Cincin Bermata Tiga Bagian 44

Table of Contents

"Astagfirullohalazim," pekik Mala tertahan, menyadari bentuk dan ukuran kelelawar itu jauh lebih besar dari semula.

 

"Jangan panik, La," balas Lia, segera merogoh saku celananya dan mengambil seekor semut putih. Lia meletakkan semut itu di telapak tangan kirinya, lalu ujung telapak tangan kanannya diusap-usap ke pinggir jari jemarinya.

 

"Assalamualaikum, maaf semut putih, tolong bantu kami untuk mengalahkan bayangan hitam itu," ucap Lia lembut sambil terus mengusap ujung jarinya. Dan seketika itu juga, semut di tangan Lia terbang, berubah menjadi semut putih raksasa.

 

"Subhanallah," seru Mala.

 

"Keren, Li," tak sadar dia juga menggosok-gosok kedua telapak tangannya, lalu refleks dia membukanya dan mengarahkannya ke arah bayangan hitam yang menyerupai kelelawar itu berada.

 

"Subhannalloh," seru Lia yang melihat dari telapak tangan Mala keluar sinar biru muda yang sangat indah. Semut yang terbang juga menghadirkan kilauan cahaya putih. Dan ketika kedua sinar itu bertemu dan menyatu, terjadilah magic yang luar biasa. Sebuah bayangan putih hadir, menyerupai seekor semut yang ukuran dan besarnya lebih dari ukuran kelelawar itu, dan kedua hewan mistis ini saling baku hantam.

 

Kelelawar terus terbang sambil menyemburkan lender hitam dan desiran angin yang sangat menyejukan. Sedangkan semut putih mengejarnya dengan juga memancarkan sinar putih biru bergantian untuk menyerang kelelawar itu. Sayang, desiran angin yang keluar dari kelelawar itu sempat terendus Lia. Seperti peringatan Mala, desiran angin ini menghipnosis Lia yang sedikit tertegun menyaksikan kejadian di hadapannya. Tubuh Lia mulai gontai, miring kanan, miring kiri. Sesekali dia menguap. Mala dengan cekatan yang melihat reaksi tubuh Lia segera mendekat dan memeluk tubuh sahabatnya. Namun, terlambat. Lia sudah jatuh lunglai sebelum Mala tepat merangkulnya.

 

"Lia!" teriak Mala tinggi sambil menarik tubuh Lia agar tidak jatuh ke tanah.

 

"Lia, sadar, Lia," berulang kali Mala berseru, menggoyangkan tubuh Lia yang lunglai seperti orang sedang tertidur pulas.

 

"Lia. Bangun, Lia," Mala terus mengguncangkan tubuh Lia sekuat mungkin. Bahkan tangan Mala menepuk pipi Lia bergantian. Tetap saja, Lia tidak sadarkan diri.

 

Selagi Mala panik dengan kondisi Lia yang tidak sadar, tiba-tiba bayangan hitam yang menyerupai kelelawar itu muncul lagi, bergerak ingin menancapkan taring kukunya ke punggung Mala. Mala tidak sempat menghindar. Dia hanya menjerit sekuat mungkin.

 

"Allahu Akbar."

 

Tinggal beberapa senti lagi taring kuku tajam itu menembus punggung Mala, tiba-tiba dari dalam saku celana Mala keluarlah semut putih yang langsung menghajar kelelawar itu. Ditambah paduan semut putih dan sinar biru yang juga langsung menghajar kelelawar itu. Dari dua serangan dahsyat, membuat kelelawar tidak mampu mengelak, dan dentuman yang jauh lebih keras terdengar. Bersamaan dengan itu, kelelawar itu jatuh tersungkur ke tanah, meledak tanpa berbekas sedikit pun, dan semut putih yang berpadu sinar biru juga ikut lenyap.

 

"Lia, bangun, Li," Mala masih terus mengguncang-guncang tubuh Lia dalam pangkuannya.

 

"Ya Allah. Lia, sadar, Li," suaranya mulai berat, terisak, dan butiran air mata itu sudah menetes deras membasahi pipinya.

 

"Lia, bangun, Lia," isakan Mala terus berusaha menyadarkan sahabatnya yang terkena desiran dari kelelawar hitam.

 

"Ya Allah, aku harus apa dan gimana," lirih Mala, mengadahkan kepalanya menatap langit biru yang tampak indah dengan deretan awan dalam berbagai formasi.

 

"Ya Allah, bantu aku, ya Allah," seru Mala dalam isak tangisnya.

 

"Lia, bangun dong, Li," terus dia menguncangkan tubuh Lia dan menepuk pipi Lia bergantian, kanan kiri.

 

Nyaris tidak berdaya dan putus asa, Mala memeluk tubuh Lia dan menciumi pipinya.

 

"Lia, maafin gue yang enggak bisa bantuin loe. Loe sadar dong, Li," ucapnya terus, masih terisak sesegukan.

 

Tiba-tiba bayangan hitam hadir kembali, menutupi langit biru. Kini kegelapan yang memayungi sekeliling.

 

"Ya Allah, apa lagi ini," ucap Mala lesu, tidak bergairah melihat kelebatan kelelawar bergerak mengarah mendekatinya.

 

"Ya Allah, aku pasrahkan hanya padamu. Bila yang terbaik itu adalah kehendak-Mu, bantu aku dan Lia. Ya Allah," lirih sesegukan Mala bermohon.

 

Bayangan hitam itu sudah lebih mendekat, dan sejurus kemudian, di saat taring kaki kelelawar itu siap menancapkan ke punggung Mala yang sedikit bersujud memeluk tubuh Lia, bersamaan dengan itu keluarlah dua semut secara bersamaan dari kantong celana Lia dan Mala. Masing-masing semut putih itu menggigit lengan Mala yang membuatnya melepaskan pelukan dari tubuh Lia. Sedangkan seekor semut lagi menggigit kedua pelupuk mata Lia yang sedari awal memang telah melepaskan kacamatanya. Dan seketika itu juga, Lia tersadar, membuka mata, dan langsung duduk bersila.

 

"Alhamdulillah," ucap Mala senang sambil menyeka air matanya.

 

"Kita bersujud, La. Baca apa saja yang loe mau," perintah Lia, lalu bersujud. Mala mengikutinya. Mereka khusyuk memanjatkan permohonan semata hanya pada Allah.

 

Sementara kilatan bayangan hitam kelelawar itu nyaris mencengkeram tubuh Lia dan Mala yang masih bersimpuh bersujud. Namun, entah kekuatan dari mana, tiba-tiba dari masing-masing punggung mereka keluarlah cahaya putih benderang dan langsung menghantam ke kelelawar hingga dentuman keras terdengar, dan menghancurkan kelelawar itu tanpa berbekas.

 

"Alhamdulillah hirobil alamin," ucap kedua gadis ini bersama, lalu mereka mengangkat tubuh dan kepalanya, duduk bersila.

 

"Alhamdulillah, terima kasih ya Allah," ucap Lia mengusap wajah dengan kedua belah telapak tangannya. Begitu juga Mala.

 

"Alhamdulillah, Li. Berarti tinggal tiga lagi tuh kelelawar yang harus kita singkirkan," ucap Mala. Lia mengangguk.

 

"Gimana keadaan Pak Otong dan juga rombongan Papa ya, La?" tanya Lia. Mala mengangkat bahu.

 

"Semoga Allah melindungi mereka ya, Li," jawab Mala.

 

"Aamiin," sahut Lia.

 

Belum sempat Lia dan Mala melanjutkan obrolan mereka, tiba-tiba desiran angin abu menera keduanya. Refleks mereka berdiri dan mengibas kedua tangannya, mengusir debu yang menera wajah mereka.

 

"Serangan angin debu, Li," seru Mala yang mengibarkan sapu tangan birunya. Tetapi kibaran itu justru mendatangkan desiran angin yang lebih kencang, ditambah debu yang juga lebih banyak terbang membungkus tubuh Lia dan Mala.

 

"Apa lagi sih ini," sentak Mala kesal. Dia menjejakan kakinya, dan lagi-lagi justru desiran angin itu malah lebih memperkuat debu tebal menyelimuti tubuh Mala.

 

"Astagfirulloh," Lia menggeram. Rahangnya dikatupkan, bahkan gemerutuk giginya sedikit terdengar.

 

"Ini kaya lumpur hidup, La. Loe jangan banyak bergerak, tetap diam dengan dzikiran tanpa perlawanan," ucap Lia.

 

"Iya, Li. Serangan ini lebih mematikan kita. Mereka ingin mengurung kita," balas Mala yang sudah jauh lebih tenang.

 

Kedua gadis ini diam. Benar, ketika mereka tidak memberi perlawanan, desiran angin pun ikut diam, dan semburan debu juga seolah ikut diam.

 

"Kita tidak bisa seperti ini terus, Li," ucap Mala.

 

"Sabar, La. Kita sholat duha saja," saran Lia.

 

"Enggak ada mukena, Li. Kan mukena gue sama loe," balas Mala.

 

"Dah, niat saja sholat duha dan kerjain semua sunah dan rukunya. Kita pasrahkan sama Allah saja. Kan Allah yang lebih Maha Tahu," balas Lia, dan keduanya mulai mengerjakan dua rakaat sholat duha-nya.

 

Pak Otong yang memang sudah menanti untuk bertemu dengan kakaknya telah bersiap untuk memberikan perlawanan. Setelah mengubah dirinya menjadi sinar perak, Pak Otong segera melesat menuju ke arah Sastro. Dia menyelinap di antara dedaunan yang rimbun dengan pelepah yang lebar.

 

"Bangsat kau, Otong. Jangan ikutan bersembunyi di wilayahku," sentak Sastro, menyadari bahwa Otong telah mengubah wujudnya.

 

"Aku tidak bersembunyi macam dirimu, penghianat," balas Otong yang telah menampakan dirinya, berdiri tegak di sebuah dahan pohon.

 

"Banyak omong kau, bangsat," hardik Sastro yang langsung menyerang Otong dengan mengibaskan tongkat hitamnya. Dari kibasan itu, bermunculan ribuan semut hitam berantena dan bermata merah darah.

 

Otong terkekeh panjang. "Hanya segini kemampuanmu, penghianat," cibir Otong yang hanya bersiul, tapi suara siulannya membuat semua semut mengelepar, terbakar dengan lender yang keluar dari tubuhnya masing-masing.

 

"Bangsat," maki Sastro yang melihat semua pasukannya tewas terbakar.

 

"Rasakan ini, keparat," Sastro segera mengibarkan jubah hitamnya, dan bermunculanlah serangga yang menyerupai lebah, tapi lebah itu berukuran sebesar telapak tangan, berwarna hitam beracun, menyelimuti seluruh ruang di mana kerumunan lebah itu mengarah.

 

Otong lagi-lagi terkekeh panjang. Dia hanya memiringkan tubuh dan kepalanya ke kanan, lalu sebelah tangan kirinya dikibaskan. Bersamaan dengan itu, dentuman keras memekakkan terdengar karena seluruh lebah itu mengelepar mati tak bersisa.

 

"Heheheheh..." Suara Otong terkekeh, menyengat telinga Sastro.

 

"Bangsat kau, Otong. Jangan sombong," hardik Sastro, segera mengibarkan lagi jubahnya hingga dia melesat terbang di antara dedaunan dan ranting pohon. Otong tetap diam. Dia masih berdiri tegak di sebuah dahan pohon. Tiba-tiba sebuah dentuman keras tepat menghajar batang pohon jati di mana Otong berdiri, hingga membuat keseimbangan tubuh Otong sedikit goyah. Dia nyaris terjatuh, beruntung kekuatannya kokoh dengan kuda-kuda yang siap.

 

"Sialan," omelnya, lalu menghentakkan kaki, terbang menyusul Sastro.

 

Dari kejauhan, Sastro melepaskan pukulan api, dan dengan santai Otong menghajarnya dengan sebuah siulan.

 

"Bangsat kau, Otong. Terima ini," makinya, lalu Sastro mengepalkan tinju dan mengirimkan bola api hitam yang cukup besar.

 

Otong tidak mau kalah. Dia mengerakkan tangannya seperti burung terbang, lalu memutar kedua tangan yang terentang itu, dan sebuah kumparan biru keluar dari hembusan kedua tangan Otong. Kumparan biru itu menghantam telak ke bola api hitam itu, dan membuat dentuman keras di ditambah kobaran api yang sangat besar. Semua pohon beserta bonggol dan dedaunan juga ranting dahan terbakar gosong. Otong segera memanyunkan mulut dan meniup ke arah kobaran api yang terus mengejarnya.

 

"Sastro sialan," omelnya, lalu Otong kembali memegang kedua bahunya dan lenyap, berubah wujud menjadi sinar perak.


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar