Apes kok tiga kali

Table of Contents

"Ehm, nikmatnya kopi ini," ucap Rio, menyeruput secangkir kopi panas. Ia mengecap bibirnya berulang kali, berusaha menangkap setiap nuansa rasa kopi yang membelai lidahnya. Di atas meja, tiga potong singkong rebus tersusun rapi di atas piring, menanti untuk disantap.

 

Saat Rio asyik menikmati hidangannya, seorang wanita paruh baya dengan rambut diikat tali rafia mendekat.

 

"Permisi, Mas," sapanya sopan.

 

Rio mengangkat kepala. "Maaf, Mas, bisa pinjam korek apinya?" Wanita bertahi lalat di ujung dagunya itu mengutarakan maksudnya.

 

"Maaf, Bu, saya tidak merokok," jawab Rio singkat.

 

"Kalau begitu, boleh saya minta sepotong singkong rebusnya?" sambung wanita itu, matanya tertuju pada piring di atas meja. Refleks, Rio menoleh ke arah singkong rebusnya yang tinggal dua potong.

 

"Satu saja, Mas," pinta wanita itu dengan nada mengiba. Dengan berat hati, Rio mengangkat piring itu dan menyodorkannya pada wanita di hadapannya. Tanpa berkata apa pun, wanita itu menyambar kedua potong singkong sekaligus, lalu berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Rio yang tertegun. Langkahnya begitu cepat, membuat Rio tak sempat bereaksi. Sisa singkongnya ludes dibawa wanita berdaster batik itu.

 

"Semprul!" Rio mengumpat sambil memelototi jalanan di depan rumahnya.

 

"Katanya minta satu, kenapa dua-duanya diambil?!" omelnya.

 

"Dasar wanita tidak jelas!" Rio terus menggerutu sambil menghabiskan sisa kopinya.

 

Saat Rio hendak masuk ke rumah, tiba-tiba Pak Ali, tetangganya, berseru, "Rio, Rio, Rio!"

 

Rio mengurungkan niatnya dan berbalik. Ia melihat Pak Ali berjalan terhuyung mendekat.

 

"Yo, tolongin, dong," katanya sambil mengatur napas dan langsung duduk di kursi teras.

 

"Kenapa, Pak?" tanya Rio heran. Pak Ali tampak seperti habis berlari jauh. Napasnya tersengal-sengal, keringat membasahi tubuhnya, dan rambut cepaknya ikut basah.

 

"Tolongin Bapak, Yo," pintanya, menatap Rio.

 

"Apa?" Rio balik menatap.

 

Pak Ali mengusap wajah dengan telapak tangan. "Tolongin si Belang, Yo."

 

"Memangnya kenapa dengan kucing itu, Pak?" Rio semakin penasaran. Belang adalah kucing ras kesayangan Pak Ali.

 

"Dia naik ke atas pohon rambutan, Yo. Bantuin si Belang turun, dong," jelas Pak Ali. Rio menepuk jidatnya.

 

"Ya ampun, Pak..."

 

Pak Ali memelototinya. "Jangan gitu kamu, Yo!" sentaknya, tak suka dengan reaksi Rio. "Belang itu kucing kesayangan saya. Itu hadiah dari mantan pacar saya," lanjutnya.

 

Rio tersentak. "Lalu kenapa si Belang bisa naik ke atas pohon, Pak? Terus kenapa Bapak ngos-ngosan begitu tadi?"

 

"Tadi Burhan, teman sekolah saya, main ke rumah. Dia tak sengaja menceritakan Mira dan bertanya ke mana si Belang yang Mira hadiahkan pas ulang tahun saya yang ke-40. Eh, istri saya mendengar dan tahu bahwa si Belang itu dari Mira, mantan saya! Dia cemburu, marah-marah, mau memukul saya dan si Belang dengan gagang sapu. Beruntung, si Belang itu cerdas, menyelamatkan diri naik ke atas pohon, sedangkan saya lari dikejar istri saya," cerita Pak Ali.

 

Sontak, Rio tertawa terbahak-bahak.

 

"Yo, tolongin saya," rajuk Pak Ali dengan nada memelas. Rio yang masih tertawa mencoba menahan diri.

 

"Maaf, Pak, saya tidak mau, ah. Nanti malah saya yang dikejar Bu Siti pakai gagang sapu," jawab Rio, masih tertawa. Pak Ali mendesah.

 

"Terus, bagaimana nasib si Belang, Yo?" lirih Pak Ali.

 

"Ya, mana saya tau, Pak," jawab Rio, masih tertawa. Pak Ali menggaruk-garuk kepala, berbalik, dan melangkah pergi.

 

"Hati-hati, Pak! Nanti Bu Siti mengejar lagi, lho!" seru Rio, tawanya masih terdengar.

 

"Dasar Pak Ali kocak," ucapnya, kini sudah sedikit bisa menahan tawa.

 

"Dia termasuk golongan suami takut istri," lanjut Rio, melangkah masuk ke rumah.

 

Belum terlalu jauh Rio masuk ke dalam rumah, tiba-tiba terdengar suara, "Permisi... permisi... permisi..."

 

Rio menggaruk kepalanya. "Siapa lagi, sih?" gerutunya sambil melangkah keluar. Dilihatnya seorang wanita cantik berambut panjang sepinggang yang digerai berdiri di teras rumah. Wajahnya yang cantik, ditambah aroma parfum yang segar, membuat Rio tertegun.

 

"Siapa dia? Cantik sekali," batin Rio.

 

"Permisi," ucap wanita itu lagi, menyadari Rio hanya diam mematung menatapnya. Ia mengenakan baju putih dan celana panjang biru tua.

 

"Permisi, Mas," kembali wanita itu berkata karena Rio masih tetap diam. Rio tersentak.

 

"Eh, iya, ada apa ya, Mbak?" jawab Rio salah tingkah.

 

"Bisa tolongin saya, Mas?" jawab wanita itu, menatapnya penuh harap. Rio balik menatap bola mata hitam bulat wanita itu.

 

"Tolong apa, Mbak?" tanya Rio penasaran. Wanita itu tak menjawab, melainkan menyodorkan selembar uang dua puluh ribu.

 

"Ini uang apa, Mbak?" Rio heran, menatap uang di tangan wanita itu, lalu ke wajah oval di hadapannya.

 

"Tolong bayarin ojol saya, Mas," jawab wanita itu berbisik. "Itu, di sana ada mobil hitam. Saya takut sama sopirnya, tampangnya sangar banget, Mas," sambungnya.

 

Rio semakin tidak mengerti, tapi wanita itu terus memaksa. "Ayolah, Mas, tolongin saya, ya..." Wanita itu meraih tangan Rio dan menyelipkan uang itu di tangannya, lalu melangkah pergi.

 

Rio menghela napas, lalu melangkah menuju mobil Sigra yang terparkir tak jauh dari rumahnya.

 

Ketika Rio sampai di samping pintu pengemudi mobil, kaca jendela diturunkan. Seorang wanita berkerudung putih duduk di depan setir, menoleh ke arah Rio.

 

"Mas, mau bayar ongkos istri Mas tadi, ya?" tanya wanita itu sopan.

 

Rio terkejut mendengar pertanyaan itu. "Kenapa melotot, Mas?" tanya wanita itu lagi, tetap santun.

 

"Istri yang mana, Mbak?" protes Rio, bingung.

 

"Ya, istri Mas yang tadi naik mobil saya, terus berjalan masuk ke teras rumah itu," jawab wanita itu sambil mengarahkan pandangannya ke rumah Rio. "Lalu setelah ngobrol sama Mas, dia jalan ke sana," wanita itu kembali berkata, menunjuk jalan yang berbelok ke kiri.

 

"Itu bukan istri saya, Mbak!" protes Rio tegas. "Malah dia kasih saya uang ini dan menyuruh saya bayarin ojolnya," Rio memperlihatkan uang dua puluh ribu di tangannya.

 

Wanita pengemudi ojol itu tersenyum. "Ongkosnya seratus tiga puluh tujuh ribu, Mas," ucapnya.

 

Rio tak kuasa menahan keterkejutannya. Tubuhnya perlahan merosot jatuh pingsan.

Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar