Rasakan Hasilnya
Putri
tampak riang bercermin. Wajahnya memancarkan rona bahagia. Ia
berlenggak-lenggok laksana peragawati yang sedang tampil di catwalk.
"Cantik
juga ya gue," pujinya pada diri sendiri. Rambut lurusnya yang telah
melewati bahu dibiarkan tergerai. Kemeja putih pas sekali melekat di tubuhnya
yang sekal, ditambah rok plisket bermotif bunga kecil yang panjangnya melewati
dengkul, menambah kepercayaan diri gadis yang berusia 18 tahun ini.
Putri
terus saja berganti posisi dengan segala gaya yang dibuatnya. Ia tersenyum dan
terus berlenggak di depan cermin, baru berhenti ketika ponselnya berdering.
"Ah,
siapa sih, ganggu aja," omelnya sambil melangkah ke meja rias dan
mengambil ponselnya. Dilihatnya nama yang tertera di layar: "Tika."
Ucapnya bermalasan sambil menekan tombol hijau.
"Hai,
Put," sapa Tika lebih dulu.
"Iya,
kenapa Tik?" jawab Putri sambil duduk di depan meja rias. Sembari
bertelepon, ia masih saja tetap memandangi wajahnya di cermin di depannya
sampai-sampai ia tak menyimak ucapan Tika.
"Apaan,
Tik?" tanyanya, membuat Tika sedikit sewot.
"Ah,
Put. Loe dengerin gue enggak sih?" Tika mengeluh protes.
"Sori,"
Putri tersenyum, tetap berlenggak-lenggok di depan cermin.
"Tadi
gue lihat Agus lagi jalan tuh sama Dewi," Tika mengulangi ucapannya. Putri
tersenyum sinis.
"Dah,
biarin aja Tik, emang gue pikirin. Lagi pula gue udah putus tuh sama si anak
kampungan itu," santai Putri menjawab, membuat Tika menelan ludah.
"Ah,
loe Put. Gue pikir loe bakal mencak-mencak terus ngelabrak Dewi," Tika
mengungkapkan kekecewaannya. Putri tertawa lepas.
"Hahaha,
rugi Tik. Mending gue fokus aja sama ujian semester ini." Lalu Putri
mengakhiri obrolannya karena mamanya memanggil.
"Apa,
Ma?" ucap Putri ketika sampai di dekat Bu Irma yang sedang merapikan meja
makan. Wanita berkerudung hijau muda ini menoleh dan menatap anak gadisnya
penuh selidik.
"Cantik
amat anak Mama, mau ke mana kamu Put?" ucapan Bu Irma membuat Putri
tersipu.
"Mau
ke rumah Ratih, Ma. Dia mau ngajakin nonton," jelas Putri. Bu Irma
mengernyitkan dahinya.
"Nonton?
Di mana dan sama siapa?" tanya Bu Irma. Putri tersenyum, menggeser kursi
lalu duduk.
"Tenang,
Ma. Nontonnya cuma berdua aja kok, di mal Pejaten." Putri mengambil tahu
goreng dan memakannya.
"Nanti
pulangnya gantian Ratih yang nganter aku pulang," lanjut Putri. Bu Irma
hanya menjawab dengan mengangkat alis.
"Oh
iya, Put," Bu Irma mulai mengutarakan maksudnya kenapa tadi dia
memanggilnya.
"Besok
Om Firman kan mau ke Jakarta sama Raka. Dia minta cariin rumah kosan untuk tiga
bulan saja," ucap Bu Irma sambil menarik kursi lalu duduk di depan Putri.
"Mama
mau minta tolong kamu tanya ke rumahnya Tante Linda, masih ada kamar apa
tidak." Putri mengangkat wajahnya, menatap tak suka ke Bu Irma.
"Kok
Putri sih, Ma? Kenapa enggak Mama aja yang ke sana atau telepon aja?"
protesnya. Bu Irma tertawa kecil.
"Mama
tahu kamu masih kesel sama Agus, tapi enggak usah begitu ah. Kan itung-itung
kamu buktiin kalau kamu enggak salah." Bu Irma mencoba meredakan suasana
hati Putri.
"Lah,
emang Putri enggak salah kok, dasar aja tuh si anak kampung," gerutunya
sambil mencibir.
"Enggak
mau ah, Ma. Mama telepon aja atau nanti Putri cariin tempat kosan yang lainnya.
Kayaknya di ujung Gang Hijau Daun itu ada deh kosan yang tempatnya lumayan
bagus," Putri memberikan rekomendasi.
"Ah,
itu mah mahal Put. Kemarin Mama udah tanya, minta dua juta sebulan."
Mendengar ucapan mamanya, mata Putri terbelalak kaget.
"Dua
juta, Ma? Ih, mahal amat!" Bu Irma tersenyum mengangguk.
"Makanya
Mama minta tolong kamu ke rumahnya Tante Linda, minta satu kamar aja,"
lembut Bu Irma memerintahkan Putri. Putri memanyunkan mulutnya yang masih
terisi makanan. Sorot mata tegas Bu Irma membuat Putri tak dapat membantah lagi
permintaan mamanya.
"Ya
udah deh, Ma. Nanti sebelum ke rumah Ratih, Putri mampir dulu ke sana,"
ucapnya menyerah sambil meraih gelas dan meminumnya.
"Nah
gitu dong, itu baru anak Mama yang salehah," puji Bu Irma merasa senang.
"Emang
rencananya kapan, Ma?" tanya Putri yang bersiap beranjak.
"Awal
bulan depan," jawab Bu Irma. Putri menangguk lalu berjalan ke kamarnya
lagi untuk mengambil tasnya.
Putri
telah berdiri di depan pagar putih setinggi satu setengah meter. Ia mengarahkan
dirinya ke tembok kiri, ingin menekan tombol bel, tetapi sebelum sempat ia
menekan tombol itu tiba-tiba sebuah mobil Avanza silver berhenti di
depan rumah itu. Refleks Putri membalikkan tubuhnya, mengamati siapa yang ada
di dalam mobil itu.
"Siapa
sih?" tanyanya sendiri. Mobil itu terparkir lalu turunlah seorang pria
bertubuh tegap dengan rambut klimisnya. Pria itu tersenyum melihat Putri
memperhatikannya.
"Hai,
cantik sekali kamu," sapa pria berkemeja biru itu membuat Putri tersenyum
kecil. Dalam hati ia sangat senang dibilang cantik, tapi cara menyapa pria ini
ada keanehan yang Putri rasakan.
"Kamu
mau cari siapa?" kembali pria itu bertanya, menatap Putri tersenyum.
"Tante
Linda," singkat Putri menjawab. Pria itu mengangguk lalu mengeluarkan
kunci dan membuka pintu pagar. Putri sedikit kaget.
"Siapa
sih dia, kok punya kunci rumah ini?" tanyanya dalam hati.
"Yuk,
masuk," ajak pria itu setelah membuka pintu pagar dan melangkah masuk.
Tanpa berkomentar, Putri melangkah masuk. Bangunan tiga lantai menyambut
mereka, dinding bercat putih kokoh berdiri anggun dengan menampilkan nuansa
klasik modern. Pria itu melangkah ke pintu utama lalu membuka kuncinya dan
mendorong pintu kayu berwarna hitam itu lebar.
"Yuk,
masuk," ajak pria itu menoleh menatap Putri. Putri jengah, pikirannya tak
menentu, ada kekhawatiran yang dibayangkannya.
"Saya
di luar aja, Pak," jawab Putri menundukkan tatapannya.
"Maaf,
tolong saya mau bertemu Tante Linda aja," lanjut Putri. Pria itu tertawa.
"Baiklah,
silakan duduk," pria itu mengarahkan tatapannya ke meja teras. Putri
menangguk lalu melangkah ke tempat yang ditunjuk pria itu dan setelahnya pria
itu melangkah masuk.
Tak
berapa lama kemudian, seorang wanita berambut ikal sepundak dengan dandanan
menawan keluar dari dalam rumah.
"Eh,
Putri, kirain siapa," wanita berbaju kasual itu menyapa Putri membuat
Putri berdiri menghampirinya.
"Iya,
Tante," Putri pun segera menyalami wanita pemilik rumah kosan ini yang
bernama Linda.
"Wah,
cantik sekali kamu Put," puji Linda membuat Putri tersenyum.
"Terima
kasih, Tante. Eh, iya, kata Mama mau minta satu kamar untuk dua orang Tante.
Rencananya untuk tinggal selama tiga bulan," jelas Putri. Linda menangguk.
Sebelum Linda menjawab, pria itu muncul dari dalam rumah.
"Mau
buat siapa emang kamar kosannya?" tanya pria itu melangkah dan duduk di
samping Linda. Linda dan Putri menoleh.
"Ini
Putri, Pa, pacarnya Agus," Linda memberi tahu siapa Putri. Sontak Putri
gelagapan, raut mukanya merah, ia berusaha menutupi perasaannya dengan
tersenyum.
"Oh,
calon mantuku toh," pria itu tertawa.
"Ini
papanya Agus, Put. Kebetulan dia baru datang ke sini, soalnya biasa lah dia
harus mengilir tiga istrinya dan hari ini adalah jatah Tante," tak sungkan
Linda menjelaskan dan membuat Putri menelan ludahnya dalam hati, ia membatin,
"Pantes aja bapaknya udah kemaruk, jadi deh anaknya playboy
kampungan."
"Ya
udah, Tante, nanti Putri kasih tahu Mama. Oh iya, kamarnya buat adik Mama yang
dari Padang, Tante," ucap Putri lalu dia bersiap berdiri, tapi belum
sempat dia berdiri tiba-tiba sebuah sepeda motor masuk ke halaman. Putri sangat
mengenali suara motor itu, ya itu Agus yang datang, dia membawa seorang wanita.
Melihat siapa yang datang, Putri mendesah membuang tatapannya ke arah lain dan
bergegas dia berdiri.
"Putri
pamit, Tante," ia menghindari bertemu dengan Agus dan wanita yang
dibawanya, tapi Agus lebih dulu melihat Putri dan memanggilnya.
"Eh,
Put, kebetulan nih kita ketemu," sapa Agus yang sudah turun dari motor dan
melangkah mendekat.
Putri
menarik napas dan menghempaskannya kasar.
"Wah,
hebat anak Papa udah belajar poligami nih," papanya Agus yang berkomentar,
Agus tertawa kecil.
"Maaf
Om, saya sudah tidak berhubungan lagi dengan Agus," tegas Putri berucap
membuat Linda dan suaminya menatap Putri. Selagi semua mata tertuju ke Putri,
tiba-tiba wanita berambut sepunggung yang tadi dibonceng Agus berucap penuh
keterkejutan, "Papa?" Matanya melotot terbelalak melihat papanya yang
juga papanya Agus duduk di sana bersama Linda.
"Dewi?"
ucap papanya Agus ikut terkejut. Putri yang tadinya merasa kesal dan ingin
secepatnya keluar dari rumah itu ikutan merasa aneh dan penasaran.
"Dia
anakmu, Pa?" tanya Linda dengan nada ketusnya. Papa Agus yang bernama
Latif itu menangguk, membuat semua orang tertegun.
"Jadi
kalian tidak boleh berpacaran ya, karena kalian adalah saudara seayah,"
Pak Latif memberikan penjelasan membuat Agus dan Dewi saling bertatapan sejenak
lalu mereka sama-sama menatap Pak Latif.
"Untung
keburu ketahuan sebelum kalian jauh berhubungan," timpal Linda, dan
kesempatan ini Putri gunakan untuk pamit.
"Putri
pamit, Tante," dia berdiri melangkah mendekati Linda, bersalaman lalu ke
Latif, "Saya pamit Om." Latif tersenyum, matanya jahil menggoda
Putri, "Gus, sama dia aja, cantik loh ini gadis." Putri merengut dan
melangkah menuju pintu pagar, tapi ketika melewati Agus dia sempatkan untuk
menyampaikan sesuatu, "Selamat menikmati hasilnya." Agus menoleh
memelototinya.
Ketika
Putri sudah menghilang, Linda bertanya, "Memang kamu sudah putus ya Gus
sama Putri?" Agus menangguk.
"Kenapa?"
kembali Linda bertanya.
"Tadinya
Agus berniat memacari Putri dan Dewi Ma, Agus juga ingin kaya Papa yang punya
tiga istri," polos dijawabnya membuat Dewi menoleh memelototinya dan Linda
menggeleng.