Ada luka di balik sebuah cinta
Halte
bus di Jalan Kapten Tendean masih terlihat sepi, hanya ada tiga orang yang
sedang menanti kedatangan bus. Langkah Laras terhenti di depan halte ketika dia
menyadari seseorang mengikutinya. Laras menoleh, dan ternyata benar ada pria
berkaos bola Chelsea berdiri tak jauh darinya. Pria itu melemparkan senyum saat
Laras menatapnya.
“Ari,”
gumamnya, lalu kembali memfokuskan penglihatannya untuk menunggu bus tujuannya.
Ari
langsung mendekati Laras, berdiri menjajari.
“Mau
kuliah apa mengajar, Ras?” ucapnya menggoda. Laras menoleh sejenak, tersenyum,
dan menjawab,
“Mengajar
dulu, baru nanti siang lanjut kuliah.” Ari menatap gadis berkerudung biru
langit ini tanpa berkedip. Meski hanya bisa menikmati paras wanita pujaannya
dari samping, Ari terlihat sangat bahagia. Laras yang sadar akan tatapan Ari
merasa jengah, dia memberikan reaksi dengan sudut matanya yang melirik tak
suka.
“Naik
616 kan?” Ari berusaha memecah kebisuan. Laras membalas dengan anggukan tanpa
bersuara.
Tak
lama kemudian, kopaja jurusan Blok M-Cipedak terlihat mendekat. Laras
melambaikan tangan menghentikan bus yang sudah 10 menit dia tunggu. Tepat bus
berhenti sempurna, Laras segera bergegas naik ke dalam bus yang sudah sedikit
penuh. Beruntung masih ada dua bangku kosong di barisan belakang, segera Laras
menuju ke sana. Ari pun membuntuti Laras sampai duduk bersebelahan dengan gadis
berkacamata ini.
“Ngapain
kamu ikutin aku, Ri?” ucap Laras ketika mereka sudah duduk bersisian. Ari
tersenyum, merogoh saku celana panjangnya, mengambil selembar uang untuk
membayar ongkos bus.
“Kan
ngawal bidadari pujaan,” singkat dia menjawab. Laras hanya bisa menarik nafas
dan menghempaskannya dengan menjatuhkan punggungnya untuk bersandar.
Laras
sudah mengetahui bahwa Ari memang suka padanya, namun Laras tak pernah
menanggapi laki-laki yang tak pernah kapok. Meski Laras bersikap dingin,
kejadian seperti ini bukan baru pertama kalinya terjadi. Hampir setiap Ari
libur kerja, dia selalu menanti Laras di halte bus, bahkan ikut menemani sampai
di tujuan. Yang paling membuat Laras sebal adalah Ari juga sudah menantinya di
halte ketika jam pulang dirinya.
“Nanti
sepulang kamu kuliah, aku jemput lagi ya,” kata Ari yang berdiri di samping
Laras setelah mereka turun dari kopaja 616. Laras menahan langkahnya, menoleh
ke Ari.
“Enggak
usah, nanti aku mau ke rumah tanteku,” jawab Laras.
“Kalau
gitu aku minta waktu sebentar, ada yang ingin aku omongin ke kamu,” balas Ari,
berusaha meyakinkan.
“Maaf,
Ri, jangan hari ini karena aku ada keperluan,” lembut Laras menolak, tertunduk.
Ari menatap lekat wanita yang berdiri di hadapannya.
“Besok
aja, jam sepuluh pagi aku tunggu kamu di warung bakso Pak Amin,” Laras
memberikan saran yang dibalas anggukan Ari. Tanpa berkata apa pun, Laras
melangkah meninggalkan Ari, yang tetap menatapnya.
Laras
dan Ari telah duduk berhadapan di warung bakso yang letaknya dekat halte bus
tempat biasanya Ari menantinya.
“Dah
ngomong, Ri, ada apa emang?” tanya Laras setelah mereka memesan menu yang
diinginkan.
“Aku
mau melamarmu, Ras,” singkat namun pasti Ari mengutarakan kemauannya. Sontak
Laras tersedak, menahan kaget. Gadis ini melotot, menatap Ari tak percaya. Ari
tertawa geli sambil terus membalas tatapan Laras.
“Kamu
cantik banget, Ras, aku tambah yakin tuk melamar kamu,” dalam gelak kecil Ari
berkomentar. Laras membalas dengan senyum kecut.
“Serius,
Ras, kalau kamu setuju, hari Minggu besok, aku sama abiku datang meminta sama
ayah bundakamu,” serius Ari berkata, menatap Laras yang tertunduk. Ari asyik
menikmati paras yang tertunduk di hadapannya.
Kedatangan
Pak Amin membawakan pesanan, membuyarkan keheningan. Lantas mereka menikmati
makanan masing-masing. Laras sudah tak berselera menyantap semangkok baksonya,
dia memakannya dengan berjuta perasaan tak karuan. Sementara Ari berusaha
mengisi suasana dengan bercerita ngalor-ngidul yang diselingi lelucon kecil,
namun tetap tak membuat Laras menanggapinya.
“Aku
pulang duluan, Ri,” singkat Laras berkata setelah selesai makan. Gadis ini
beranjak tanpa mendapat persetujuan dari Ari. Dia melangkah meninggalkan warung
bakso itu, dengan Ari yang tercengang ditinggalkan begitu saja.
Niat
Ari untuk melamar Laras dibuktikan. Dia datang ke rumah Laras sesuai dengan
yang dia katakan pada Laras. Keluarga Laras yang telah mengetahui permasalahan
ini menyambutnya dengan sukacita, terlebih lagi Bunda Laras, Bu Dewi,
menyiapkan sajian jamuan untuk tamu kehormatan yang akan meminang anak
gadisnya.
“Kami
ikut bagaimana keputusan Laras saja, karena kan yang mau menikah adalah dia.
Kami sebagai orang tua hanya bisa merestui niat baik ini,” kata Pak Latif, ayah
Laras, setelah pihak keluarga Ari mengutarakan niat, ketika mereka telah duduk
bersama di ruang tamu rumah Laras. Obrolan lainnya juga mewarnai pertemuan yang
belum menghasilkan keputusan, karena Laras telah menjawabnya.
“Maaf,
Ibu, Bapak, dan Mas Ari, saya belum bisa menjawab. Beri kesempatan saya untuk
memutuskan.”
Dua
keluarga ini tak memaksakan kehendak mereka pada Laras, karena memang antara
Laras dan Ari belum sama sekali berhubungan. Ari, yang sudah menyimpan cinta
pada Laras ketika mereka mengikuti acara pengajian di masjid, memang tak ingin
berpacaran. Dia akan langsung meminang belahan hatinya saat dia sudah mampu.
Saat ini, Ari telah bekerja sebagai masinis dari PT Kereta Api, makanya dia
berani untuk melamar Laras.
Pertemuan
malam ini hanyalah awal dari cerita hidup Laras dan Ari.
“Maaf,
Ibu, bukannya saya tak menyukai Mas Ari atau menganggap Mas Ari tak pantas
menjadi suami saya, namun sangat berat hati saya menolak lamaran ini,” tegas
namun terpatah-patah Laras mengungkapkan jawabannya pada Ibu Ari. Dua hari
kemudian, sengaja Laras sendiri yang datang ke rumah Ari. Terlebih lagi, Laras
tahu bahwa hari ini Ari sedang dinas, makanya dia berani menemui orang tua Ari
untuk memberi jawaban dari lamaran.
Bu
Erni tampak terkejut dari penuturan Laras.
“Kenapa
memang, Ras, apakah kamu sudah memiliki calon suami?” tanya Bu Erni menyelidik,
tertunduk Laras menggeleng.
“Bukan
itu alasannya, Bu, tapi memang saya tak berani menikah dengan Mas Ari,” jawab
Laras, raut wajah Laras menyimpan sesuatu yang menjadi tanda tanya Bu Erni.
Gundukan
tanah merah di depan Ari masih wangi dengan taburan bunga berwarna-warni,
dengan papan nisan yang bertuliskan "Laras Indah Lestari."
Ari
duduk tertegun, menatap gundukan tanah yang telah menguburkan jasad wanita yang
menolak pinangannya. Ternyata, Laras mengidap kanker darah, dan seminggu
setelah kedatangan Laras ke rumah Ari, wanita ini meninggal dunia.
Ari
pun sadar bahwa sesungguhnya bukan berarti Laras tak suka padanya, namun Laras
menolak lamarannya karena dia tahu bahwa usianya tak akan lama. Langit biru
dengan taburan awan putih, disertai kicauan burung, menjadi saksi bahwa ada
luka di balik cinta Ari pada Laras.