Jodohku ada di Bandung
Dentingan
sendok garpu memecah kesunyian. Fay, gadis berkacamata itu, terus mengaduk
makanan di piringnya, matanya berkaca-kaca. Dadanya sesak, napasnya
tersengal-sengal.
“Mau
tambah, Fay?” tanya seorang wanita paruh baya, Bude, mendekati meja makan. Fay
menggeleng, raut wajahnya muram.
“Kapan
kamu mau pulang ke Jakarta, Fay?” tanya Bude, menarik kursi dan duduk di
hadapan Fay. Fay menggeleng lagi, menjatuhkan punggungnya di sandaran kursi,
menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskan dengan sentakan.
“Emang
Fay enggak boleh di sini, Bude?” tanyanya lirih, memejamkan mata. Bude tertawa
kecil, menatap keponakannya.
“Fay,
Fay. Siapa yang larang kamu di sini? Ini kan rumahmu juga,” kata Bude,
menuangkan air ke dalam gelas. “Bebas, sampai kapanpun kamu mau tinggal di
sini, ya, silahkan.”
Bude
meneguk segelas air, lalu meletakkan gelas itu di atas meja. “Bude cuma
mengingatkan kerjaan kamu di Jakarta gimana,” katanya, meraih sepotong semangka
dan memakannya.
Fay
membuka mata, memutar bola matanya, menggigit bibirnya, dan mendesah. “Fay cuti
aja, Bude,” jawabnya singkat.
“Cuti?”
Bude terbelalak, mendengar jawaban Fay. “Trus murid-murid kamu gimana?”
tanyanya, masih menatap Fay. Tatapannya seakan menolak keputusan Fay untuk
cuti.
“Biarin
aja deh, Bude,” kata Fay, berdiri dan meninggalkan Bude yang masih terbelalak.
***
“Fay,”
suara itu menahan langkah Fay yang akan memasuki halaman gedung sekolah. Fay
membalikan badan, menoleh ke arah datangnya suara.
“Tunggu,
Fay,” kata Olin, sahabat Fay, yang berjalan cepat, hampir berlari kecil untuk
menjajari langkah Fay.
Fay
tersenyum kecut, lalu kembali melangkah masuk ke halaman sekolah. Olin terus
menjajari langkahnya di samping Fay, berusaha memberikan penjelasan.
“Sorry,
Fay, ortu kami yang mengatur rencana perjodohan ini,” kata Olin, mengatur
napas.
“Fay,”
Olin meraih lengan Fay, menahan langkah sahabatnya. Fay menahan langkah,
menoleh ke Olin, dan tersenyum kecut.
“Pras
ingin ketemu kamu,” ucap Olin, menatap Fay yang membuang pandangannya. “Nanti
setelah lo selesai ngajar, kita jemput ya,” tambah Olin, masih menggengam
lengan Fay.
“Udahlah
Lin, gw udah lupain semuanya kok,” jawab Fay sedikit ketus, melepaskan lengannya
dari genggaman Olin. “Gw mau ngajar dulu,” tambahnya lagi, dan langsung
melangkah cepat menuju ruang guru tanpa mempedulikan Olin yang tetap mematung
menatap kepergiannya.
***
“Bu
Fayzira benar-benar resign,” kata Bu Dian, teman mengajar Fay, yang sedari tadi
melihat kesibukan Fay merapikan peralatan pribadinya. Fay menoleh sejenak,
tersenyum, dan mengangguk.
“Udah
dapat sekolah baru ya, Bu?” tanya Bu Dian lagi. Fay menghentikan gerakannya,
menarik napas, dan menghembuskan perlahan.
“Belum,
Bu Dian. Tapi semoga secepatnya saya dapat bekerja di sekolah lainnya,” jawab
Fay, menatap ke jendela yang memberikan pemandangan lapangan olahraga yang
sepi.
“Kalau
belum dapat tempat yang baru, kenapa keluar, Bu?” Dian kembali bertanya. Fay
kembali menenggelamkan dirinya untuk merapikan peralatan pribadinya yang
tersimpan di lemari guru. Fay tak menjawab sedikitpun, dia menyibukkan diri
agar lekas bisa meninggalkan sekolah ini secepatnya sebelum Olin menjemputnya.
***
Ketukan
pintu kamar menyadarkan Fay yang mencoba untuk tidur. Matanya terpejam, namun
kesadarannya sulit menenggelamkan dirinya ke alam bawah sadar.
“Fay,”
lembut suara mama terdengar dari balik pintu. Tak ada jawaban. Wanita
berkerudung putih itu mendorong perlahan daun pintu dan melangkah masuk. Bu
Indah mendekati putri sulungnya yang berpura-pura tertidur.
“Mama
tahu kamu belum tidur, Fay,” ucap Bu Indah, duduk di tepi ranjang, memijit
lembut kaki Fay. Fay membuka mata, lantas duduk di hadapan bunda terkasih.
Tatapan Bu Indah membuat Fay langsung memeluk mama dan tumpahlah semua rasa Fay
yang dia pendam.
Bu
Indah membiarkan putrinya puas mencurahkan rasanya, hanya memberikan tepukan
lembut di punggung Fay.
“Sudah
puas,” ucap Bu Indah ketika Fay menarik tubuhnya, tersenyum, menyeka air mata, dan
mengangguk.
“Dunia
tak selebar daun kelor, Fay,” Bu Indah mengambil guling dan menaruh di pangkuan
Fay. “Itu artinya Allah sayang sama kamu dengan tidak menjodohkan kamu dengan
Pras,” tambahnya lembut, menggenggam jemari Fay.
“Kamu
keluar dari sekolah, trus mau ngajar di mana?” tanya Bu Indah. Fay menggeleng.
“Yah
sudahlah, kalau begitu, gimana kamu ngajar aja di tempat Bude Windy,” tambah Bu
Indah.
“Emang
boleh, Ma, Fay pindah ke Bandung?” ucap Fay, menatap mama. Bu Indah tersenyum,
mengangguk.
“Iya,
Mama dan Papa sudah rembukan dan mengizinkan kamu pindah ke Bandung,” kata Bu
Indah, berdiri melangkah ke meja di hadapannya. “Buka lembaran baru di Bandung,
insya Allah kamu bisa dapatkan sesuatu yang jauh lebih baik.”
***
Sebulan
kemudian, Fay sudah mengajar di lembaga bimbingan belajar yang dikelola Bude
Windy, kakak pertama papanya. Fay mencintai profesinya sebagai seorang guru.
Banyak anak didiknya yang menyukai cara Fay menerangkan pelajaran fisika yang
rumit.
Suatu
pagi, sebelum berangkat ke tempat mengajar, Fay disapa oleh Bu Anisa, seorang
ustajah di kawasan perumahan yang tinggal di samping rumah Bude Windy.
“Assalamu'alaikum,
Mbak Fay,” sapa Bu Anisa lembut, ketika melihat Fay yang sudah bersiap
menjalankan sepeda motornya. Fay menghentikan gerakannya, membuka helmnya,
beranjak berdiri dari motor, dan melangkah mendekati Bu Anisa.
“Wa'alaikum
salam, Umi,” sopan Fay menjawab, meraih tangan wanita itu dan mencium punggung
tangannya. Bu Anisa tersenyum, menepuk bahu Fay.
“Nanti
sore, kamu ada waktu tidak?” tanya Bu Anisa, menatap Fay.
“Mungkin
sehabis maghrib aku kosong, Umi,” jawab Fay.
“Kalau
begitu, Umi tunggu di rumah ya, ada yang ingin Umi omongin sama kamu,” lanjut
Bu Anisa. Fay menatap penuh tanya, dan dibalas Bu Anisa dengan senyuman.
“Nanti
aja, Fay, kita ngobrolnya. Kan sekarang kamu mau ngajar, nanti malah kesiangan
lagi,” penuh kasih Bu Anisa menjawab rasa penasaran Fay.
“Fay,
ini foto Alif, anak pertama Umi yang sedang kuliah di Kairo mengejar S2, tapi
bulan depan dia kembali ke Bandung,” kata Bu Anisa, memperlihatkan sebuah foto
pria kepada Fay yang telah duduk berhadapan. “Saya sudah banyak diceritakan
sama Bude Windy tentang kamu, dan saya kan juga tlah mengenal keluarga kamu
sejak kamu masih SLTP.” Bu Anisa menatap Fay yang hanya diam tertegun
mendengarkan perkataan dirinya.
“Nah,
saya dan abinya Alif berniat menjodohkan kamu, itupun kalau kamu bersedia. Alif
tak ingin berpacaran, dia ingin langsung menikah. Alif sudah tau rencana ini
dan dia juga menginginkan kamu menjadi istrinya,” Bu Anisa menghentikan
ucapannya, mengamati perubahan raut muka Fay yang tak menyangka akan dipinang
dengan cara seperti ini.
“Semuanya
gimana keputusan kamu saja. Bude Windy juga sudah mengetahui masalah ini, dan
mama kamu juga pun menyarankan supaya saya yang bilang langsung ke kamu,”
lanjut Bu Anisa. Fay menarik napas, menggigit bibirnya, tertunduk.
“Kamu
istighfar dulu aja, coba kamu pikirkan lagi. Lagian kan kamu sudah mengenal
Alif sebelumnya,” sambung Bu Anisa. Fay memejamkan mata, menggelengkan kepala,
dan menutup wajahnya dengan kedua belah tangan.
***
“Mama
ikut keputusan kamu aja, Fay,” kata mama yang berbicara via ponsel dengan putri
sulungnya. Fay menelpon mamanya setelah pulang dari rumah Bu Anisa. Bude Windi
ada di samping Fay, mendengarkan pembicaraan ibu dan anak.
“Ingat,
Fay, ta'aruf itu lebih baik daripada pacaran. Kamu istighfar aja, mama tunggu
jawaban kamu ya sayang,” lembut mama Fay memberikan suplemen keyakinan pada
buah hatinya.
Lima
bulan kemudian, terjadilah ijab kabul antara Fay dan Alif. Fay menerima
perjodohan itu. Fay tersenyum dalam rangkulan Alif yang sekarang telah menjadi
suaminya. Fay bersyukur dengan perjalanan waktu yang mengajaknya pindah ke
Bandung, lantas dia menemukan pasangan hidup yang sedang dia nantikan.