Hadiah dari sebuah kebaikan
"Burhan,
tunggu..." panggil Asep yang sedang duduk di teras rumahnya ketika melihat
Burhan, teman sekolahnya, lewat. Pemuda dengan rambut cepak bak tentara yang
sedang menjalani pendidikan itu menghentikan langkah dan menoleh.
"Sini,"
Asep menggerakkan tangan memintanya mendekat. Dengan langkah gontai, Burhan
mendekatinya.
Tanpa
berkata apa pun, Burhan langsung duduk di depan Asep, lalu tangannya cekatan
menyambar pisang goreng yang ada di atas meja. Asep tersenyum melihatnya.
"Ngapa,
Sep?" tanya Burhan dengan mulut mengunyah.
"Loe
dari mana sih, kok loyo gitu?" tanya Asep. Burhan menaik turunkan alisnya
yang tebal.
"Gue
abis dari rumah Dadang." Asep mengamati raut muka Burhan yang terlihat
memelas.
"Ngapain?"
Burhan mengangkat sebelah bahunya.
"Lah,
loe ke sana ngapain?" penasaran Asep bertanya lagi.
"Gue
mau pinjam duit," ucapnya kembali mengambil pisang goreng yang tinggal
satu, tapi Asep lebih dulu menyambarnya.
"Sori,
Han, ini jatah gue." Burhan menatap penuh rasa sesal.
"Gue
tadi cuma beli dua potong aja, kan loe udah makan satu, terus kalau yang ini
loe makan juga, terus gue dapat apa?" jelas Asep tetap mengunyah. Burhan
menarik napas dalam.
"Kenapa
si Dadang enggak kasih loe pinjaman?" tanya Asep. Burhan menggeleng.
"Gue
pinjam dolang loe aja deh, Sep," pinta Burhan. Sontak Asep memelototinya
lalu tertawa.
"Ngapa
malah loe ketawa, Sep?" Burhan mengubah posisi duduknya, serius menatap
Asep.
"Hahahaha,
tadi gue manggil loe ke mari itu aja gue mau pinjem dolang loe, Han," Asep
menjawab dengan senyum kecut.
"Gini
ya nasib pengangguran..." keluh Burhan. Asep mengangguk. Keduanya diam.
Suasana hening hanya kicau burung liar yang hinggap di pepohonan silih bergantian
yang menjadi latar suara di antara keduanya.
Saat
mereka diam, tiba-tiba sebuah sepeda motor memasuki halaman rumah. Asep dan
Burhan memperhatikannya dan saling menoleh.
"Siapa,
Sep?" tanya Burhan. Asep menggeleng. Seorang pria membuka helm, meletakkan
di gagang motornya, lalu berdiri dan melangkah mendekati mereka.
"Permisi,
Mas," salamnya sopan. Asep segera berdiri menyambut.
"Cari
siapa, Mas?" tanya Asep. Pria berjaket kulit hitam itu mengulurkan tangan.
"Maaf,
Mas, nama saya Rudi, saya mencari Asep Sutrisna," terangnya yang membuat
Asep menatapnya tak mengerti.
"Ada
perlu apa ya sama Asep?" Rudi tersenyum.
"Apa
Mas ini adalah Asep Sutrisna?" Rudi balik bertanya, Asep mengangguk.
"Boleh
saya duduk?" pinta Rudi, sekali lagi Asep mengangguk, melangkah mundur
mempersilakan Rudi untuk duduk.
Rudi
duduk di samping kanan Burhan, mengangguk. Burhan pun ikut mengangguk.
"Dia
teman saya, namanya Burhan," Asep memperkenalkan. Rudi mengulurkan tangan,
Burhan juga mengulurkan tangan hingga keduanya saling berjabat.
"Ada
apaan sih, Mas? Kok nyari saya, dan Mas Rudi itu dari mana?" cecar Asep
penasaran. Rudi mengubah posisi duduknya, tersenyum, dan mulai mengutarakan
maksud tujuannya.
"Saya
datang ingin mengucapkan terima kasih untuk bantuan Mas Asep," Asep
semakin tak mengerti, sorot matanya penuh tanya.
"Saya
anaknya Ibu Pratiwi yang tiga bulan lalu Mas tolong di halte bus Pancoran,
terus Mas anterin pulang ke rumah," Rudi mempertegas penjelasannya. Bola
mata Asep berputar seolah dia ingin mengingat kejadian yang dimaksud.
"Pas
waktu itu ibu saya abis kecopetan, dia enggak punya uang untuk pulang, dan Mas
Aseplah yang mengantar ibu sampai di rumah," lanjut Rudi, Asep sedikit
teringat kejadian itu, dia tersenyum dan mengangguk.
"Waktu
Ibu mau kasih uang, eh Mas ada telepon dan langsung pergi, jadi sekarang saya
ke sini mau berterima kasih," sambung Rudi, Burhan yang menyimak cerita
itu menimpali.
"Terus
Mas tahu nama serta alamat Asep dari mana?" tanya Burhan, Asep menoleh ke
Burhan lalu kembali menatap Rudi. Rudi tersenyum dan merogoh saku celananya,
lalu mengeluarkan selembar kartu nama.
"Ini,
Ibu sempat meminta nomor telepon Mas Asep, tapi justru Mas Asep malah kasih ini
ke ibu saya," Rudi menunjukkan kartu itu yang memang itu adalah kartu nama
Asep, Asep tertawa kecil.
"Bu
Tiwi apa kabarnya, Mas?" Asep yang telah mengerti semuanya bertanya.
Mendengar pertanyaan Asep, Rudi tertunduk membuat Asep dan Burhan saling
bertatapan.
"Kenapa,
Mas?" Burhan yang bertanya, Rudi mengangkat kepalanya dan menggeleng.
"Ibu
meninggal seminggu yang lalu," Rudi menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangannya.
"Innalillahi
wa innalilahi rojiun," serempak Asep dan Burhan berucap, Rudi mengangguk.
"Ibu
memang punya penyakit diabetes, dan pas kecopetan itu sebenarnya ibu baru
pulang dari rumah sakit habis kontrol," jelas Rudi, Asep dan Burhan
mendengarkan penuh takzim.
"Nah,
saya ke mari mau berterima kasih sama Mas Asep," Rudi tersenyum ke arah
Asep.
"Mas
kerja atau masih kuliah?" tanya Rudi.
"Saya
baru sebulan yang lalu di-PHK karena pabrik sepatu tempat saya bekerja itu
kebakaran, jadi perusahaan mengurangi tenaga kerja," jawab Asep.
"Baguslah
kalau gitu, gimana kalau Mas Asep bekerja di kantor saya?" pinta Rudi yang
membuat Asep tercengang.
"Apa
pendidikan terakhir, Mas?" kembali Rudi bertanya.
"Ah,
dia mah cuma SMA aja, tapi CV sekuriti dia banyak tuh dari pelatihan yang
sering diikutinya," Burhan menimpali, Rudi menoleh tersenyum.
"Oh,
gitu, berarti ini juga kabar gembira, karena sekuriti di rumah saya minta
berhenti karena istrinya dipindahkan tugas, terpaksa dia mengikutinya, jadi Mas
Asep bisa bekerja saja di rumah saya," jelas Rudi memberikan penawaran
membuat Asep tertegun tak percaya mendengar tawaran itu, Burhan justru yang
meresponsnya dengan penuh suka ria.
"Wah,
keren loe, Sep! Enggak perlu buat lamaran kerja eh, udah dipanggil
duluan!" Asep menoleh menatap Burhan tak suka.
"Buat
saya ada enggak, Pak?" Burhan kini mengarahkan tatapannya ke Rudi yang
masih memperhatikan Asep, Rudi menoleh tersenyum.
"Kalau
Mas juga punya CV sekuriti juga?" tanya Rudi, Burhan menggeleng pelan.
"Dia
itu IT, Pak," Asep yang menjawab.
"Baru
seminggu yang lalu dia juga di-PHK karena dituduh mencuri sama atasannya,
padahal saya percaya Burhan enggak melakukannya, saya kenal dia dari kami
sama-sama sekolah dasar sampai SLTA," sambung Asep, Rudi mengernyitkan
dahi seolah dia ingin bertanya mencuri apa?
"Dia
itu dituduh nyuri data kantor, Pak, makanya dia enggak dapat pesangon eh, malah
sekarang lagi ngejalanin pengadilan," Asep kembali menjelaskan, Rudi diam
menyimak sedangkan Burhan memalingkan mukanya ke arah lain.
"Menurut
saya ada orang yang sedang memfitnah Burhan," Asep menarik napas dalam,
Rudi pun ikut mendesah.
"Semoga
lekas tuntas ya, Mas persoalannya," Rudi menatap Burhan yang tersenyum
kecut.
"Baiklah,
Mas Asep, ini kartu nama saya, besok saya tunggu Mas di rumah ya, dan tolong
bawa lamaran kerja, sertakan CV-nya juga, ini hanya formalitas untuk memproses
gaji Mas," Rudi menyodorkan selembar kartu nama dan menjelaskan, Asep
menerimanya, membaca sekilas, tersenyum, dan mengangguk.
"Baik,
Pak, insya Allah besok pagi jam tujuh saya sudah sampai di rumah Bapak."
Rudi mengangguk dan beranjak berdiri.
"Ok
lah, saya tunggu besok, sekarang saya pamit ya," Asep dan Burhan ikut
berdiri dan bersalaman dengan Rudi, setelahnya Rudi pergi meninggalkan dua
sahabat ini.
"Sungguh
beruntungnya loe, Sep!" puji Burhan setelah duduk kembali menatap Asep
yang tersenyum.
"Ini
namanya hadiah dari sebuah kebaikan, Han," ucap Asep lalu melakukan sujud
syukur. Pemuda berhidung mancung ini sujud syukur atas kenikmatan yang baru
saja didapatnya.
Posting Komentar