspresi, hanya menatap kosong ke depan dengan tetap mengaduk-aduk gelas dengan sendok.

 

 

 

“Lo kenapa sih, Ra?…” Tanya Erni meraih potongan bronis yang ada di atas meja.

 

 

 

“Jangan bilang nilai matematika lo jeblok, dan lo takut Tante Lisa ngoceh,” lanjut Erni memasukan sepotong kue berwarna coklat itu ke dalam mulutnya.

 

 

 

“Ulangan matematika gw dapat seratus kok,” lirih Sandra menjawab, menoleh sejenak ke Erni.

 

 

 

“Terus kalau gitu lo kenapa dong?” Tanya Erni sambil mengunyah. Sandra menggaruk kepalanya yang tak gatal.

 

 

 

Dilema ini benar-benar mengganggu aktivitas Sandra, baik di sekolah ataupun ketika di rumah. Sandra yang memang pendiam kini jauh lebih banyak diam. Bahkan, dia lebih menghabiskan waktunya untuk mengurung diri di kamar. Sandra adalah putri tunggal dari pasangan yang berbeda keyakinan serta berbeda budaya. Ketika ibunya menjadi seorang pramugari, dia berkenalan dengan papanya, yang merupakan seorang pengusaha dari negara lain. Hingga akhirnya, keduanya menikah. Papa dan mamanya berbeda keyakinan, hingga pernikahan itu hanya dilakukan secara catatan sipil, bukan secara agama. Sejak melahirkan Sandra, mamanya tidak lagi bekerja sebagai pramugari. Wanita asli suku Jawa ini fokus mengurus Sandra di rumah, sementara Papa Sandra hanya datang sebulan sekali. Tragedi jatuhnya pesawat terbang yang menjadi topik utama pemberitaan itu juga menewaskan Papa Sandra, hingga sang mama kembali mencoba untuk bekerja. Tinggallah Sandra yang hanya diasuh oleh nenek dan kakeknya.

 

 

 

Sandra yang mengikuti keyakinan agama mamanya sangat aktif di pengajian remaja masjid dalam kawasan perumahannya. Bahkan, Sandra yang selalu bersama Erni karena usia mereka hanya terpaut sepuluh bulan itu aktif juga di kegiatan rohani Islam di sekolah.

 

 

 

Suatu hari, ketika Sandra sedang mengikuti pengajian, ada seorang Ustad yang membahas tentang anak dari hasil perzinaan. Bahkan, kata “anak haram” itu menjadi momok yang membelenggu Sandra.

 

 

 

Bu Retno, wali kelas Sandra yang merangkap menjadi guru bidang studi matematika, merasakan sedikit perubahan dari sikap Sandra. Serta nilai harian matematikanya, serta hasil ulangannya, merosot jauh. Untuk itulah, sepulang sekolah, Bu Retno meminta Sandra datang menghadap ke ruang guru.

 

 

 

“Ibu tahu bila ada sesuatu yang kamu sembunyikan dan sangat mempengaruhi nilai akademismu, terutama nilai matematikamu,” kata Bu Retno ketika sudah duduk berhadapan dengan Sandra yang diam tertunduk.

 

 

 

“Apapun permasalahannya, cobalah kamu ceritakan sama Ibu. Mungkin Ibu bisa bantu kamu,” lanjut Bu Retno menatap lembut Sandra yang tetap tertunduk.

 

 

 

Dengan segala upaya dalam kata-kata lembut, Bu Retno terus menyiram hati Sandra untuk menceritakan permasalahannya. Yang awalnya Sandra hanya mampu diam tertunduk dengan jemarinya yang bermain melinting hijabnya, kini perlahan mengangkat wajahnya menatap Bu Retno yang tak henti memberikan nasehatnya agar Sandra mau berterus terang. Dari sudut mata Sandra, tampak gumpalan air bening siap meluncur. Sandra pun sudah berusaha untuk menahan air mata itu agar tak keluar.

 

 

 

“Kalau kamu mau nangis, silahkan. Keluarkan air matamu agar beban hatimu bisa meringan,” ucap Bu Retno yang menatap Sandra penuh kasih sayang.

 

 

 

“Ada apa, Sandra? Ceritakan sama Ibu,” ucap Bu Retno yang bangkit dan melangkah ke samping Sandra, lantas duduk bersisian dengan Sandra.

