Pergi tuk kembali

Table of Contents

Senja merayap masuk ke kantin Sehat, mewarnai dinding krem dengan semburat oranye. Aroma kopi dan gorengan berpadu, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan kecemasan yang mencengkeram hati Arif. Di hadapannya, Weni, gadis yang dikenalnya sejak bangku SMP, menunduk dalam diam. Detik-detik terasa begitu lambat, seolah waktu ikut menertawakan ketidakberdayaannya. Gadis itu hanya tertunduk, membungkam semua harapan Arif.

 

"Jadi... gimana?" Arif bertanya akhirnya, berusaha terdengar santai meski jantungnya berdebar kencang.

 

"Kamu setuju, kan?"

 

"Dua tahun, Wen. Memang lama, tapi ini demi masa depan kita," Arif menggenggam tangannya, mencoba menyalurkan keyakinan.

 

"Aku janji akan kembali."

 

Weni tidak menjawab. Ia menatap cangkir kopi di hadapannya, seolah mencari jawaban di sana.

 

"Kamu tahu Papa seperti apa, Rif. Dua tahun itu waktu yang sangat panjang," kata Weni akhirnya.

 

Arif menghela napas. Ia tahu betul watak keras kepala ayah Weni.

 

"Aku akan bicara padanya," kata Arif.

 

"Aku akan menjelaskan semuanya."

 

"Percuma," Weni menggeleng pelan.

 

"Kalau kamu pergi... dan aku belum terikat apa-apa..." Weni menggantung kalimatnya, membuang pandang ke jendela. Pemandangan di luar sana tampak lebih menarik daripada kenyataan di hadapannya.

 

Arif terdiam. Dilema menghimpitnya. Di satu sisi, ia mencintai Weni dan tak ingin kehilangannya. Di sisi lain, kontrak perusahaan adalah jaminan kariernya. Mungkinkah ada jalan tengah?

 

"Pasti apa, Wen?" Arif bertanya lembut, berusaha memecah keheningan.

 

Weni menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

 

"Papa akan menjodohkan aku dengan Toni, anak Pak Herman. Kamu tahu sendiri, mereka sudah lama berteman," jelas Weni.

 

Arif tersentak. Perjodohan? Ini lebih buruk dari yang ia bayangkan.

 

"Tapi, Wen, aku tidak bisa menikahimu sekarang," kata Arif.

 

"Kontrak itu..."

 

"Terus, bagaimana dengan kita, Rif?" tanya Weni, matanya berkaca-kaca.

 

"Apa kita harus menyerah begitu saja?"

 

Arif menggeleng. Ia tidak tahu. Kebingungan melumpuhkan dirinya. Ia tidak ingin kehilangan Weni, tetapi ia juga tidak bisa melanggar kontrak.

 

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Hanya suara denting sendok dan obrolan ringan dari pengunjung lain yang terdengar. Tiba-tiba, ponsel Arif berdering, memecah kesunyian.

 

Dengan enggan, Arif mengangkat telepon.

 

"Hai, Bro. Loe lagi di mana?" suara bariton Dzaka terdengar dari seberang sana.

 

"Gue lagi di kantin Sehat, dekat tempat Weni kerja," jawab Arif malas.

 

"Oke, kita ke sana sekarang. Gue sama Fadil nyusul," kata Dzaka.

 

Arif menutup telepon dan meletakkannya di atas meja.

 

"Siapa?" tanya Weni singkat.

 

"Dzaka dan Fadil. Mereka mau ke sini," jawab Arif.

 

"Aku pergi saja," kata Weni, bangkit dari duduknya.

 

"Kalian pasti mau ngobrol soal keberangkatan kamu."

 

Arif meraih tangannya. "Wen, tunggu."

 

Weni menoleh, menatap Arif dengan tatapan penuh tanya.

 

"Aku sungguh mencintaimu," kata Arif tulus.

 

"Aku tidak ingin kehilanganmu."

 

Weni tersenyum getir.

 

"Aku juga mencintaimu, Rif. Tapi... entahlah," kata Weni.

 

Ia melepaskan tangannya dan berjalan menuju pintu keluar.

 

Arif membiarkannya pergi. Ia merasa seperti orang bodoh yang tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan cintanya.

 

Selagi Weni telah berdiri dan hendak melangkah dari ambang pintu, muncul dua pria, dan salah satu dari mereka melambaikan tangannya pada Arif dan Weni.

 

"Tuh, mereka datang," ucap Weni menahan langkah.

 

"Hai, Wen, mau ke mana?" sapa Fadil lebih dulu.

 

Weni tersenyum.

 

"Orang kita samperin, eh kenapa loe pergi, Wen?" Dzaka yang menimpali.

 

Weni tertawa kecil dan tampaklah lesung pipinya.

 

"Dah, kalian ngerumpi aja, aku balik duluan ya," kata Weni.

 

Ia menepuk bahu Arif yang telah berdiri di sampingnya, lalu gadis berambut lurus melebihi pundaknya segera melangkah sambil melambaikan tangan pada Dzaka dan Fadil.

 

"Jadi, loe udah pasti jadi ke Amerika nih, Rif?" tanya Dzaka setelah ketiga sahabat ini duduk bareng di tempat di mana Arif dan Weni tadi telah menghabiskan waktu berdua.

 

"Iya, dan rencananya Rabu depan gue jalan," jawab Arif.

 

"Nah, kalau gitu besok malam kita kudu mengadakan pesta perpisahan nih," Fadil mengajukan ide, membuat kedua temannya memelototinya.

 

"Tenang, Bro, kan loe, Rif, mau ke Amerika, terus Dzaka bulan depan mau menikah alias merid, nah enggak salah dong kalau kita mengadakan pesta bujangan," Fadil tertawa.

 

Arif merengut, sedangkan Dzaka ikutan tertawa.

 

"Bener tuh, besok kita ngumpul di cafe Kaporia ya," kata Dzaka.

 

Ia memberikan tempat seperti biasanya mereka ngumpul.

 

"Dan satu lagi, kita masing-masing harus beli dua kado ya, tanda persahabatan kita. Kadonya minimal dua ratus ribu dan maksimal tiga ratus ribu, terus barcode harganya enggak boleh dibuang," perintah Fadil yang dipelototi kedua temannya.

 

Fadil menyambut dengan tawa riang, tapi Dzaka dan Arif pun mengangguk lalu tertawa bersama.

 

Tepat di waktu yang telah ditentukan, ketiga sahabat ini telah berkumpul. Tampak sukacita terpancar dari raut muka mereka, tawa riang sesekali terdengar di antara candaan mereka. Keasyikan itu buyar ketika Dzaka melihat Weni melangkah masuk bersama seorang pria berwajah tampan.

 

"Rif, lihat tuh," kata Dzaka, memberikan kode petunjuk pada sudut matanya.

 

"Weni," lirih singkat Arif mengucap.

 

"Sama siapa dia?" timpal Fadil, menatap lurus ke Weni yang tersenyum melangkah ke arah mereka.

 

"Hai, ternyata benar ya kalian lagi ada di sini," sapa Weni, melangkah mendekati Arif yang langsung berdiri ketika Weni mendekat.

 

"Hai, Wen," sapa Arif sedikit canggung.

 

"Oh iya, Rif, ini Toni, yang kemarin aku ceritakan," kata Weni.

 

Ia mulai memperkenalkan Toni pada Arif, Dzaka, serta Fadil.

 

"Ada yang ingin kami sampaikan, Rif," ucap Weni yang langsung duduk di bangku di dekatnya.

 

Semua orang pun ikut duduk di tempatnya masing-masing. Suasana sedikit senyap, dalam benak masing-masing mereka berpikir apa sebenarnya maksud Weni.

 

"Rif, kan lusa kamu mau berangkat dan kemarin aku sudah menceritakan semuanya ke Toni, dan ternyata..." Weni menjeda ucapannya, menoleh menatap ke Toni. Lirikan matanya memberi isyarat agar Toni sendiri yang harus mengatakannya.

 

"Saya tidak akan menikah dengan Weni," Toni berkata tegas, membuat semua mata tertuju padanya.

 

"Saya... saya tidak bisa. Hati saya sudah dimiliki orang lain. Saya minta maaf."

 

Weni menatap Toni, lalu beralih ke Arif. Matanya berbinar.

 

"Papa sudah tahu," kata Weni, suaranya bergetar.

 

"Dia bilang... dia akan memberikan aku kesempatan. Aku boleh menunggu kamu, Rif."

 

Arif terpaku. Kelegaan yang luar biasa membanjiri dirinya. Ia meraih tangan Weni, menggenggamnya erat.

 

"Wen... aku tidak tahu harus berkata apa," ucap Arif.

 

"Katakan saja kamu akan kembali," bisik Weni, air mata bahagia mulai menetes di pipinya.

 

Arif menarik Weni ke dalam pelukannya.

 

"Aku janji. Aku akan kembali secepatnya. Dan kali ini, aku tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi kita," bisik Arif.

 

Weni membalas pelukannya erat.

 

"Aku akan menunggumu, Rif. Selamanya," bisik Weni.


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar