"Ah, akhirnya kerjaan gue kelar semua nih,"
sorak Jay riang sambil menutup komputernya dan merapikan peralatan serta
kertas-kertas di atas mejanya.
"Sekarang
giliran ke mal deh, cari kado buat Tuti," ucap pria berambut ikal dengan
alis mata tebal itu.
Saat Jay berkemas,
Latif mendekat. "Udah kelar, Jay?" tanya Latif sambil duduk di kursi.
Jay menoleh sekilas lalu kembali berkemas.
"Udah, bahkan
udah gue kirim ke Bu Arya." Melihat teman kerjanya menyemprotkan minyak
wangi, Latif kembali bertanya, "Loe mau ke mana, Jay?"
Jay tertawa kecil.
"Yah, jalan-jalan dong, gue mau beliin Tuti kado, karena besok dia ulang
tahun." Jay beranjak berdiri setelah merapikan semuanya, termasuk
menggendong tas ranselnya.
"Wah,
makan-makan kita!" goda Latif. Jay mengibaskan tangannya.
"Ah, loe makan
aja di rumah sendiri." Jay melangkah meninggalkan Latif yang menggeleng
menatapnya.
"Dasar playboy kampungan loe, Jay," gumam Latif.
Jay melangkah santai
menuju lift. Sesampainya di depan lift, seorang wanita sudah berdiri menunggu
pintu lift terbuka.
"Hai, Sari, mau
ke mana?" Jay menyapa, merasa mengenali wanita berambut sebahu itu. Wanita
itu menoleh menatap Jay dengan tatapan tidak suka.
"Maaf, saya
bukan Sari." Jay hanya menyengir kecil tanpa merasa bersalah. Bersamaan
dengan itu, pintu lift terbuka. Jay dan wanita itu masuk.
"Emang kamu
siapa sih? Karyawan baru ya? Di bagian apa?" Jay mencoba berbasa-basi,
tetapi justru wanita itu menoleh memelototinya dengan muka judes. Jay diam
tertegun.
"Busyet, judes
amat sih nih cewek," batinnya. Keduanya diam hingga pintu lift kembali
terbuka. Jay melangkah lebih dulu sambil bersiul.
Di pintu lobi, Jay
menyapa sekuriti, "Pak Ali, balik dulu, ah." Sekuriti yang mengenali
Jay tersenyum dan mengangguk, sedangkan wanita itu masih berjalan di belakang
Jay. Jay menuruni anak tangga menuju halte bus, dan wanita itu juga melangkah
tak jauh dari Jay.
"Ih, ngapain
nih cewek kok jadi bareng gue," gerutunya.
Jay berdiri menunggu
angkot yang diinginkannya, dan tak berapa lama angkot berwarna biru tua itu terlihat.
Jay melambaikan tangan, angkot itu berhenti. Jay naik, dan wanita itu pun ikut
naik. Karena angkot sudah penuh, keduanya duduk bersisian.
"Emang Mbak
kerja di bagian apa sih di kantor itu?" Jay mencoba mencairkan suasana.
Wanita itu menggeleng, mengacuhkan Jay dengan bermain ponsel.
"Ehm, dasar
cewek aneh," omelnya dalam hati.
Angkot melaju lancar
karena tidak ada kemacetan, dan di sebuah pusat perbelanjaan Jay turun, dan
lagi-lagi wanita itu juga turun.
Jay mengacuhkannya.
Dia melangkah menuju tempat yang dia mau. Jay berniat membelikan pacarnya
sebuah tas yang memang sedang Tuti incar.
"Tuti pasti
senang deh gue kasih tas ini," ucap Jay sambil memegang tas berwarna
hitam, meneliti setiap bagiannya. Jay telah berada di sebuah toko tas dan
langsung mengarah ke tas yang dia mau. Ketika sedang asyik mengamati tas yang
mau dibelinya, Jay tertegun karena melihat wanita itu ada di dalam toko yang
sama. Awalnya Jay mengacuhkannya, tetapi rasa penasaran kembali membuatnya
melangkah mendekati wanita itu.
"Kok, kita
selalu ketemu ya," sapa Jay. Wanita itu menoleh dan tertawa kecil.
"Hai, Jay,
tumben amat loe sopan kaya gitu," jawab wanita itu yang mengenali Jay. Jay
lagi-lagi tertegun.
"Sari?"
ucapnya tak mengerti sambil menatap Sari menyelidik.
"Loe kenapa
Jay? Kok kaget kaya gitu?" tanya Sari yang ikut-ikutan tidak mengerti. Jay
menggaruk kepala dan menggeleng.
"Tadi di kantor
gue ketemu cewek dan satu lift bahkan satu angkot sama dia kemari, dan gue
pikir tadi itu dia, lah kenapa jadi loe sih, Ri?" jelas Jay yang masih
mencoba berpikir. Sari tertawa.
"Oh, pasti tadi
loe ketemu Sarah ya," Jay semakin tidak mengerti.
"Dah, loe bayar
dulu tuh tasnya, nanti loe kudu nraktirin gue di Bakmi GM ya, baru gue ceritain
deh," Sari lalu melangkah ke kasir diikuti Jay yang masih tidak mengerti.
"Sarah itu
kembaran gue, dia lagi ngegantiin gue kerja hari ini," Sari mulai
bercerita mengapa Jay bertemu dengan orang yang mirip sekali dengannya. Mereka
telah duduk berhadapan di restoran Bakmi Gajah Mada.
"Gue nggak
ngerti," keluh Jay, yang melambaikan tangan memanggil pelayan. Seorang
pria berseragam datang mendekat, lalu Jay menyebutkan makanan dan minuman
diikuti Sari. Pelayan itu mencatat dan berbalik badan pergi setelah memastikan
pesanan Jay dan Sari.
"Ah, udah
enggak usah dibahas lagi deh, Jay, intinya kemarin kita taruhan dan si Sarah
kalah. Jadi, dia harus menggantikan gue kerja seharian," jawab Sari sambil
mengambil sumpit dan memainkannya.
"Eh, loe beli
tas mahal itu buat Tuti pacar loe ya?" tanya Sari melirik body bag yang tergeletak di samping Jay. Jay mengangguk.
"Wah, pasti
seneng banget dia. Dah buruan kalian nikah deh," Jay mendesah menjatuhkan
punggungnya ke sandaran kursi, memejamkan mata, dan tersenyum sinis.
"Kenapa
Jay?" tanya Sari yang merasa raut muka Jay berubah tidak menyenangkan.
"Bonyoknya
enggak ngijinin kita ngelangkahin Kak Ari," lirih Jay menjawab.
"Oh, Kak Ari
yang pramugari itu?" Sari menimpali, Jay mengangguk.
"Wah, kalau
gitu kalian masih lama dong meridnya," Sari berkomentar.
"Ah, dah biarin
aja deh, yang penting kami baik-baik aja," Jay kembali mengangkat
tubuhnya, duduk tegak menatap Sari.
"Kalau loe sendiri
gimana, kapan loe merid sama Farhan?" tanya Jay. Sari tertawa membuat Jay
merengut.
"Orang ditanya
eh, malah loe ketawa, gimana sih Ri," omel Jay. Sari tersenyum.
"Nasib kita
sama Jay, ortunya Farhan juga minta kalau kita nunggu Mbak Tika nikah dulu."
Jay tertawa.
"Hahahaha,
berarti nasib kita sama ya, Ri." Tak lama kemudian datanglah pelayan
membawakan pesanan mereka.
"Ya udah gue
balik duluan ya, Jay," pamit Sari setelah mereka selesai makan.
"Ya udah, loe
hati-hati ya," dan akhirnya mereka pun berpisah. Jay sengaja langsung ke
rumah Tuti untuk menyerahkan hadiahnya karena besok Jay takut tidak sempat
karena ada pekerjaan di luar kantor.
Tuti sangat senang
menerima hadiah dari pacarnya yang memang tas itu sedang diincarnya.
"Makasih ya,
Jay," ucapnya tersenyum riang menimang-nimang tas itu, memakainya di
pundak sambil menepuk-nepuknya.
"Eh, iya aku
ada berita bahagia juga nih untuk kamu," ucap Tuti yang masih menimang tas
barunya.
"Kabar
apa?" santai Jay bertanya sambil mengambil gelas minumannya.
"Kata Ayah,
kamu ditunggu secepatnya untuk melamar aku!" sontak Jay nyaris tersedak.
"Serius?"
ditatapnya Tuti tak percaya, Tuti tersenyum dan mengangguk.
"Yes!"
soraknya sambil meletakkan kembali gelas yang belum sempat diminumnya.
"Ih, kok enggak
jadi diminum? Aku udah susah tuh ngebuatnya," sindir Tuti. Jay tersenyum
dan meraih kembali gelas berisi es jeruk kesukaannya.
"Tadi aku
ketemu sama kembarannya Sari," Jay mulai menceritakan apa yang dia alami
tadi. Tuti tertawa mendengar cerita Jay yang salah menegur orang yang ternyata
kembarannya Sari, teman sekantor Jay.
"Wah, berarti
nasib Sari tuh sama ya kaya kita, tapi apa Sari atau Sarah yah yang menikah
duluan," Jay menggeleng. Obrolan lain pun menemani kebersamaan mereka
hingga Jay akhirnya pamit pulang.
Jay telah berada di
halte bus berniat pulang menunggu angkot yang ditujunya. Selagi mata Jay
berkeliling mengamati suasana malam yang masih ramai dengan aktivitas lalu
lintas, tiba-tiba mata Jay menangkap sosok wanita yang dikenalnya.
"Itu Sari apa
Sarah ya?" tanyanya sendiri, memperhatikan wanita itu melangkah mendekati
halte bus.
Rasa penasaran Jay
bertambah mengebu setelah wanita itu berdiri tak jauh dari Jay. "Siapa sih
dia? Sari atau Sarah ya? Tapi kalau Sari kenapa enggak negur gue?" Saking
penasarannya, Jay melangkah mendekat.
"Hai, kamu
Sarah ya, kembarannya Sari?" tegur Jay sopan. Wanita itu menoleh menatap
Jay tidak suka, dia mencibir dan mengibaskan tangannya.
"Ih, judes amat
sih Mbak, kan saya nanya baik-baik," ucap Jay sewot, berbalik badan
melangkah kembali ke tempat semula.
"Ada ya cewek
jutek kaya gitu, ih, amit-amit," diangkatnya kedua bahunya, kembali
menanti angkutan yang akan membawanya pulang.
Posting Komentar