 

 

 

Bu Retno meraih bahu Sandra dan membawanya dalam pelukanya. Pecahlah tangis Sandra. Gadis ini sesegukan meluapkan semua beban yang tersemat di hatinya dalam seminggu ini. Bu Retno membiarkan Sandra menangis sepuasnya. Dia hanya bisa mengusap dan menepuk bahu Sandra sebagai bantuan psikis yang menjadi kekuatan.

 

 

 

Lima menit kemudian, Bu Retno menarik dirinya, melepas pelukan, dan menatap Sandra yang masih terisak.

 

 

 

“Maaf, Bu,” kata Sandra dengan terbata.

 

 

 

Bu Retno tersenyum dan mengambil tisu yang terletak di atas meja, lantas menyerahkan pada Sandra.

 

 

 

“Nah, sekarang kamu ceritain sama Ibu. Kamu ada apa?” Lembut Bu Retno menepuk paha Sandra yang sedang membersihkan air matanya, namun isak tangis itu masih sayup terdengar.

 

 

 

“Bu, apakah Sandra adalah anak haram?” Katanya lirih terbata.

 

 

 

Bu Retno tertegun sejenak, lantas dia tersenyum.

 

 

 

“Emang ada ya anak haram?” Bu Retno memicingkan mata mencoba mengoda Sandra yang tertunduk.

 

 

 

“Kamu kata siapa, San?” Tanya Bu Retno dengan merubah posisi duduknya.

 

 

 

“Kemarin di pengajian, Bu. Kata Pak Ustad, bila menikah berbeda agama itu sama saja zina, dan anak yang dilahirkan dari hasil zina adalah anak haram,” ucap Sandra mencoba tegar dengan menggigit bibir. Bu Retno yang telah mengerti permasalahannya menggeleng dan tersenyum.

 

 

 

“Sandra. Sandra. Sandra.” Katanya tertawa kecil.

 

 

 

“Kamu sudah remaja, San, dan setidaknya bisa mencerna setiap kata yang kamu dengar,” kata Bu Retno mulai memberikan nasehatnya pada Sandra. Sandra pun ta’zim mendengarkan ucapan Bu Retno. Bagi Sandra, Bu Retno memang sangat spesial, karena dari Bu Retnolah Sandra bisa menjadi bintang sekolah. Selain pelajaran sekolah, apalagi soal matematika, Bu Retno juga selalu memberikan Sandra motivasi agar tetap mempertahankan kualitas pendidikannya.

 

 

 

“Nah, kalau kamu sudah mengerti apa yang Ibu maksud, jadi untuk apa memusingkan sesuatu yang hanya akan menghancurkan diri kamu sendiri?” Ucap Bu Retno menepuk paha Sandra.

 

 

 

“Sekarang kamu tingkatkan lagi ibadah kamu, dan serahkan semua permasalahan ini sama Allah. Biar hanya Allah yang akan memberikan keputusannya,” lanjut Bu Retno. Sandra hanya diam menggigit bibir.

 

 

 

“Ingat, tugas kamu sebagai anak adalah menyenangkan orang tua kamu, terlebih lagi mama kamu yang hanya tinggal dia yang kamu punya. Jangan membebankan mama pada persoalan yang tak penting,” terus Bu Retno menasehati Sandra hingga tak terasa azan Ashar terdengar.

 

 

 

Sandra merasa tenang atas pencerahan dari Bu Retno. Hingga sedikit demi sedikit, dia berusaha menepis ingatannya pada kata “anak haram”. Sandra pun berjanji untuk membahagiakan mama dengan mendulang prestasi jauh lebih baik dari saat ini.

Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

2 komentar

Yuk komennya, boleh banget kalau mau request atau yang lainnya. kami harapkan Masukan berupa kritikan dari kalian dengan bahasa yang membangun
Comment Author Avatar
Jumat, 16 Agustus 2024 pukul 17.30.00 WIB Delete
Beutul betul betul, maju terus melangkah dengan pasti...
Comment Author Avatar
Anonim
Kamis, 07 November 2024 pukul 08.27.00 WIB Delete
Memang nggak ada anak haram. Mungkin ustadznya belum paham, tapi setidaknya, ini bisa jadi pelajaran agar siapa pun bisa bijak dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan soal pernikahan beda keyakinan. Terima kasih karyanya.