Cincin Bermata Tiga Bagian 43
Tanah
kosong berkerikil itu kini tampak hanya dihuni Lia dan Mala. Kesemua orang
sudah melangkah memasuki hutan. Dua srikandi cantik ini tampak berantusias
mengalahkan lawannya. Mereka tampak riang santai memerangi ribuan serangga aneh
yang menyerang mereka. Dengan tasbih di tangan, Lia mengibaskan tasbih itu ke
segala penjuru. Selama Lia melakukan itu, sinar putih keluar menebarkan
dentuman keras ketika menyambar mangsa yang dituju. Perlahan, ribuan semut itu
menurun jumlahnya, terhempas oleh desiran sinar putih yang berkelebat dari
ayunan tasbih Lia. Sementara Mala tidak tinggal diam. Dengan sapu tangan biru
yang terjepit di hijabnya, dia mengibarkannya, dan desiran angin berwarna biru
juga memusnahkan lawan yang menyerang mereka.
"Bagus,
La," seru Lia senang karena ribuan semut itu dalam waktu yang tidak
terlalu lama kini sirna semuanya. Hanya lendiran hitam yang membanjiri tanah di
sekeliling mereka. Mala tersenyum. Spontan, dia memanyunkan mulutnya,
mengeluarkan tiupan, dan tak sengaja angin yang keluar dari mulut Mala menyapu
bersih seluruh lendiran itu tanpa bekas.
"Keren,
La," lagi-lagi Lia senang melihat apa yang dilakukan sahabatnya.
"Kita
belum selesai, Li. Lihat semut itu," Mala mengarahkan telunjuknya pada
semut raksasa yang menyembur dari dalam tanah.
Seekor
semut raksasa itu langsung menyerang Lia dan Mala. Antena semut itu bergoyang,
menyebarkan lendiran hitam yang selain beraroma anyir juga mengandung racun
mematikan.
"Gawat,
Li. Semut itu sangat berbahaya. Kita mesti gimana, Li?" ucap Mala yang
sedikit takut. Lia mendesah, menarik napas dalam, lalu menghempaskannya.
"Kita
berpencar saja, La. Kita serang dari arah berbeda untuk membuyarkan
fokusnya," saran Lia. Lalu kedua gadis ini terbang masing-masing. Lia
mengarah ke sebelah kanan, sedangkan Mala menyerang dari arah kiri. Semut itu
kini juga tampak terbang menjajari ketinggian Lia dan Mala. Lia yang menjadi
buronan semut itu berusaha melarikan diri, menghindar serangan semut itu yang
terus mengarahkan antenanya ke tubuh Lia. Sedangkan Mala bersiap dengan
strategi serangan balik.
Terlintas
di benaknya ketika Pak Otong bercerita, dia mencoba mengerakkan tangannya
seperti ilustrasi cerita Pak Otong yang dituturkan di dalam mobil. Sebelah
tangan kiri Mala dibentangkan dan digoyangkan, lalu kelamaan dia putar
lengannya seperti baling-baling, sedangkan tangan kirinya mengibarkan sapu
tangan birunya. Dan wush... tubuh Mala terbang jauh lebih tinggi, dan kibaran
sapu tangannya melenyapkan seluruh semburan lender hitam hingga membuat semut itu
diam sesaat. Kesempatan ini dimanfaatkan Lia untuk menyerang semut itu.
Lia
yang telah menggosok-gosokan kedua telapak tangannya segera mengarahkannya ke
semut hitam, dan sedetik kemudian sebuah dentuman keras memekakkan
menghancurkan semut itu tanpa berbekas. Bahkan tanah di sekitar semut itu
berlubang gosong.
"Bagus,
Li. Kita berhasil mengalahkan semut itu," seru Mala riang.
"Alhamdulillah,"
jawab Lia mengusap telapak tangannya ke wajahnya. Namun, usapan itu justru
membuat mata Lia dapat melihat sesuatu yang tidak tampak oleh mata biasa. Dia
tercekat ketika melihat Mala dalam kondisi yang sangat berbahaya.
"Awas,
La. Di belakang loe ada kelelawar tak tampak mata," teriak Lia panik, dan
langsung mengarahkan dirinya mendekati Mala, lalu menarik lengan Mala. Namun,
terlambat. Sebuah kuku dari kelelawar itu telah mengores ujung hijab Mala dan
membuat warna hitam berlendir menetes di hijab pink Mala, dan membuat tubuh
Mala sedikit terhuyung.
"Mala!"
sekali lagi Lia berteriak sejadinya sambil menangkap tubuh sahabatnya. Tak
putus akal, Lia segera menempelkan telapak tangannya di tempat lendiran hitam
itu berada, dan sesaat kemudian tubuh kedua gadis ini jatuh tersungkur ke
tanah.
"Astagfirolloh
alazim," seru kedua gadis ini berbarengan, dan keduanya pun saling
bertatapan.
"Loe,
enggak kenapa-kenapa kan, La?" tanya Lia khawatir. Mala yang bermuka
sedikit pucat tersenyum mengangguk.
"Coba
gue lihat punggung loe. Apa ada luka bekas lendiran itu?" ucap Lia, dan
Mala segera membalikan tubuhnya. Lia menyingkap kerudung Mala yang telah sobek
bagian bawah yang tadi tertetes lendiran dan telah Lia musnahkan.
"Alhamdulillah,
enggak ada bekasnya, La. Tapi hijab loe sobek besar nih," ucap Lia lega.
"Tapi
untung masih bisa loe pakai dan masih nutupin sedikit punggung loe,"
sambung Lia, menepuk lembut punggung Mala. Mala kembali membalikan tubuhnya.
Mereka saling berhadapan, bertatapan, lalu keduanya saling berpelukan.
"Terima
kasih, Li. Loe udah nyelamatin gue," ucap Mala dalam pelukannya.
"Alhamdulillah,"
tepukan tangan Lia memberikan sugesti di punggung Mala.
"Kita
bersiap lagi, La," Lia melepaskan rangkulannya, lalu membuka tas
selempangnya. Dia mengambil sebotol air rukiah yang memang dibawanya.
"Nih,
loe minum dulu. Tapi jangan dihabisin ya, buat jaga-jaga keselamatan
kita," Lia membuka tutup botol dan menyerahkannya pada Mala.
"Makasih,
Li," Mala mengambil botol itu dan membaca ayat kursi sebelum meminum air
dari dalam botol itu.
"Alhamdulillah,"
ucap Mala lega. Kini raut wajahnya kembali memerah segar dan bertenaga.
"Alhamdulillah,"
Lia menerima kembali botol itu, menutupnya, lalu menyimpan kembali ke dalam
tasnya.
"Bangun
cepat, Li," seru Mala menarik lengan Lia untuk berdiri. Mala melihat dari
tempat mereka duduk tiba-tiba bermunculan semut sebesar telapak tangan yang
berkerumun. Aneh, semut itu tidak berwarna hitam dan berantena juga mata merah,
tapi semut itu justru berwarna putih bersih.
"Semut
aneh," ucap Mala memperhatikan kerumunan semut itu setelah keduanya
berdiri. Lia mengangguk, matanya fokus mengamati kerumunan semut putih itu.
"Assalamualaikum,"
ucap Lia tersenyum menatap lembut seekor semut yang juga menatapnya.
"Waalaikumussalam,
Lia dan Mala," sebuah suara jelas terdengar dari kerumunan semut itu.
"Si...siapa
kalian?" terbata Mala, refleks mundur selangkah terkejut.
"Tenang,
Mala. Kami siap membantu kalian, karena masih ada lima lagi kelelawar yang
belum kalian musnahkan, juga satu lagi kelelawar yang menjadi pimpinan
mereka," jawab semut itu.
"Tugas
kalian masih sangat beresiko, jadi kami siap membantu kalian," lanjut
suara itu.
"Kalian
ambil masing-masing tujuh dari kami, lalu kalian simpan di dalam saku celana
kalian. Kami akan keluar membantu kalian ketika kalian terdesak,"
sambungnya dengan mengangguk ta'zim ke arah Mala dan Lia. Kedua sahabat ini
menoleh berbarengan, saling adu tatap meminta persetujuan. Lia tersenyum
mengangguk.
"Auzubillah
himinassyaitonirrojim, kami berlindung hanya kepada-Mu ya Allah," ucap Lia
berjongkok diikuti Mala.
"Bismillahirohmanirohim...
La haula wala quwwata illa billah," lanjutnya, lalu mengambil tujuh semut
yang ada di hadapannya.
"Terima
kasih, semut putih, atas izin Allah, aku Lia bersedia kalian bantu untuk
melawan kezoliman itu," sambung Lia dan memasukan tujuh semut itu ke dalam
saku celananya. Mala juga melakukan hal yang sama. Biar tidak terdengar ucapan
apa pun dari lisannya, tetapi dalam hati Mala juga bermunajat meminta
pertolongan Allah semata.
Baru
sedetik Mala dan Lia berdiri tegak menghirup napas lega, tapi tiba-tiba
bayangan hitam menutupi cakrawala yang mulai terang dengan sinar mentari pagi.
"Bersiap,
La," ucap Lia mengingatkan. Mala mengangguk.
"Ini
kelelawar yang sedikit lebih berbahaya, Li. Dia selain kukunya bertaring dan
beracun, dia juga bisa membuat kita terbius tidur kalau kita menghirup udara
yang dia keluarkan," ucap Mala menerangkan. Lia menoleh.
"Terus
kita gimana, La?" tanya Lia yang sedikit gusar. Mala tersenyum.
"Tenang,
Li. Kan ada Allah yang bantu kita," jawab Mala enteng.
"Loe
usap aja hidung loe dengan telapak tangan loe. Eh, seluruh muka loe aja deh,
buat jaga-jaga. Jangan lupa baca ayat kursinya," lanjut Mala yang juga
melakukan sesuatu. Dia meraih sapu tangannya, lalu menutup seluruh wajahnya
dengan sapu tangan biru itu sambil membaca surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, An-Nas,
serta Al-Falaq juga ayat kursi, lalu diusapnya seluruh wajahnya.
"Siap,
Li. Kita mulai permainan ini," santai Mala berkata, tersenyum, menjejakan
kakinya, lalu dia melesat terbang dengan sebelah tangan bergerak bagai
baling-baling, sedangkan tangan kanannya mengibarkan sapu tangan birunya.
Lia
masih terdiam, matanya terpejam, tapi sebuah dentuman keras menyadarkan
pikirannya yang sedang berkonsentrasi. Dilihatnya Mala sedang mengarahkan
tinjunya ke sebuah area kosong yang membuat tanah di sekitarnya berlubang
gosong.
Lia
menarik napas dalam, lalu perlahan menghempaskannya.
"Awas,
Li," teriak Mala yang melihat dari arah belakang tubuh Lia telah bersiap
kaki kelelawar yang ingin menancapkan kuku taringnya ke punggung Lia.
Refleks
Lia mengeser selangkah dan membalikan tubuhnya, lalu mengibaskan tasbih yang
selalu dipegangnya.
"Bismillahirohman
hirohim, Allahu Akbar," seru Lia lantang, lalu melemparkan tasbih itu
tepat di salah satu mata kelelawar yang jaraknya hanya dua langkah. Dan lagi-lagi
sebuah dentuman keras terdengar yang hasilnya kelelawar itu terjungkal jatuh
mengelepar. Tak tinggal diam, Mala segera mengirimkan sebuah serangan. Dia
mengarahkan telunjuk kanannya yang terbungkus sapu tangan hingga gumparan biru
menderu dan menghajar kelelawar itu. Namun, dugaan mereka salah. Kelelawar itu
bukannya mati apalagi musnah, justru kini ukuran kelelawar itu semakin besar
dan berdiri tegak, lalu terbang menyerang keduanya.
Posting Komentar