Cincin Bermata Tiga Bagian 41

Table of Contents

Langit cerah dengan taburan bintang gemilang yang tampak indah dengan segala beraneka rupa bentuk formasinya, meski hitam gelapnya malam hanya bersanding dengan rembulan yang tampak hanya separuhnya saja. Tiga orang laki-laki tampak santai duduk beralaskan tanah kering yang berlapis kerikil kecil. Mereka adalah Pak Otong, Pak Udin, dan Taufik.

 

"Bapak kenal keluarga ini dari siapa?" tanya Pak Udin membuka obrolan, menoleh ke Pak Otong. Pak Otong melirik.

 

"Bu Arya," singkat dijawabnya.

 

"Oh, adiknya Bang Setiawan," Pak Udin menegaskan jawaban Pak Otong yang diam asyik menghisap cerutunya.

 

"Sepertinya Bapak tahu banyak ya tentang permasalahan ini," lanjut Pak Udin. Pak Otong tidak merespon.

 

"Apa ada niat tersendiri Bapak mau membantu keluarga ini?" sambung Pak Udin. Pak Otong terkekeh.

 

"Dibayar berapa, Pak?" tanya Pak Udin kembali. Pak Otong menengokkan kepalanya dan memelototi Pak Udin. Dari tatapannya, dia merasa keberatan dengan pertanyaan Pak Udin.

 

"Santai, Pak. Kita kan nyari uangnya dari sana, wajar toh saya bertanya demikian," bela Pak Udin. Pak Otong tersenyum sinis.

 

"Otak sampean itu isinya uang doang," ucap Pak Otong datar, menghisap kembali cerutunya.

 

"Emang sih demikian. Awalnya saya dikasih 10 juta sama Bu Arya, tapi setelah masalah ini selesai, akan saya kembalikan uang itu," ucap Pak Otong menghembuskan asap cerutu dari mulutnya.

 

"Maksudnya...?" Pak Udin sedikit terperangah. Pak Otong terkekeh panjang.

 

"Berarti memang ada niat tertentu dari Bapak untuk membantu keluarga ini," lanjut Pak Udin yang semakin penasaran. Pak Otong terkekeh semakin panjang sambil menggoyangkan tubuhnya. Pak Udin mendesah kecewa karena dalam pikiran Pak Udin masih bertanya apa kepentingan Pak Otong membantu keluarga Lia.

 

Dari ponsel Mala terdengar azan subuh. Gadis berlesung pipi dengan mata sedikit sipit ini segera mengambil gawai dari dalam tasnya.

 

"Subhanallah, sudah subuh nih," ucapnya untuk diri sendiri.

 

"Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, dan mudahkanlah kami menyelesaikan urusan ini secepatnya," lanjutnya, lalu dia mengusap wajah dengan kedua belah telapak tangannya.

 

"Aamiin," sahut Lia yang duduk di sampingnya.

 

"Sekarang kita jama'ah subuh saja," kata Pak Haji Hanif yang langsung berdiri menempati posisi imam sholat. Kesemua orang pun berdiri, dan mereka melaksanakan sholat subuh berjama'ah.

 

Selesai sholat dan sedang berzikir, tiba-tiba Mala mengejutkan semua orang.

 

"Li, lihat itu," seru Mala tertahan sambil menunjuk ke arah depan. Matanya terbelalak menyaksikan apa yang dilihatnya.

 

"Ada apa, La?" Lia balik berseru kaget.

 

"Pak Otong," teriak Mala histeris, berdiri melepas mukenanya sambil menoleh ke kanan kiri mencari keberadaan Pak Otong. Lia cekatan melepas mukenanya dan melipat kedua mukena yang ada di pangkuannya. Setelahnya, dia memasukkannya ke dalam tas selempangnya. Mukena itu memang diperuntukkan untuk berpergian, sehingga lipatanya sangat kecil. Lalu Lia berdiri di samping Mala.

 

Sigap Pak Otong yang sudah mendengar sejak awal Mala berseru, dia segera berdiri berlari kecil mendekati Mala dan Lia yang telah berdiri. Semua orang juga menghampiri Mala dan berdiri mengelilinginya.

 

"Kamu lihat apa, bocah ingusan?" Pak Otong menatap sejenak ke Mala, lalu dia melempar pandangannya ke arah depan di mana Mala memfokuskan tatapannya.

 

"Ada seseorang berjubah hitam terbang dari dalam hutan dengan cahaya merah darah di sekelilingnya," ucap Mala bergidik mengangkat kedua bahunya.

 

"Serem, Pak. Dia membawa sebatang tongkat hitam dengan ujungnya ada tiga kepala tengkorak yang juga berwarna merah. Eh, batang tongkatnya berwarna hitam, tapi kesemuanya tampak mengeluarkan desiran aneh yang aku belum tahu," lanjutnya.

 

"Apa lagi?" tanya Pak Otong.

 

"Dia membawa banyak banget pasukan, Pak. Semuanya seperti semut yang gigit Alif, sama ada tujuh kelelawar yang sama kaya penjaga gerbang hutan itu yang masih siaga dengan ribuan semut dalam formasi pintu," ucap Mala menerangkan, membuat semua orang diam menelan ludah dalam pikiran masing-masing.

 

"Dia akan menyerang kita. Kita sambut mereka," ucap Otong ringan lalu menatap satu per satu semua orang yang ada.

 

"Saya akan hadapi si penghianat itu. Mb Alia dan Mba Mala, tolong habisi serangga sialan itu," ucapnya menatap Lia dan Mala bergantian. Lia tertegun, sedangkan Mala memelototi Pak Otong, protes. Pak Otong terkekeh.

 

Mengibaskan tangannya, "Tenang, bocah ingusan. Sapu tangan itu bisa membantumu banyak, ditambah biji manik-manik kalian berdua, terutama milik Mb Alia. Dan juga, Mb Alia sudah memiliki kekuatan dahsyat di tubuhnya," Pak Otong menerangkan. Semua orang menatap ta'zim mendengarkan penjelasan Pak Otong.

 

"Ikuti kata hati kalian, dan pasrahkan semua pada Tuhan kalian. Yakinkan hati bila kebenaran itu di atas segalanya," Pak Otong tersenyum pada Mala dan Lia, memberi sebuah sugesti tersendiri, membuat kedua gadis ini mengangguk balas tersenyum.

 

"Bagus," jawab Pak Otong, lalu dia menatap Ustad Abas dan Pak Haji Hanif penuh hormat. "Bapk berdua atur strategi lainnya. Kalau bisa, tolong selamatkan tawanannya si penghianat. Maksud saya, ketika saya, Mb Alia, dan Mala sedang mengalihkan perhatian si penghianat dan pasukannya, silahkan kalian terobos hutan itu masuk dan bebaskan para tawanan si mesum itu," jelas Pak Otong, lalu menoleh ke arah Pak Udin.

 

"Bapak bisa ikut mereka, bantu dengan kekuatan yang Bapak miliki," ucap Pak Otong. Pak Udin mengangguk.

 

"Saya di sini saja, Pak. Saya mau temenin anak saya," Pak Setiawan mengungkapkan keinginannya.

 

"Terserah. Tapi Pak Taufik, tolong ikut rombongan untuk menunjukkan jalan ke arah rumah si penghianat itu," jawab Pak Otong. Taufik ingin protes karena takut, tapi belum sempat dia mengucapkan sesuatu, Pak Otong sudah memelototinya.

 

"Pak, dia hampir dekat," seru Mala yang masih terus menatap ke arah gerbang hutan.

 

"Sekarang formasi itu lenyap, Pak, tapi..." Mala menahan ucapannya.

 

"Awas, Pak," teriak Mala reflek menarik tangan Pak Otong yang tidak siap, membuat dirinya hampir jatuh. Beruntung Lia menahannya.

 

"Bocah ingusan," bentaknya kaget.

 

"Awas, Pak, ada asap hitam ingin menyerang Bapak," ucap Mala sambil refleks mengibaskan sebelah tangannya ke udara kosong, tapi justru sebuah dentuman keras terdengar memekakkan telinga, membuat semua orang menutup telinga masing-masing.

 

"Keparat," maki Pak Otong kesal.

 

"Terima kasih, Mba Mala," ucap Otong ta'zim menatap Mala tersenyum. Mala tersipu, dia tertunduk.

 

"Ada serangan lagi, Pak. Awas," kini Pak Udin yang memberikan peringatan sambil melangkah mendekati Pak Otong.

 

"Keluarkan biji manik-manik kalian, dan Pak Abas, masih adakah air mantra itu?" ucap Pak Otong, terlihat memasang kuda-kuda bersiap melawan serangan itu.

 

"Habis, Pak," jawab Ustad Abas.

 

"Pakai minyak zaitun atau minyak misik yang sudah dirukiah saja, Pak," Pak Haji Hanif memberikan solusi.

 

"Terserah Bapak, yang penting kalian siapkan peralatan perang masing-masing."

 

"Awas, Lia!" teriak Mala yang melihat ada sekumpulan serangga yang akan menyerang Lia. Refleks Pak Setiawan melangkah mendekati Lia dan menarik tangan putrinya.

 

"Tenang, Pa," ucap Lia menatap Pak Setiawan.

 

"Bersiap semua," seru Pak Otong mengomandoi, mengangkat tangan kanannya ke atas dengan jemari mengepal. "Tuhan kami, berserah padamu Gusti yang Maha Kuasa. Bantu kami, tolong kami bisa mengalahkan kejahatan Sastro," teriak Pak Otong dengan suara kuat tapi bersahaja.

 

"Bismillahirohmanirohim," seru Ustad Abas yang juga memberikan semangat pada semua orang.

 

"Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar," teriak Riski, Ardi, Abi Tarno, dan Pak Haji secara berbarengan.

 

Tak lama kemudian terdengar sebuah tawa yang sangat pongah penuh kebencian. Semua orang mendengar tawa itu dengan pemikiran masing-masing.

 

"Keluar, penghianat," bentak Pak Otong sekuat tenaga.

 

"Otong. Otong. Otong. Nyali mu besar juga ya, tapi kenapa bawa pasukan segala?" seru suara yang belum menunjukkan diri.

 

"Semprul, keluar cepat, jangan kaya badut yang cuma bisa ngumpet di balik topeng saja. Keluar, penghianat, tunjukan dirimu," balas Pak Otong.

 

Sebuah serangan berupa asap hitam justru datang bagai gumparan angin topan yang siap menghabisi semua yang dilalui kumparan angin itu. Sekali lagi, refleks Mala memegang sapu tangannya yang dijepit peniti di depan dadanya, lalu dia membuka lebar sapu tangan itu, dan WUUSSHHH... Seberkas sinar biru menerangi sekeliling, dan terdengar sebuah dentuman keras yang melenyapkan kumparan hitam di kejauhan.

 

"Bagus, bocah ingusan," seru Pak Otong riang. Mala tersigap, tidak percaya dengan apa yang dia lakukan. Gadis ini menoleh ke Lia yang juga sedang memperhatikannya, tersenyum mengacungkan ibu jarinya.

 

"Awas, Pak," kini Pak Udin yang memberi tahu ada tiga buah bola api hitam yang meluncur dari dalam hutan. Semua orang tersigap menatapnya.

 

Lia menggosok-gosokan kedua belah tangannya sebanyak tujuh kali, lalu diarahkan kedua telapak tangannya ke arah datangnya bola api hitam itu, dan lagi-lagi dentuman keras terdengar memusnahkan bola api hitam itu.

 

"Keren, Li," kini Mala tersenyum.

 

"Kita berpencar, buat strategi masing-masing sesuai perintah saya tadi," seru Pak Otong yang bergeser tiga langkah menjauh dari Lia dan Mala.

 

"Mala, gunakan sapu tangan itu dan ikuti kata hatimu," lanjut Pak Otong, menoleh memberikan instruksi pada Mala. Gadis berzodiak Pisces ini tersenyum manis ketika mendengar Pak Otong menyebut namanya, bukan "bocah ingusan" seperti biasanya.

 

"La, kita bersiap. Sepertinya serangga itu akan menyerang kita," ucap Lia yang melihat ribuan semut terbang ke arah mereka.

 

"Lo jagain Papa ya," pinta Lia yang bersiap-siap telah menggelangkan tasbihnya sambil membaca ayat kursi. Tapi tiba-tiba Lia menahan gerakannya, merogoh saku tas selempangnya, dan mengambil sebuah tasbih lagi yang berwarna biru muda, lalu memberikannya pada Pak Setiawan.

 

"Pegang tasbih ini saja, Pa. Gunakan bila Papa dalam posisi terjepit, atau boleh bantu Lia dan Mala," Lia menyodorkan tasbih itu, dan Pak Setiawan menerimanya.

 

"Terima kasih, Kak. Papa enggak bawa tasbih soalnya," jawab Pak Setiawan.

 

Mereka semua sudah bersiap untuk berperang melawan Ki Sastro dan pasukannya.


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar