kenyataan yang menyakitkan
“Ih, serem amat sih,” komentar Alya sambil
menonton video di media sosialnya. Gadis berlesung pipi ini mengernyitkan
dahinya.
“Masa
iya, masjid dijadikan tempat transaksi narkoba?” ucapnya pada diri sendiri,
lalu dia mengklik tayangan lain. Lagi-lagi kriminalitas lewat di beranda
TikTok-nya.
“Ini
lagi apa coba?” omelnya lagi ketika menonton tayangan transaksi narkoba seorang
ibu yang berjualan sayur keliling.
“Jaman
edan,” omelnya sambil mematikan ponselnya lalu menaruhnya di atas meja. Alya
menjatuhkan punggungnya ke sandaran sofa, mendesah, dan bergumam, “Masa iya,
tempat ibadah jadi sarang transaksi? Ih, nyebelin. Terus, tuh, si emak ikutan
jadi pengedar lagi,” makinya.
“Kamu
kenapa, Al?” Tiba-tiba seorang wanita paruh baya menegurnya lalu duduk di
samping Alya yang menoleh sejenak.
“Enggak
kenapa-kenapa kok, Mi,” jawabnya ringan. Wanita berkerudung hitam bermotif
bunga itu tersenyum.
“Mimi
mau ke mana? Cantik amat,” Alya mengamati penampilan ibunya.
“Mana
wangi banget,” kembali Alya berkomentar sambil mengendus-endus. Bu Sari tertawa
kecil.
“Mimi
mau ke rumah Tante Risma, mau ambil pesanan kue,” jawab Bu Sari. Alya
membesarkan bola matanya.
“Lah,
kenapa Mimi yang ambil? Kan biasanya diantar pakai ojol,” protes Alya. Bu Sari
tertawa menatap putri sulungnya lembut.
“Karena
Mimi mau ngajak kakak ke rumah Tante Risma.” Alya semakin tak mengerti. Dia
menatap miminya bertanya. Seakan mengerti maksud tatapan putrinya, Bu Sari
kembali tersenyum dengan menepuk paha Alya.
“Nanti
di sana ada Umi Fitri sama Ustadz Aldi. Mereka meminta Mimi mengajak kamu
karena mau memperkenalkan putranya ke kamu.” Sontak ucapan Bu Sari membuat mata
Alya membesar.
“Ih,
apa sih, Mimi? Enggak jelas banget, deh,” Alya menunjukkan ketidaksukaannya. Bu
Sari tersenyum lembut, dia meraih bahu Alya dan merangkulnya.
“Ini
kan cuma saling bersilaturahmi aja, Kak,” ucapnya penuh kasih sayang. Alya
menikmati sentuhan miminya meski hatinya protes keras.
“Tapi
kenapa di rumah Tante Risma sih? Kenapa enggak mereka yang kemari aja?” Alya
keluar dari rangkulan Bu Sari dan menatap miminya.
“Kalau
di rumah sendiri itu kayaknya terlalu serius, deh. Kan Umi Fitri hanya mau
memperkenalkan anaknya saja, bukan menjodohkan apalagi melamar kamu.” Alya
kembali memelototi miminya.
“Apa
sih, Mimi?” ucapnya tak suka. Bu Sari tertawa kecil.
“Ya
udah, sekarang kamu ganti baju sana, Mimi tunggu,” perintah Bu Sari. Dengan
sedikit malas akhirnya Alya beranjak.
Ketika
Alya dan Bu Sari sampai di rumah Tante Risma, di ruang tamu telah menanti Umi
Fitri serta suaminya dan tak ketinggalan seorang pemuda berambut sedikit ikal
dengan alis tebal serta hidungnya yang mancung. Mereka serentak berdiri
menyambut Bu Sari dan Alya ketika Bu Sari memberi salam.
“Hai,
cantik,” Risma mendekat dan menggandeng Alya setelah bersalaman dengan Bu Sari.
“Ih,
Tante,” Alya tersipu melangkah dengan tangan yang digandeng Risma. Mereka
mendekati Umi Fitri dan bersalaman.
“Assalamu’alaikum,
Umi,” salam Alya sopan mencium punggung tangan wanita berhijab ungu. Umi Fitri
tersenyum lembut mengusap kepala Alya.
“Waalaikum
salam, masya Allah, tambah cantik sekali anak Umi ini.” Alya tersipu, rona
pipinya memerah lalu dia melangkah ke Ustadz Aldi lalu menyalaminya. Setelahnya
Risma mengajak Alya duduk di sofa yang masih kosong di seberang Aldi. Alya
tertunduk ketika dirasakan Aldi memperhatikannya.
Basa-basi
antara Bu Sari dengan Umi Fitri membuka obrolan ini lalu Risma berucap, “Al,
ini Aldi, anaknya Umi Fitri yang menjadi dosen di kampus merdeka.” Alya menoleh
ke Risma lalu menundukan kepalanya lagi.
“Kenalan
lah, Al,” pinta Risma. Alya kembali mengangkat wajahnya menatap Aldi.
“Assalamu’alaikum,”
Aldi yang lebih dulu menegurnya.
“Waalaikum
salam,” singkat Alya menjawab.
“Kamu
ngajar di mana sekarang, cantik?” Umi Fitri yang bertanya lebih dulu. Alya
menoleh ke Umi Fitri menjawab, “Di SD Yasporbi, Umi,” jawab Alya kembali
tertunduk.
“Maaf,
Alya,” Ustadz Aldi memulai mengutarakan tujuannya. Detik pertama Alya menoleh
tetapi kembali tertunduk menyimak.
“Kami
bermaksud mengenalkan kamu dengan anak kami, Ridwan, semoga bisa menjalin
ta’aruf kalian,” intonasi penuh wibawa itu menampar dada Alya. Bagaimana tidak,
Alya tak pernah menyangka akan dijodohkan seperti ini.
“Alya,”
panggil Ustadz Aldi. Alya mengangkat wajahnya menoleh.
“Kalau
kamu berkeberatan juga kami terima, niat kami hanya ingin menyambung
silaturahmi dengan keluarga Bu Sari yang sudah seperti keluarga sendiri,”
sambung Ustadz Aldi. Ya, memang antara Bu Sari dan Ustadz Aldi dulu sewaktu
SLTA pernah satu sekolah dan sama-sama saling menyukai, tapi karena Ustadz Aldi
lebih memilih Umi Fitri yang juga merupakan teman sekolah mereka dan orang tua
Aldi menjodohkannya, walhasil kini mereka ingin menebus kesalahan itu dengan
menjodohkan anak-anak mereka. Pada awalnya Bu Sari berkeberatan, tapi Risma
adik kandung Bu Sari sangat mendukung niat itu dan hari ini perkenalan itu
dimulai.
“Bagaimana,
Alya?” tanya Ustadz Aldi menatap penuh harap pada Alya.
“Saya
enggak tahu, Om,” jawab Alya menarik napas. Semua mata tertuju pada sikap Alya
yang menegang.
“Saya
sudah punya pilihan, Om. Dan rencananya dua bulan depan dia ingin melamar,”
lanjut Alya memutarkan bola mata berusaha jujur menghindari tatapan semua
orang.
“Mimi
juga sudah tahu masalah ini, tapi memang Mimi sedikit tak suka sama Rafif
karena orang tuanya itu berbeda keyakinan, ibunya muslim dan bapaknya non
muslim ditambah pekerjaan bapaknya Rafif adalah pengurus dewan gereja dan
aktifis di sana,” Alya menelan kenyataan dengan kejujuran yang dia ucapkan.
“Mimi
maunya yang seiman aja biar enggak masalah, meski Rafif pun mengikuti keyakinan
ibunya,” lanjut Alya.
“Kan
udah tante kasih tahu, Al, menikah itu bukan cuma permainan belaka,” Risma yang
menimpali menepuk paha Alya.
“Ingat
nasehat tante,” Risma lebih menekankan penjelasannya. Alya mengangguk.
“Dah,
coba kalian saling mengenal dulu, toh profesi kalian kan sama-sama guru biar
beda tempat mengajarnya,” Risma mencoba meyakinkan Alya yang diam. Dalam hati
Alya ingin rasanya dia pergi dari tempat ini, entah mengapa ada desir aneh yang
mengelitik perasaannya. Kejujuran yang dia ungkapkan entah kenapa justru itu
malah mencubit hatinya.
“Ah,
kenapa sih aku ini?” keluh Alya membatin.
Pertemuan
tanpa hasil itu akhirnya berakhir setelah berbasa-basi sejenak dengan topik
kisah masa lalu Umi Fitri, Bu Sari dan Risma. Itu terhenti manakala Ridwan
mendapat telepon dan keluarga itu pamit pulang.
Alya
telah selesai mengajar. Ketika dia sedang berjalan menuju parkiran untuk
mengambil motornya, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari gedung sebelah yang
merupakan sekolah lanjutan atas Yasporbi. Alya tertegun sejenak, tapi wanita
berkulit putih bersih ini kembali melangkah berusaha mengindahkan kegaduhan
itu. Barulah ketika dia melewati pos sekuriti, Alya bertanya pada Pak Yudi,
yang merupakan sekuriti sekolah dasar.
“Ada
apa sih, Pak? Kok ramai banget di SMA?” tanya Alya menghentikan Honda
Vario-nya.
“Ada
sidak narkoba, Bu,” singkat Pak Yudi menjelaskan.
“Kok
ada mobil polisinya sih, Pak?” Alya menatap sekeliling dan dilihatnya ada tiga
mobil polisi. Pak Yudi menarik napas menghempasnya.
“Diduga
ada siswa yang menjadi pengedar, Bu,” sedikit berbisik Pak Yudi menjawab.
Sontak mata Alya terbelalak kaget.
“Innalillahi.”
Pak Yudi tersenyum sinis.
“Tapi
udah ketahuan siapa siswa itu, Pak?” tanya Alya penasaran. Pak Yudi menggeleng.
“Saya
belum ke TKP, Bu, karena tidak bisa meninggalkan pos SD, dapat jatah jaga di
sini,” jelas Pak Yudi. Alya menggeleng kecewa.
“Semoga
lekas tuntas,” ucap Alya lalu dia berpamitan dan melajukan si roda duanya.
Baru
saja Alya ingin keluar dari komplek sekolah menuju jalan utama tiba-tiba
matanya menangkap sesuatu, dia menepikan motornya dan memperhatikan seksama apa
yang dilihatnya.
“Ridwan,”
ucapnya tak percaya sekaligus penasaran melihat Ridwan ada bersama para polisi
serta beberapa siswa Yasforbi juga guru.
“Iya,
itu beneran Ridwan anaknya Umi Fitri,” Alya mempertegas keyakinannya dengan
terus mengamati gerakan rombongan yang melangkah masuk ke mobil polisi.
“Ngapain
dia ada di sana?” tanyanya sendiri. Sebelum melangkah masuk ke mobil, Ridwan
sempat menoleh ke samping kanan dan tak sengaja dia melihat Alya duduk di atas
sepeda motornya dan tatapan mereka saling bertemu biar jarak diantara mereka
sedikit jauh.
Rasa
penasaran Alya membuat dia mengarahkan motornya ke sekuriti yang tak jauh
keberadaanya.
“Siapa
mereka itu, Pak Rafif?” tanya Alya langsung pada inti persoalannya.
“Mereka
yang tertuduh, Bu, menjadi pengedar,” jawab sekuriti itu membalikan tubuh
menghadap Alya.
“Termasuk
pria yang memakai kemeja coklat juga, Pak?” tanya Alya mengarahkan topik ke
Ridwan dengan menyebutkan pakaian yang dipakai, sekuriti itu menangguk.
“Sepertinya
sih gitu, Bu. Dia itu dosen dan dia yang dipaksa polisi untuk menunjukan jalur
pengedaran itu,” jelas Pak Rafif membuat Alya menelan kegetiran ini. Alya
terdiam sejenak mengatur emosinya dan perlahan Alya pamit.
Sampai
di rumah Alya langsung menemui miminya dan menceritakan kejadian yang baru saja
dia lihat, dengan tak percaya Bu Sari bertanya untuk meyakinkannya.
“Kamu
serius, Al?” tanya Bu Sari. Alya tersenyum.
“Ya
yakin lah, Mi, kan Alya lihat sendiri bahkan kami sempat beradu tatap,” Alya
memberikan penegasan untuk meyakinkan ibunya.
“Ya
Allah, maafin Mimi ya sayang,” Bu Sari meraih bahu Alya merangkulnya dan
mencium kepala putrinya. Alya menikmati kehangatan itu hingga ponselnya
berdering.
Dengan
sedikit malas Alya mengambil dari dalam tas melihat nama yang tertera.
“Sita,”
ucapnya sambil menekan tombol hijau.
“Assalamu’alaikum,”
Alya memberi salam.
“Waalaikum
salam. Al, loe dimana sekarang?” jawab Sita dengan balik bertanya.
“Di
rumah, kenapa emang?”
“Dah,
sepuluh menit lagi gue jemput loe, ada yang perlu loe tahu, Al,” jawab Sita
yang membuat Alya semakin tak mengerti,tapi Sita sudah menutup sambungan itu
tanpa memberi kesempatan Alya untuk bertanya.
Melihat
raut muka putrinya yang kecewa Bu Sari penasaran.
“Kenapa,
Kak?” Alya mendesah menjatuhkan tubuhnya ke sandaran sofa, gadis berzodiak
libra ini mengangkat bahu menggeleng.
Belum
sepuluh menit terdengar deruan suara sepeda motor, Alya bangkit melangkah ke
halaman rumah, dilihatnya Sita menoleh ke arahnya. Sita membuka helm dan
berkata
“Wah
kebutulan loe udah rapi, Al, buruan yuk ikut gue,” tanpa turun dari motor Sita
meminta Alya ikut dengannya, Bu Sari yang berada di samping Alya ikutan
penasaran.
“Turun
dulu lah, Ta,” lembut Bu Sari menyuruh Sita turun, Sita tersipu dan turun dari
motor melangkah mendekat.
“Maaf,
Mimi,” gadis bertahi lalat di dagunya ini mencium punggung tangan Bu Sari,
lembut Bu Sari membiarkanya sambil mengusap bahu Sita.
“Ada
apaan sih, Ta?” Alya yang bertanya lebih dulu, Sita menoleh menatap Alya penuh
arti.
“Maaf,
Al, gue enggak bisa cerita sekarang, yang penting loe ikut gue nanti loe akan
tahu sendiri kenyataanya,” ucap Sita serius lalu menoleh ke Bu Sari.
“Atau
Mimi ikut aja deh, biar tuntas semuanya,” ucapan Sita membuat Bu Sari dan Alya
semakin penasaran.
“Ta,
ada apa sebenarnya?” lembut Bu Sari bertanya.
“Maaf,
Mimi, aku enggak bisa nyeritain dulu lebih baik Mimi dan Alya ikut aku ya,”
Sita mencoba meredakan suasana tegang.
“Aku
pesan ojol dulu kita kesana naik mobil aja,” lanjut Sita mengambil ponselnya.
“Ah,
gue nggak mau pergi kalau loe enggak kasih tahu,” sedikit mengancam Alya duduk
di kursi teras rumah.
“Sori
Al, kita mau ke kantor gue, nanti di sana loe akan tahu sendiri,” sontak mata
Alya membesar mendengar ucapan Sita, ya bagaimana Alya tak terkejut Sita adalah
seorang polisi yang bekerja dibagian peredaran narkoba dan obat terlarang, dia
sering mengintrograsi sergapan pasukan kepolisian setelah dibawa ke kantor,
karena Sita adalah salah satu anggota penyelidik.
“Ke
kantor loe?” tanya Alya memelototi sahabat kecilnya, Sita menangguk, Alya
menarik napas panjang terbayang wajah Ridwan yang dilihatnya tadi sewaktu ada
sidak di sekolah, tapi kan Alya belum menceritakan soal Ridwan ke Sita jadi
mana mungkin Sita mengetahui perjodohan ini. Melihat Alya yang terdiam Sita
segera menyadarinya.
“Udah
deh Al, loe siap-siap aja bentar lagi mobilnya datang,” Sita melangkah
mendekati Alya dan menepuk bahu Alya, Alya meliriknya.
“Mimi
ikut yuk,” pinta Sita Bu Sari menangguk.
“Mimi
ganti baju dulu ya,” ucap Bu Sari lalu melangkah masuk.
Sekitar
satu jam Alya dan Bu Sari telah berada di kantor Sita, Sita segera mengajak
mereka ke lantai 3 yang menjadi ruangan kerjanya.
Setiba
di lantai 3 Sita langsung melangkah ke ruangan di pojok kiri, Sita membuka
pintu dan mempersilahkan Alya dan Bu Sari masuk.
Betapa
terkejutnya Alya ketika melihat seseorang pria yang dikenalinya duduk di sofa
merah marun, pria yang ternyata adalah Ridwan segera berdiri melangkah mendekat
setelah mengetahui siapa yang datang, dengan sopan dia menyalami Bu Sari lalu
Alya.
Basa-basi
yang diucapkan Ridwan membuat Sita tertegun memperhatikannya.
“Kalian
sudah saling kenal?” tanya Sita menyelidik, Alya mendesah.
“Dia
anaknya Umi Fitri,” Bu Sari yang menjawab, Sita menangguk-angguk tertawa kecil,
Alya meliriknya tak suka.
“Sori
Al, berarti kamu orangnya yang mau Umi Fitri jodohkan sama anaknya,” tawa canda
Sita semakin membuat Alya merengut.
“Dah,
duduk dulu yuk,” ajak Sita yang telah melangkah lebih dulu dan ketiga orang itu
mengikutinya.
“Ridwan
ini adalah dosen yang merangkap mata-mata kepolisian untuk menentas pengedaran
narkoba di kalangan pendidikan, dan tadi siang dia telah membantu kami
mengadakan sidak di Yasforbi, kamu tahu enggak Al?” Sita menatap Alya mencoba
menerangkan siapa Ridwan, Alya menangguk.
“Aku
tahunya pas mau pulang, Ta,” jawab Alya sedikit berat, terbayang di benaknya
kejadian dimana dia melihat Ridwan bersama tim kepolisian, pada awalnya pikiran
negatif Alya pada Ridwan sempat membuat praduga jelek pada keberadaan Ridwan
tapi kenyataanya di kantor Sita justru Alya baru mengetahui kebenaran itu.
Entah mengapa debaran jantung Alya belum berkondisi sempurna dia masih berpikir
ada kejadian lainya yang akan Sita ungkapkan.
“Trus,
kenapa loe ngajak gue sama Mimi kemari Ta?” tanya Alya penasaran, dia tak sabar
menanti kejutan berikutnya, Sita tertawa menepuk paha Alya yang duduk di
sebelahnya.
“Sabar
Al,” ucap Sita lalu mengambil ponselnya menelpon seseorang, Alya mengedarkan
pandanganya ke seluruh ruangan yang hanya ada tiga orang pria yang sedang fokus
dengan komputernya masing-masing. Hening sejenak semua orang terdiam dalam
pikiranya masing-masing. Sejurus kemudian pintu terketuk dan sedetik kemudian
pintu dibuka dan masuklah seorang polisi berseragam bersama seorang pria yang
tanganya terbrogol. Alya menatap kedatangan mereka dan kembali jantungnya
berdetak lebih kencang melihat siapa pria itu.
“Rafif,”
lirih Alya berucap, ya pria yang tertunduk itu adalah Rafif pacar Alya yang
ingin melamarnya dua bulan lagi.
Anggota
polisi itu memberi hormat pada Sita lalu dia kembali bersikap sempurna diam di
samping Rafif yang berdiri di hadapan mereka.
“Maaf
Al, terpaksa gue kasih tahu ini semua sebelum loe menyesal,” Sita menepuk paha
Alya dan mulai menceritakan siapa Rafif itu.
Rafif
terciduk tim buru sergap ketika melakukan penggerbekan di sebuah hotel
berbintang di tengah kota, ketika itu Rafif dan teman-temanya sedang berpesta
miras dan obat terlarang, dari penyergapan itu ditemukan barang bukti beberapa
minuman keras ilegal serta beberapa pil dan sabu lengkap dengan alat
pemakainya, Rafif di tangkap semalam dan dari hasil tes urine positif Rafif
pemakai narkoba.
Penjelasan
Sita bagaikan halilintar yang menyambar diri Alya, dia menatap Rafif tak
percaya, Rafif yang tertunduk lirih berucap “Maaf Alya”.
Sita
meraih bahu Alya yang duduk di sampingnya lalu merangkul dan memeluk tubuh Alya
yang langsung pucat pasi.
“Ini
kenyataan Al, dan belum terlambat semuanya,” bisik Sita membesarkan hati Alya
yang telah terisak. Ya, bagaimana tidak Alya sakit, Rafif pria yang dikenalnya
sebagai pengusaha funitur itu kini adalah tersangka yang siap dijatuhkan
hukuman oleh negara padahal Rafif yang telah menjalin hubungan dengan Alya
selama 5 tahun ini telah memutuskan untuk secepatnya melamar dan menikahi Alya.
Tapi kini semua itu hancur dan kenyataan pahit membuka awal Alya untuk
memutuskan hubungan dengan Rafif.
Dalam
isakan di pelukan Sita Alya berucap “Makasih ya, Ta.” Sita menepuk punggung
Alya sebagai pertanda penguatan semangat yang diberikannya.