Rumah Misterius
"Aahh,
sial! Kenape dah mogoknye di sini, sih?!" Maki Rai kesal. Motor Yamaha
Aerox kesayangannya tiba-tiba mati. Ia turun, menatap roda dua itu dengan
gerutuan. Motor ini dibelinya dari hasil jerih payahnya sebagai penulis. Raihan
Aditya Karya, itu namanya, seorang penulis cerpen di berbagai majalah remaja.
Meski bukan wartawan, karyanya selalu dinanti. Lima novel solo sudah lahir dari
tangannya. Ia memang bukan penulis terkenal, tapi selalu ada pembaca setia yang
menunggu karya tulisnya.
"Ade
ape sih, sebenernye?" Rai mengutak-atik mesin, merasa sudah merawat
motornya dengan baik. Sambil berusaha memperbaiki, ia mengedarkan pandangan.
Sepi. Hanya ada rumah bercat putih di depannya, sunyi dan seperti mengawasinya.
"Rumah
aneh," pikir Rai. Ia perhatikan setiap detail rumah itu. Jendela-jendela
gelap, cat yang mengelupas di beberapa bagian.
"Ade
yang ganjil..." Rai terus mengamati. Langit gelap bertabur bintang,
diterangi rembulan yang setengah wajahnya. Di sekelilingnya hanya tanah kosong
dan rumput liar. Jalanan lengang, tak ada satu pun kendaraan atau pejalan kaki.
Hanya ia seorang diri.
Masih
terpaku pada rumah itu, Rai bangkit. Tatapannya seolah ditarik oleh bangunan
itu, seakan rumah itu tersenyum—atau mengejeknya. Pekarangan dipenuhi rumput
liar, semak belukar tumbuh di sisi kanan dan kiri, menambah kesan angker.
Baru
selangkah maju, ia tersadar. "Motor!" Gumamnya, kembali berjongkok di
samping Aerox. Saat Rai sibuk berusaha menghidupkan mesin, angin bertiup
kencang, disertai suara petir menggelegar. Tak lama kemudian, gerimis mulai
turun.
"Sialan!
Ujan lagi!" Omel Rai. Gerimis semakin deras, petir seolah membelah langit.
Keraguan mulai menghantuinya.
"Neduh
di mane?" tanyanya pada diri sendiri. Hanya ada rumah putih itu. Ia
terdiam sejenak, menatap rumah itu. Hujan semakin lebat.
"Ah,
sudahlah! Ke sono aje dah," pikirnya. Tapi, bulu kuduknya tiba-tiba
berdiri. Rasa takut merayapi pikirannya.
"Rumah
itu... kayaknye kosong. Atau...?" Rai bimbang. Namun, cuaca buruk dan
tubuhnya yang mulai basah membuatnya memutuskan untuk mendekat.
"Bodo
amat! Daripade basah kuyup." Ia melangkah ke pekarangan yang dipenuhi
rumput liar.
"Semoge
kagak ade ular atau hewan buas." Langkahnya pasti hingga tiba di teras.
Aneh.
Begitu Rai menginjak teras dan memarkirkan motor, hujan berhenti seketika.
Angin pun lenyap. Dari kejauhan, lolongan anjing terdengar panjang dan
menyayat. Bulu kuduk Rai meremang. Ia mengangkat bahu, tangan kanannya
menggosok tengkuknya. Ia menatap sekeliling, ke jalanan yang gelap. Baru pukul
sebelas malam. Ia baru saja pulang dari rumah Dimas, sahabatnya.
"Kenape
perasaan gua jadi begini?" Rai mencoba menenangkan diri. Lolongan anjing
itu terus bergaung. Tiba-tiba, dari arah pintu kedengeran suara bersenandung
lirih. Rai terperanjat. Ia menoleh ke kanan dan kiri mencari sumber suara.
Pintu perlahan terbuka, tanpa ada seorang pun yang terlihat. Rai mundur tiga
langkah.
"Siape
yang bukain pintu itu?" Rasa takutnya semakin mencekik. Keringat dingin
mulai membasahi tubuhnya. Ia menatap pintu yang terbuka, jantungnya berdegup
kencang.
“Hai,
Bang Rai,” suara lembut menyapa. Rai tersentak, mundur selangkah. Matanya
membelalak. Seorang wanita cantik berdiri di ambang pintu. Bibirnya ingin
bertanya, tapi ia tak mampu berkata. Ia hanya membeku.
“Bang
Rai kehujanan? Masuklah, aku buatkan teh hangat,” ajak wanita berambut panjang
yang tergerai hingga pinggang. Rai masih diam, tak mampu berkata apa pun.
Wanita itu menatapnya lembut, senyumnya memberi isyarat agar ia masuk.
Rai
mengikuti wanita itu masuk. Ia duduk di sofa putih yang tampak usang. Wanita
itu duduk di hadapannya, menatapnya seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.
Rai, yang masih belum bisa berkata, hanya bisa membalas tatapannya. Kulit
wanita itu pucat, tapi matanya bersinar aneh.
“Diminum,
Bang,” wanita itu mempersilakan.
Rai
perlahan tersenyum, mengangguk. Ia meraih cangkir putih dan menyesapnya.
Kehangatan teh itu menjalar ke seluruh tubuhnya, menenangkan aliran darahnya.
“Namaku
Cantika, Bang,” Cantika membuka percakapan. Rai melirik, masih menggenggam
cangkir.
“Abang
dari mana? Kenapa jam segini masih di jalan?” Tanya Cantika lagi. Rai
meletakkan cangkir, mengubah posisi duduk, menarik napas.
"Wanita
ini, cantik bener dah," batin Rai. Cantika tersenyum, seolah mengerti
pujian dalam hatinya.
“Oh,
iya, Bang. Abang sudah punya pacar? Atau… sudah menikah?” Tanya Cantika,
matanya berbinar. Rai tersenyum.
"Masih
jomblo," jawab Rai singkat. Cantika tertawa kecil. Tawa itu justru membuat
bulu kuduk Rai meremang. Ia mengangkat bahunya, merasakan keringat dingin mulai
keluar.
“Kenapa,
Bang?” Tanya Cantika lembut. Rai menggeleng, berusaha menyembunyikan
ketakutannya.
“Abang,
kan penulis, ya?” Tanya Cantika, mengalihkan pembicaraan. Rai mengangguk.
“Aku
punya lima novel Abang. Boleh ditandatangani?” Pintanya. Rai mengangguk lagi.
Cantika
berdiri, meninggalkan Rai. Punggungnya tertutup rambut hitam panjang,
pinggulnya bergerak anggun. Rai merasakan darahnya berdesir.
"Wah,
seksi bener dah ini wanita," batinnya. Ia mengusap wajahnya, merasa
bersalah.
"Ape
sih, Rai?" Ia memaki dirinya sendiri. Ia mencoba melihat sekeliling rumah,
tapi tak ada satu pun barang yang terlihat. Semua tampak kosong dan usang. Ia
terkejut saat Cantika sudah kembali duduk di tempat semula, memangku lima buku.
"Bagaimana
bisa secepat itu?" Pikirnya heran.
“Ini,
Bang, bukunya. Tolong ditandatangani ya,” Cantika mengulurkan buku dan sebuah
pulpen. Rai menerima buku itu tanpa berkomentar. Pikirannya kacau, tangannya
gemetar saat memegang pulpen. Telapak tangannya dingin, tapi ia tetap
menandatangani kelima buku novelnya. Di luar, lolongan anjing semakin jelas,
disertai suara burung hantu yang menambah suasana mencekam.
“Terima
kasih ya, Bang,” Cantika menerima buku setelah Rai selesai menandatanganinya.
Senyum kepuasan menghiasi wajahnya. Rai terpaku, tak berkedip menatapnya.
“Dihabiskan,
Bang minumannya,” Cantika menunjuk cangkir. Rai meraih cangkir itu dan meneguk
habis isinya.
“Abang
mau pulang sekarang?” Tanya Cantika. Rai mengangguk. Sorot mata Cantika
menyiratkan persetujuan.
“Abang,
pulanglah. Hujan sudah berhenti,” lanjut Cantika, beranjak berdiri. Gaun putih
yang dikenakannya tampak longgar, tapi tetap menonjolkan kecantikannya. Rai
bergegas berdiri dan menatap Cantika. Cantika membalas tatapannya.
"Astaga!
Aku harus pulang, Cantika!" Rai berbalik badan, bergegas keluar. Tak ada
percakapan lagi. Ia merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Ia menghidupkan
motornya. Mesin menyala dengan mudah. Ia tak mau memikirkannya. Ia hanya ingin
pulang.
Sesampai
di rumah, Rai langsung masuk kamar. Tubuhnya terasa panas, kepalanya berdenyut.
Pagi
harinya, Rai bangun dengan malas. Ia ke meja makan, membuka tudung saji, dan
mulai makan.
"Rai,
belon ganti baju lu?" Seorang wanita berdaster batik mendekat. Rai
menoleh, menggeleng.
"Udeh,
gih! Ganti baju dulu, Rai. Mandi, baru makan," sambung Bu Ida, ibunya. Rai
mengunyah, menjawab, "Laper, Ma'." Bu Ida menggeleng.
"Hari
ini mau ke mane lu?" Tanya Bu Ida, ikut menyendok nasi.
"Enggak
ke mane-mane, Ma'," jawab Rai.
"Kalo
gitu, ntar anterin Mama ke rumah Bu Lilis ye. Mama mau dipijet," pinta Bu
Ida. Rai mengangguk.
Saat
kembali ke rumah di malam hari, Rai dan ibunya melewati daerah tempat Rai
berteduh di rumah Cantika. Rai terkejut. Di sana tidak ada rumah putih. Hanya
tanah kosong dengan semak belukar. Ia menghentikan motor. Bu Ida terkejut.
"Eh,
napen berenti dah, Rai?" Ia menatap anaknya bingung. Rai terpaku,
memandang tanah bersemak. Bu Ida ikut menatap ke depan.
"Ade
ape sih, Rai?" Penasaran, Bu Ida menoleh ke Rai. Menyadari kebingungan
anaknya, Bu Ida menepuk pundaknya agak keras.
"Hei,
Rai! Napen bengong?" Bentak Bu Ida, berusaha menyadarkannya. Rai
tersentak, menoleh dan memelototinya.
"Sakit,
Ma." Bu Ida balas memelototinya.
"Lagi
ngapain bengong begitu?" Tanya Bu Ida, meredakan suaranya.
"Semalem
Rai lewat sini, Ma. Ade rumah putih di sono," Rai menunjuk ke depan.
"Pas
ujan, Rai neduh di sono. Eh…" Rai menjeda ucapannya. Terlintas wajah
Cantika yang tersenyum.
"Ade
ape lagi?" Tanya Bu Ida penasaran.
"Ade
wanita cantik yang minta Rai tanda tanganin novel Rai," lanjut Rai. Bu Ida
menggeleng.
"Aneh
lu, Rai. Di depan itu cuma tanah kosong. Kagak ade rumah, apalagi wanita
cantik," protes Bu Ida. Rai menggeleng.
"Beneran,
Ma. Semalem Rai ngalamin ndiri," sanggah Rai.
"Udeh
ah... Ayo jalan, Ma keburu kebelet," Bu Ida menepuk bahu Rai, kali ini
dengan lembut. Rai tak berkomentar. Ia menghidupkan motornya. Saat ia hendak
menarik gas, lolongan anjing terdengar dari kejauhan. Sosok Cantika muncul di
hadapannya.
"Cantika!"
Seru Rai refleks. Cantika tersenyum.
“Hai,
Bang Rai,” sapa Cantika. Rai menatapnya, ikut tersenyum.
“Terima
kasih ya, tanda tangannya. Dulu, semasa hidup, aku adalah penggemar cerpen
Abang,” lanjut Cantika, tertawa. Tawa itu membuat bulu kuduk Rai merinding.
"Rai,
itu kuntilanak!"
"Cantika!"
Cantika
tertawa makin keras.
Rai pingsan seketika.
Posting Komentar