Hiruk pikuk lobi terminal bus antarkota dan antarprovinsi
terasa sangat riuh. Para penjaja transportasi sibuk berteriak menyebutkan
tujuan bus mereka, sementara pedagang asongan tak mau kalah, hilir mudik
menawarkan aneka barang dagangan, mulai dari minuman, camilan, dan berbagai
barang lainnya. Calon penumpang yang menggeret koper atau menjinjing tas bawaan
mereka juga menjadi bagian dari pemandangan pagi itu di Terminal Bus Kampung
Rambutan, Jakarta Timur.
Kursi lobi sudah
penuh terisi calon penumpang yang sedang menanti bus tujuan mereka atau
menunggu sanak saudara yang menjemput. Di salah satu sudut kursi, tampak
seorang wanita berhijab kuning muda duduk gelisah, dengan sudut mata yang
tergenang air mata. Nadia, wanita dengan tahi lalat di dagunya. Di samping
Nadia, ada sebuah koper berukuran sedang berwarna biru tua. Nadia ingin pergi
ke rumah tantenya di Payakumbuh, Sumatra Barat, untuk menenangkan hatinya yang
baru saja tersakiti oleh sebuah kenyataan pahit. Arman, kekasih yang selama 12
tahun mengisi hatinya, ternyata lebih memilih Dian, sahabat Nadia sendiri.
Nadia merasa bagai
ditikam dari dua arah. Dian, sahabat yang dikenalnya sejak SMP, ternyata
mengkhianatinya. Arman, si pecundang itu, telah meracuni jalinan cinta yang
selama ini dia impikan. Sesekali Nadia mengusap pipinya, menggeleng, mendesah,
dan melirik jam tangannya.
"Ah, masih satu
setengah jam lagi," gerutunya tak sabar. Untuk mengisi waktu, ia mengambil
ponsel dan mulai berselancar di dunia maya. Meski tangannya menggeser layar
sentuh ponselnya, hati Nadia yang masih terluka tak bisa fokus. Berulang kali
ia mengangkat kepala, menengok ke kanan kiri seolah mencari sesuatu, lalu
kembali tertunduk memainkan ponselnya.
Sekitar sepuluh
menit kemudian, tiba-tiba seorang pria yang duduk di sebelah kanannya menoleh
dan menatap Nadia.
"Nadia,"
ucap seorang pria berjaket hitam. Refleks, Nadia menoleh dan terkejut.
"Bagas?"
Bagas mengangguk sambil tersenyum.
"Apa kabar,
Di?" Bagas mengulurkan tangan. Nadia menyambutnya, berusaha tersenyum.
"Alhamdulillah baik,"
jawabnya singkat, sambil menatap penuh selidik ke arah Bagas, teman SMA-nya
dulu.
"Kamu mau ke
mana, Di?" Bagas kembali bertanya. Nadia mendesah dan mengubah posisi
duduknya.
"Aku mau ke
Padang," jawab Nadia. Bagas tercengang.
"Ke Padang? Ke
rumah siapa?" tanyanya. Nadia menjawab sambil tersenyum, "Aku mau ke
rumah tanteku di Payakumbuh."
"Oh, kamu naik
apa? Eh, maksudku, naik bus apa?" tanya Bagas.
"Palala yang
jam setengah sepuluh." Mendengar jawaban Nadia, Bagas tersenyum.
"Wah, tadinya
aku mau naik bus itu, tapi keburu kehabisan tiket," sesal Bagas. Mendengar
ucapan Bagas, Nadia terkejut.
"Kamu mau ke
Padang juga?"
Bagas mengangguk.
"Aku mau riset di kantor cabang di Bukittinggi," jelasnya sambil
mengedarkan pandangan. "Sayang, kita enggak jodoh. Aku jadi naik bus
lain," sambung Bagas, kembali menatap Nadia.
"Emang kamu
kerja di mana, Gas?" tanya Nadia.
"Ah, masih jadi
kontraktor, Di. Makanya masih keliling ke sana kemari. Eh, malah keasyikan
kerja sampai sekarang aku masih jomblo, deh," kata Bagas sambil tertawa
kecil. Nadia ikut tersenyum.
"Kamu sudah
menikah, Di?" tanya Bagas. Nadia menggeleng tegas.
"Lah, Arman
memang belum juga kasih kepastian sama kamu?" Nadia mendesah, membuang
pandangan ke arah lain, lalu menjawab, "Sudah. Dia seminggu kemarin sudah
menikah dengan Dian."
"Ah, Dian? Dian
Arsita, teman sahabat kamu itu, Di?" Bagas bertanya dengan nada terkejut.
Nadia mengangguk. "Kok bisa, Di?" tanya Bagas penasaran. Nadia
menoleh, tersenyum sinis.
"Apa sih, Gas?
