Hadiah Sebuah Kejujuran

Table of Contents

"Di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang. Di rumah senang, di sekolah senang, bersama teman-teman senang, di mana-mana hatiku senang. La lala la la lalala..." Tiga gadis kecil berjalan riang sambil bernyanyi. Mereka adalah Kayla, Maya, dan Sakila. Mereka baru saja pulang sekolah. Meskipun baru kelas tiga SD, mereka tidak dijemput orang tua karena jarak sekolah tidak terlalu jauh dan rumah mereka berdekatan, sehingga mereka selalu pulang bersama.

 

Langit cerah dengan sinar matahari yang cukup menyengat, namun ketiga gadis kecil itu seakan tidak mempedulikan peluh yang menetes. "Eh, beli es dulu, yuk," ajak Maya yang merasa haus dan melihat tukang es dawet lewat di seberang jalan.

 

"Uangku sudah habis, May," jawab Kayla, menoleh sekilas ke Maya yang berdiri di sebelah kanannya.

"Aku juga, May. Tadi cuma dikasih tiga ribu sama Bunda," timpal Sakila.

Maya mendesah dan menghentikan langkahnya.

"Yah, tapi aku haus banget," keluh Maya, menatap teman-temannya yang juga berhenti berjalan.

"Ya sudah, May, kan rumah kita tinggal sedikit lagi. Nanti kita minum di rumah saja," saran Sakila.

"Benar tuh, May. Sudah, yuk, buruan kita jalan," timpal Kayla, bersiap melangkah kembali.

"Tapi, aku mau beli es dawet itu dulu," ucap Maya, lalu memanggil tukang es dawet.

 

Seorang bapak paruh baya yang mendorong gerobak es segera menghampiri ketiga gadis kecil itu.

"Pak, beli es dawetnya lima ribu boleh, enggak?" tanya Maya ketika sudah berdiri di depan gerobak.

"Boleh dong, beli berapa bungkus?" jawab si penjual.

"Satu saja, Pak, pakai plastik saja," jawab Maya.

Penjual itu dengan cekatan membuat pesanan Maya, dan tak lama kemudian Maya sudah memegang kantong plastik berisi es dawet, lalu ketiga gadis kecil itu kembali melanjutkan langkah.

 

Ketika hendak memasuki gang yang tidak jauh dari rumah mereka, Sakila tiba-tiba melihat sebuah dompet tergeletak di bawah tiang listrik. Gadis berkuncir kuda ini terdiam dan menahan langkah, tatapannya tertuju pada benda yang ditemukannya. Maya dan Kayla, yang bingung dengan tingkah temannya, segera mendekati Sakila yang sudah tertinggal lima langkah.

"Kok berhenti, La? Kenapa?" tanya Maya penasaran.

Tanpa menoleh, Sakila mengangkat telunjuknya dan mengarahkan ke dompet berwarna hitam.

"Itu, May."

Maya dan Kayla segera mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Sakila.

"Dompet!" seru keduanya serempak.

Sakila mengangguk.

 

Tanpa berkomentar, Maya melangkah dan mengambil dompet itu, lalu gadis berambut ikal ini membukanya.

"Wuih, uangnya banyak banget!" ucap Maya terbelalak, melihat tumpukan uang seratus ribu di dalam dompet.

Sakila dan Kayla, tak mau ketinggalan, segera mendekat.

"Lihat, guys, uangnya banyak, nih!" Maya memamerkan uang itu tanpa mengeluarkannya.

Sakila dan Kayla ikut terbelalak melihat tumpukan uang itu.

"Banyak amat," ujar Kayla.

"Lumayan nih kalau kita jajanin, jadi sultan kita," ucap Maya sambil menepuk-nepuk dompet itu.

"Sembarangan kamu, May," omel Sakila, memelototi Maya.

Maya balas memelototinya.

"Itu kan bukan uang kita," kata Sakila lagi.

Maya mencibir.

"Lah, kan kita yang nemuin," bantah Maya.

 

"Iya, sih, tapi kita lihat dulu, siapa tahu ada alamat atau pengenal lainnya. Kan bisa kita kembalikan dompet itu," Sakila memberikan pendapat.

"Benar juga tuh, La. Bagaimana kalau kita jadi si pemilik dompet? Pasti sedih kalau dompetnya hilang," timpal Kayla.

Tanpa berkomentar, Maya memeriksa isi dompet, dengan cekatan mencari identitas si pemilik.

"Nih, ada kartu namanya!" Maya mengeluarkan selembar kartu nama.

"Wahyun Norbat, alamatnya Jalan Merah Delima Nomor 26..." Maya membaca tulisan yang tertera.

"Lah, itu kan perumahan di dekat sekolah!" sahut Kayla.

"Iya, benar," sambung Sakila.

"Terus gimana, nih?" Maya meminta pendapat kedua temannya.

"Ya, kita anterin lah, May," sahut Kayla.

"Tapi aku lapar," keluh Maya.

Ketiganya terdiam sejenak.

"Nah, begini saja," Sakila menjentikkan jari, membuat kedua temannya kaget.

"Kita pulang saja ke rumah masing-masing, ganti baju, makan, salat, terus minta izin sama Bunda untuk mengantarkan dompet itu," jelas Sakila mengutarakan idenya.

"Setuju!" sahut Kayla.

"Terus, siapa yang pegang dompet ini?" Mata Maya tertuju pada dompet yang dipegangnya.

"Kamu saja, May," saran Kayla, dan Sakila menyetujuinya.

Akhirnya, ketiga gadis kecil itu kembali melangkah ke rumah masing-masing.

 

Sekitar satu jam kemudian, ketiganya terlihat berjalan menuju arah sekolah, dengan niat mengembalikan dompet itu.

"Uangnya banyak, ya, nih orang," ucap Maya membuka obrolan sambil berjalan.

"Iya, kan di kompleks itu rumahnya saja besar-besar. Pasti mereka orang kaya," sahut Kayla.

"Kalau kita ambil selembar saja, pasti enggak ketahuan, kan lembaran uangnya banyak," Maya mengungkapkan pikirannya.

Sontak, Sakila menghentikan langkah, menoleh dan memelototi Maya.

Maya yang merasa jengah, balik memelototinya.

"Jahat kamu, May," ketus Sakila.

Maya tidak terima.

"Siapa yang jahat?" balas Maya lebih ketus.

Muka keduanya terlihat marah. Kayla yang memperhatikan teman-temannya segera berusaha melerai dengan menggandeng lengan keduanya.

"Kamu mau mencuri, May?" ucap Sakila tegas.

"Siapa yang mau mencuri?" Maya menjawab mencibir.

"Itu tadi, kamu bilang mau ambil selembar uangnya!" Sakila mempertegas pendapatnya.

Maya tersenyum dan tertawa kecil.

"Sakila, Sakila... kan aku cuma ngomong saja, belum ngelakuin," bela Maya.

"Sudah, sudah, sudah, kalian jangan berantem, apa," Kayla mencoba meredakan situasi.

"Siapa yang berantem? Tuh, Sakila masa nuduh aku mencuri!" Maya menjawab.

Sakila masih menatap Maya.

"Tuh, lihat saja dia masih memelototi aku," balas Maya sambil balik memelototinya.

"Sudahlah, La, kamu baper banget, deh. Kan tadi Maya cuma ngomong doang," Kayla menepuk bahu Sakila, memberikan ketenangan.

"Makanya, May, kalau ngomong jangan sembarangan," Sakila menoleh ke arah lain, membuang pandangannya.

"Lah, kan cuma ngomong saja, emangnya kenapa?" sahut Maya tak terima.

"Kan kata Umi Yahya, omongan itu doa. Kayaknya nanti kamu bisa saja ngambil selembar uang itu, atau..." Sakila menjeda ucapannya.

"Atau apa?" Maya lebih memperlebar bola matanya.

Sakila mendesah dan melambaikan tangan.

"Ah, sudahlah."

"Kamu nuduh aku mencuri, ya, La?" Maya tak terima, menarik tangan Sakila, tapi Kayla dengan cekatan meraih tangan Maya dan menepuk-nepuknya.

"Sudah, May, yuk kita buruan balikin dompet itu."

Tanpa berkomentar apa pun, Maya melangkah lebih dulu, diikuti Sakila dan Kayla.

 

Lima menit berjalan kaki, akhirnya ketiga gadis kecil itu sampai di rumah nomor 26. Pagar besi bercat putih setinggi dua meter itu tertutup rapat.

"Mana belnya, ya?" Maya mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan bel rumah.

Sementara itu, Sakila berseru memanggil si pemilik rumah.

"Permisi! Permisi! Permisi!"

"May, ini belnya!" Kayla menemukan sebuah tombol di balik pagar, lalu gadis berkacamata itu menekannya.

Sakila dan Maya diam menanti.

 

Tak berapa lama, terdengar suara seseorang dari atas balkon teras.

"Cari siapa, anak-anak?" tanya seorang wanita.

Ketiga gadis kecil itu mendongakkan kepala ke atas. Bahkan, Maya sempat mundur ke tepi jalan untuk melihat siapa yang ada di teras atas.

"Kami mencari Bapak Wahyun Norbat, Bu," seru Maya dengan suara dikeraskan.

"Ada apa?" tanya wanita berkaus yang berdiri di teras atas.

"Maaf, Bu, bisa enggak Ibu turun dulu, biar kami ceritakan," jawab Maya, meminta agar bisa bertemu di bawah supaya tidak berteriak-teriak.

Wanita itu membalikkan badan dan melangkah masuk.

 

Tak berapa lama, terdengar suara seseorang membuka kunci pintu, lalu muncul wanita tadi melangkah ke gerbang rumah.

"Kalian siapa dan ada keperluan apa?" tanya wanita itu sambil membuka gembok pagar.

Belum sempat terjawab pertanyaan itu, tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di depan pagar rumah.

Seorang laki-laki berkulit sedikit gelap membuka helmnya.

"Cari siapa kalian?" tanyanya sopan, menatap satu per satu gadis kecil itu.

"Mencari Bapak Wahyun Norbat," Sakila yang menjawab.

"Saya Pak Wahyun," laki-laki itu turun dari motor.

"Enggak mau dimasukin, Pak, motornya?" tanya wanita itu.

"Oh, ya, saya masukin motor dulu, ya," kembali Pak Wahyun naik ke motor, menghidupkannya, dan membawa ke halaman rumah.

"Suruh mereka masuk, Bi," perintah Pak Wahyun pada asisten rumah tangganya.

"Yuk, masuk," bibi itu menyuruh ketiga tamunya masuk.

Maya melangkah lebih dulu, diikuti Sakila dan Kayla.

 

"Gimana, Pak, ketemu enggak dompetnya?" tanya bibi lebih dulu.

"Enggak, Bi. Ke mana, ya, dompet itu?" jawab Pak Wahyun putus asa.

"Semoga ada orang baik yang menemukannya, ya, Pak," jawab bibi yang menjadi asisten rumah tangga di keluarga Pak Wahyun.

"Amin. Eh, iya, kalian siapa dan mau apa ketemu saya?" ucap Pak Wahyun yang telah berdiri berhadapan dengan ketiga tamunya.

"Aku Maya, ini Sakila, dan yang itu Kayla," Maya memperkenalkan diri sambil menunjuk satu per satu temannya.

"Kami menemukan ini," lanjut Maya, memperlihatkan dompet berwarna hitam dengan stiker Chelsea.

Sontak, mata Pak Wahyun terbelalak melihat dompet itu. Begitu juga bibi asisten rumah tangga.

"Itu dompet saya!" ucap Pak Wahyun, bolak-balik menatap dompet dan ketiga gadis kecil di depannya.

"Makanya, kami kemari mau mengembalikan dompet ini, Pak," sambung Maya, menyerahkan dompet itu.

Pak Wahyun menerimanya, terlihat rona bahagia di wajah laki-laki berhidung mancung ini.

"Di mana kalian menemukan dompet saya?" tanya Pak Wahyun.

"Dekat tiang listrik, pas di depan gang rumah kami, Pak," Sakila yang menjawab.

"Diperiksa dulu, Pak," pinta Maya.

Pak Wahyun dengan cekatan memeriksa seluruh isi dompet, termasuk jumlah uang di dalamnya. Dia tersenyum bangga dan menutup dompet itu.

"Terima kasih, anak-anak. Kalian hebat!" puji Pak Wahyun sambil menepuk pundak Maya. Maya tersipu malu.

"Ya sudah, Pak, kami pulang dulu, ya," ucap Sakila.

Pak Wahyun menoleh padanya dan mengangguk.

Lalu, Sakila bersiap melangkah, begitu juga Kayla dan Maya.

"Eh, sebentar, cantik," tegur Pak Wahyun, membuka dompet dan mengambil beberapa lembar uang.

"Ini buat kamu," Pak Wahyun menyodorkan dua lembar uang pada Sakila.

Sakila tertegun menatap tangan Pak Wahyun yang masih memegang uang, lalu gadis berkuncir ini menatap Pak Wahyun.

Pak Wahyun tersenyum dan mengangguk.

"Ambil," ucapnya lembut.

Dengan sedikit ragu, Sakila menerima uang itu.

Lalu, Pak Wahyun menyodorkan kembali dua lembar uang pada Maya.

"Ini untuk kamu."

Maya tersenyum, mengangguk, dan mengambil uang itu.

"Terima kasih, Pak," Pak Wahyun balik tersenyum.

"Kembali kasih. Dan ini untuk kamu," jawab Pak Wahyun kembali menyodorkan dua lembar uang pada Kayla.

"Terima kasih, Pak," ucap Kayla menerimanya, dan secara serempak ketiganya berucap, "Terima kasih, Pak."

"Sama-sama, anak hebat," balas Pak Wahyun sambil mengacungkan kedua ibu jarinya.


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar