Aku dan bayanganku
Dalam
kesunyian malam, aku diam duduk memandang sebuah cermin persegi panjang yang
diam membisu, balik menatapku. Ada pantulan diriku yang menyambut dengan
sorotan luka terpendam. Dia diam seperti diriku yang juga diam, kami saling
beradu tatap sementara detak jam dinding menambah daftar kesunyian, dan desiran
pendingin ruangan kian bertambah dingin, menyelimuti raga yang sedang lara
hingga aliran darah seakan beku, menyumbat rasa.
Aku
ajak bicara bayangan yang tampak di hadapanku.
“Hai
diriku yang memucat dalam keterasingan,” sapaku lembut, menatap wajah yang pasi
tersenyum getir.
“Apakah
kau tak ingin merasakan dinginnya kesejukan embun di gurun safana?” ucapku
lagi, wajah itu tetap tersenyum, bahkan ronanya memelas.
“Apakah
kau tak ingin merasakan euforia kegembiraan dalam suka ria dari sebuah pesta?”
lanjutku yang terus menatap pantulan wajahku sendiri, kami saling terus beradu
tatap, membeku tak bersuara. Dia hanya tertunduk diam, tak terasa buliran
hangat melintas di pipinya.
“Mengapa
kau menangis?” tanyaku dalam isak tertahan, gelengan kepala menjadi jawaban.
Ku
tarik dalam-dalam nafas, lantas perlahan ku hempaskan, terasa sesak itu makin
menghimpit, bahkan rasa nyeri berdenyut di dada kananku. Sekali lagi ku tarik
nafas dalam, bahkan lebih dalam lagi, dan kembali ku hempaskan, kini sesak itu
semakin menusuk, nyeri sakit sekali.
Sedetik
dua detik, buliran air terus membanjiri raut yang kusam, pucat bak tak
bernyawa, gelengan kepala menjeda isak tak bersuara, lantas tangan dingin
menyapu, membersihkan air luka yang tak tertahan. Naluri membimbing diri
berdiri, bangkit, mengerakan kaki tuk melangkah ke kamar mandi, membersihkan
diri dengan bersuci, itu hasrat yang mengerakan kalbu tuk mengadu pada Sang
Penguasa sesungguhnya.
Selembar
sajadah menjadi tempat berpijak, seragam keagungan berwarna putih menutup aurat
tlah dikenakan. Sosok rapuh kini bersiap tuk menghadap Tuhan yang dia percayai.
Mulut
berkomat-kamit membaca niat tuk jalani ibadah penenang hati, tata cara tertib
dikerjakan penuh hikmat, meski buliran hangat itu selalu menemani setiap
gerakan. Lama terdiam dalam sujud, diri yang terluka ini kian terisak dalam
panjatan doa permohonan ampun. Bersimpuh dalam kelemahan, mengakui gunungan
dosa yang tlah bersemayam dalam pengembaraan hingga detik ini, tubuh yang
berlumur dosa kian rapuh dalam sujud taubat.
Tak
ada yang lebih indah ketika sesak itu tlah membuka sumbatanya dengan permohonan
ampun.
Tak
ada yang lebih nikmat ketika nyeri itu terkikis oleh lantunan dzikir.
Tak
ada yang lebih damai ketika hati tlah diterangi ketenangan, saat iklas mampu
tergenggam dengan keyakinan pada kuasa Ilahi Robbi.
Kebahagiaan,
kedamaian, keindahan itu kian berkilau saat secercah taqwa membungkus jasad
yang menyatu dengan raga yang bersinar dari kasih sayang Tuhan semesta alam.
Aku
kembali berdiri dan melangkah mendekati cermin. Kini pantulan wajah itu
tersenyum manis dalam keiklasan, raut yang pasi tlah bersinar dengan iman dan
keyakinan, buliran airmata itu tlah menyinari raut yang bernyawa penuh gairah
semangat.
“Apakah
kini kau tlah bahagia?” tanyaku pada wajah yang terus tersenyum di hadapanku.
Dia mengangguk dan mengacungkan ibu jarinya.
“Apa yang membuat kamu bisa berubah seperti ini?” lanjut ku bertanya, dalam senyum yang terus berkembang dia menjawab, lirikan ujung matanya mengarah pada selembar sajadah yang masih terbentang. Di sana masih terlihat siluet sosok manusia yang menikmati sujud, siluet itu terlihat kusyu bersimpuh seolah dia sedang berhadapan dengan sesuatu yang membuatnya enggan keluar dari gerakan sujudnya. Aku pun tersenyum bangga pada hati ini yang selalu mengerakan langkah tuk ke jalan yang membuatku tak menyia-nyiakan kesempatan tuk bertaubat, ku usap wajahku dengan kedua telapak tangan dan ku ucapkan, “Alhamdulillah... terima kasih ya Allah, Kau masih mengijinkan aku mendapat kasih sayang-Mu.""
Posting Komentar