Tidak ada yang tidak mungkin terjadi kalau Allah berkehendak," jawab
Nadia. Bagas menatap Nadia penuh arti. Dalam hati, Bagas memang masih menyimpan
cinta untuk Nadia. Dulu, sewaktu sekolah, Bagas tak berani menyatakan cinta
pada Nadia. Justru Arman-lah yang menyatakan perasaannya, dan Nadia menerimanya
karena Nadia juga menyukai Arman.
Entah mengapa,
sesaat suasana menjadi hening. Mereka terdiam dengan pikiran masing-masing.
Ketika ingin memulai percakapan lagi, entah mengapa, refleks keduanya kompak
berkata, "Di, kamu..." "Gas, kamu..." Mereka berdua tertawa
karena tak menyangka akan berkata bersamaan. Sambil tersenyum, Bagas
mempersilakan Nadia untuk berbicara lebih dulu. "Kamu saja, Di,
duluan," kata Bagas. Nadia menggeleng. "Enggak ah, kamu saja,"
tolak Nadia. Bagas menarik napas, lalu tersenyum.
"Kamu sekarang
kerja di mana, Di?"
"Aku buka
warung soto Betawi, Gas," jawab Nadia.
"Wah, kalau
gitu, ibu pengusaha, dong," goda Bagas. Nadia tersenyum kecil.
"Berapa
cabangnya, Di? Dan di mana saja tuh?" tanya Bagas lagi.
"Yang pertama
kali buka di Mampang, dekat rumahku yang lama, Gas. Terus aku buka lagi di
Ciganjur, karena aku pindah ke sana," jawab Nadia.
Obrolan lain pun
menemani kebersamaan mereka hingga Nadia melirik jam tangannya. "Tinggal
lima belas menit lagi, Gas. Aku jalan dulu, ya," pamit Nadia sambil
merapikan diri.
"Tunggu, Di!
Tadi kamu mau ngomong apa?" Bagas meraih lengan Nadia dan menggenggamnya.
Refleks, Nadia menoleh, menatap wajah Bagas yang tersenyum, lalu melirik ke
genggaman tangan Bagas. Menyadari tatapan Nadia, Bagas tersenyum tanpa
melepaskan tangannya.
"Sorry,
Di," kata Bagas dengan tawa kecil.
"Kamu mau tanya
apa?" Nadia tersenyum dan menarik tangannya.
"Enggak ah."
"Jangan gitu,
Di, jangan bikin aku penasaran," desak Bagas. Nadia kembali tersenyum.
"Apa kamu sudah
menikah, Gas?" tanya Nadia, yang membuat Bagas tertawa.
"Ih, malah
ketawa," sewot Nadia menimpali.
"Sorry, Di, aku
masih jomlo. Aku masih mencintaimu, Di, sama seperti waktu kita SMA dulu, dan
aku belum menemukan pengganti wanita lainnya." Jawaban Bagas sontak
membuat Nadia tercengang. Bagas mengangguk.
"Serius, Di,
aku mencintaimu, tapi aku enggak pernah punya kesempatan untuk
menyatakannya," tegas Bagas serius. Nadia masih menatapnya. "Maaf,
terpaksa aku menceritakannya sekarang, di waktu dan kesempatan yang amat sangat
tidak romantis. Tapi daripada aku keduluan dengan orang lain lagi," lanjut
Bagas sambil kembali meraih lengan Nadia. "Sekali lagi maafin aku, Di, aku
tetap masih mencintaimu," ucap Bagas lembut. Nadia tertunduk.
Sesaat kemudian,
Nadia, dengan jantung berdebar tak mengira dengan ucapan Bagas, menyadari bahwa
dia harus segera pergi. Ia mengubah posisi duduknya, bersiap berdiri.
"Aku jalan
dulu, ya, Gas," pamitnya. Bagas mengangguk.
Ketika Nadia ingin
menyeret kopernya, Bagas menghentikannya.
"Oh, iya, Di,
berapa nomor ponsel kamu?" tanya Bagas. Nadia segera menyebutkannya, dan
Bagas menyimpannya di daftar kontak ponselnya. "Nanti setelah di Padang,
aku kabarin kamu lagi, ya, Di," kata Bagas sambil berdiri dan menjajari langkah
Nadia menuju bus yang akan membawanya ke ranah Minang.
Selama perjalanan,
hati Nadia tak karuan. Nadia tahu sejak dulu bahwa Bagas memang menyukainya,
tapi Arman-lah pilihannya. Dan dia tak menyangka bahwa Bagas masih tetap
menyukainya, bahkan telah mengutarakan cintanya.
"Ah, kenapa
gini sih?" gerutunya sambil membuang pandangan ke arah jalan. "Apa
iya, aku akan memulai lembaran baru sama Bagas?" Terus-menerus Nadia
berkeluh dengan apa yang baru saja terjadi. Dia berusaha mengalihkan pikirannya
dengan berbagai cara, seperti bermain ponsel, mengemil, atau membaca buku.
Tetap saja, siluet kebersamaannya dengan Bagas melintas di pelupuk matanya, dan
ucapan Bagas masih terngiang di telinganya, hingga akhirnya Nadia memutuskan
untuk tidur.
Posting Komentar