Puasa itu melatih kejujuran

Table of Contents

“Ra, kamu puasa enggak sih?” tanya Lila yang melihat Rara masih lincah bermain dampu bulan. Rara yang sedang melompat menjeda gerakannya, menoleh sesaat ke Lila sambil tersenyum.

“Ya, puasa, lah!” Lalu kembali dia meneruskan permainannya.

“Iya ya, Rara kok enggak ada capeknya sih?” timpal Mega yang duduk di samping Lila. Lila mengangguk.

“Emang kalau puasa harus lemes gitu ya?” Rara terus asyik melompat lalu melempar bentengnya.

“Yes, aku jalan lagi ya!” sorak Rara melihat benteng yang dilemparnya tepat di kotak yang dituju.

“Dah, Ra, kamu main terus aja, aku lemes nih, mana baru jam segini lagi,” ucap Lila menyandarkan tubuhnya di tiang rumah.

“Iya, Ra, aku juga bubaran, ah,” Mega ikut-ikutan bersandar.

“Ah, payah kalian, giliran kalah aja bubaran! Kalau menang, maksain aku main terus,” omel Rara masih melompat melewati kotak-kotak permainan.

“Ya kan, namanya juga lagi puasa, Ra,” Lila mencoba membela diri.

“Emang tadi kalian enggak pada sahur apa?” protes Rara yang akhirnya menyudahi permainannya dan duduk di samping Mega.

“Sahur, lah! Tapi kayaknya tubuh aku udah kekurangan makan deh, kan setiap hari puasa terus, udah 20 hari lagi,” gerutu Lila. Mega dan Rara menoleh menatapnya.

“Hai, hei! Orang puasa itu enggak akan kekurangan gizi, lagi! Emang kaya orang susah aja kamu, La,” Rara mengomel.

“Kan kamu sahur sama buka tetap makan, kan? Nah, di waktu itu kan tubuh kita dapetin tuh makanan, jadi enggak bakal kekurangan gizi,” jelas Rara. Lila hanya memejamkan mata.

“Emang tadi kamu sahurnya pakai apa sih, La?” tanya Rara.

“Sayur sop sama ayam goreng, terus minum susu dan makan semangka,” jawab Lila malas.

“Masya Allah, itu mah banyak, La! Tadi aja aku cuma makan pakai telur dadar sama sayur bayam aja, udah itu doang, cuma minum air putih,” Rara melirik ke Mega.

“Ah, aku makan sayur lodeh sama sambal tongkol doang.”

“Ah, ya udah deh, kita rebahan dulu, yuk,” Lila menjatuhkan dirinya berbaring di teras rumah. Beruntung teras itu bersih dan nyaman untuk rebahan, hingga ketiga gadis kecil yang masih duduk di kelas 5 itu tergeletak di teras rumah Lila.

Azan dzuhur berkumandang, Mega bangun terlebih dulu.

“Guys, bangun! Kita ke masjid, yuk!” ajaknya membangunkan kedua sahabatnya. Lila mengeliat.

“Emang udah magrib ya, Ga?” tanya Lila yang menguap.

“Heh, tutup tuh mulutnya kalau nguap!” omel Mega, dan Rara pun terbangun.

“Ih, berisik amat sih!”

“Dah, yuk kita ke masjid, kan adem di sana, ada AC-nya,” Mega berdiri diikuti Rara dan Lila. Ketiga gadis kecil yang masih duduk di kelas 5 sekolah dasar ini melangkah menuju masjid.

Di tempat wudu, Mega berkomentar, “Ra, lihat tuh, kok Lila berkumur-kumurnya lebih dari tiga kali ya?” Mega yang sedang mengamati Lila yang terlebih dulu berwudu, berkomentar.

“Eh, La, airnya jangan kamu minum!” tegur Rara membuat Lila tersedak. Sambil terbatuk, Lila mengomel.

“Ah, kamu, Ra, aku keselek nih!”

“Oh, berarti beneran ya, airnya kamu minum?” Rara menimpali.

“Siapa yang minum? Kan aku lagi puasa!” Lila tak terima dengan tuduhan Rara, memelototinya.

“Lah, kenapa sampai kamu keselek segala?” tuding Rara memberi bukti. Mega melerai kedua temannya.

“Udah, udah, enggak usah pada ngotot gitu, deh!” Lila kembali menyalakan kran air dan mulai mencuci tangannya.

“Rara duluan tuh yang menuduh aku minum air wudu!” Rara tak terima, dia menatap menyelediki gerakan Lila yang mulai berkumur.

“Kalau kamu enggak minum, kenapa tersedak tadi?” Mendengar ucapan Rara, kembali Lila tersedak. Dia batuk-batuk kecil dan memercikan air ke Rara.

“Ih, kok kamu nyiram aku sih, La!” Rara tak terima, berbalik memercikan air ke Lila, tapi tangan Mega lebih dulu sigap menahan gerakan Rara.

“Udah, Ra, jangan diterusin, kan puasa itu melatih sabar kita,” Mega berusaha menenangkan Rara yang terlihat memerah mukanya.

“Dan kamu, La, jujur aja deh, jangan mencuri kesempatan! Emang sih, semua orang bisa kamu bohongin, tapi Allah kan Maha Melihat, jadi percuma kamu bohong, kan puasa itu juga melatih kejujuran kita,” lanjut Mega menarik Rara keluar menghindari pertikaian lebih lanjut kedua sahabatnya.

“Dah, Ra, kita keluar aja dulu, kamu tenangin hati aja,” ajak Mega. Rara diam mengikutinya.

“Aku mau pulang aja deh, Ga,” akhirnya Rara memutuskan pulang ke rumah. Mega membiarkan, lalu Mega kembali ke tempat wudu.

Lila yang masih berada di tempat wudu memperhatikan Mega yang khusyuk berwudu.

“Ga, berarti puasa aku batal ya?” ucap Lila setelah melihat Mega selesai berwudu. Mega menoleh menatap Lila yang berdiri di sampingnya.

“Emang beneran kamu tadi minum airnya, La?” tanya Mega. Lila mengangguk.

“Kenapa kamu lakukan itu, La?” kembali Mega bertanya.

“Abis aku haus banget, Ga,” jelas Lila. Mega menggeleng.

“Kamu pulang aja sana, tanya sama Bunda kamu,” saran Mega lalu melangkah keluar. Lila tertegun diam, dalam hatinya dia menyesali tindakannya yang meminum air ketika berwudu.

 


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar