Cincin Bermata Tiga Bagian 40

Table of Contents

Dalam kebisuan, tiba-tiba Mala berseru kaget, "Li, lihat itu di sana!" Tangannya menunjuk ke arah depan, di mana barisan pepohonan tampak bergoyang daunnya. Semua orang terkejut dan menatap Mala, lalu menatap ke arah tempat jari telunjuk Mala mengarah.

 

"Apa la?" Lia penasaran bertanya karena dia tidak melihat apa pun, hanya kegelapan dan desiran angin.

 

"Itu di sana, Li, coba fokus deh," Mala meyakinkan, masih memasang jarinya menunjuk ke arah yang dimaksud.

 

"Ada apa sih, La?"

 

"Emang apa yang Mba Mala lihat?"

 

"Kamu lihat apa, Mba Mala?"

 

Ucapan Pak Setiawan, Ustad Abas, Pak Haji Hanif, dan Abi Tarno bergantian menanyakan ada apa sebenarnya yang Mala lihat.

 

"Di sana, Om," kembali Mala menunjuk ke arah depan.

 

Pak Otong menoleh ke Mala, melihat Mala memakai sapu tangan birunya di kepala seperti memakai slayer di atas hijabnya.

 

"Kamu lihat apa, bocah ingusan?" tanya Pak Otong.

 

"Ada semut seperti yang gigit Alif tadi, tapi mereka membentuk formasi seperti sebuah pintu," jawab Mala menerangkan. Pak Otong terkekeh.

 

"Mb Alia punya peniti?" tanya Pak Otong menatap Lia. Lia menggeleng.

 

"Buat apa?" justru Mala yang bertanya.

 

"Jepit sapu tangan itu dengan penutup kepalamu biar tidak jatuh," jawab Pak Otong. Mala melirik sejenak, lalu dia merogoh saku celananya dan memperlihatkan sebuah peniti yang diambilnya.

 

"Dah, jepitkan sapu tangan itu dengan penutup kepalamu dengan peniti itu," perintah Pak Otong. Tanpa berkomentar, Mala memasangkan peniti di antara sapu tangan dan hijabnya.

 

"Kita bersiap, pasukan penghianat itu telah memasang kuda-kudanya membentuk formasi seperti yang dilihat Mba Mala," ucapan Pak Otong membuat Mala menoleh memelototinya, tapi ada senyum manis tersungging dari bibir tipisnya mendengar Pak Otong menyebut namanya, bahkan dengan sapaan Mba.

 

"Tapi, Pak, kenapa saya bisa melihatnya sedangkan semua orang tidak?" tanya Mala yang membuat Pak Otong terkekeh tak menjawab.

 

"Udahlah, terima saja, La. Itu keberuntungan loe. Sekarang loe harus ceritakan apa saja yang loe lihat," Lia yang menjawab pertanyaan Mala dengan memberikan sebuah permintaan. Mala tersenyum, mengangguk. Dalam hati, dia membatin, "Apakah ini efek dari sapu tangan ya?"

 

"Lihat, Pak, ada seekor kelelawar," seru Mala menutup mulutnya dengan sebelah telapak tangannya karena terkejut dengan bentuk binatang yang dilihatnya.

 

"Tapi, ih...serem banget, Pak," lanjutnya, mencengkeram lengan Lia. "Matanya merah sama kaya mata semut itu. Dia berkaki dengan kuku yang sangat panjang serta berduri juga. Setiap pinggir sayapnya juga berduri, sama giginya juga bertaring," Mala fokus menatap ke depan, menceritakan apa yang dilihatnya.

 

"Itu pimpinan para semut sialan," sela Pak Otong.

 

"Hati-hati, Pak, mereka semua menebarkan racun hitam mematikan dari setiap bagian tubuh mereka," tambah Mala yang bergidik menyaksikan keanehan di hadapannya.

 

"Kita mesti gimana, Pak?" Lia mulai terlihat gusar, takut dengan penjelasan Mala. Pak Otong mendesah. Lalu dia membalikan badannya ke arah Ustad Abas yang berdiri di belakangnya.

 

"Bapak masih punya air obat tidak?" tanya Pak Otong. Ustad Abas diam terpaku, tidak mengerti.

 

"Maksud saya, air yang sudah Bapak bacain mantra," Pak Otong berusaha menerangkan apa maksudnya.

 

"Oh, air rukiah, Pak," Riski yang menimpali. Pak Otong mengangguk. Tanpa berkomentar, Riski, Ardi, dan Ustad Abas segera sedikit berlari menuju mobil dan kembali membawa tujuh botol air rukiah.

 

"Ini, Pak," Riski menyodorkan botol itu pada Pak Otong.

 

"Buka tutupnya dan masukkan biji manik-manik kalian ke dalamnya sampai biji-biji itu basah keseluruhannya," perintah Pak Otong.

 

Pak Setiawan, Abi Tarno, Pak Haji Hanif, Lia langsung mengambil botol dari tangan Riski, Ardi, dan Ustad Abas, lalu mereka melakukan apa yang Pak Otong perintahkan.

 

"Baca mantra yang biasa Mba Lia suka baca," Pak Otong menyuruh lagi ketika kesemua orang akan memasukkan tasbih ke dalam botol.

 

"Mantra apa, Pak?" tanya Riski.

 

"Baca ayat kursi, Mas," singkat Lia menjawab, dan kesemua orang mulai melakukan apa yang Pak Otong maksud.

 

"Sekarang kalian minum," ucap Pak Otong memerintah.

 

"Bapak minumnya setengah saja, beri setengah lagi kepada Bapak itu," ucap Pak Otong pada Pak Setiawan sambil menunjuk ke Pak Udin dengan lirikan matanya.

 

"Mb Alia juga minumnya separuh saja, dan sisanya beri ke Mba Mala," lanjut Pak Otong.

 

"Pokoknya kalian atur supaya semua orang meminum air mantra itu," sambung Pak Otong yang kini telah membalikan kembali tubuhnya dan menatap ke depan. "Air itu kita gunakan sebagai penawar racun dari serangga sialan itu."

 

"Kok Bapak tidak minum?" Mala menjeda penjelasan Pak Otong.

 

"Bocah ingusan," dia terkekeh panjang, lalu menarik napas dalam memusatkan perhatiannya pada sesuatu.

 

 

Kembali ke dalam hutan, di mana Sastro telah memuncak kemarahanya, dia tengah mempersiapkan dirinya menyambut kedatangan adik kandungnya.

 

Selagi Ki Sastro akan memakai jubah hitamnya, tiba-tiba desiran angin dirasakannya, yang bertanda Ratu Cantika datang.

 

Ki Sastro menantinya dengan ta'zim, dan beberapa saat kemudian muncullah sosok Wanita berjubah hitam sambil tertawa. Suaranya yang melengking menjadi ciri khasnya.

 

"Ratu," singkat Sastro membungkuk ta'zim memberikan penghormatannya.

 

"Bangun, Sastro," perintahnya. Sastro kembali berdiri tegak menatap junjungannya dengan penuh tanda tanya.

 

"Mereka mau menyerang kita, Ratu," Sastro mengungkapkan ketakutannya.

 

"Aku tahu, itu sebabnya aku datang," jawab Ratu Cantika.

 

"Maksudnya?" tanya Sastro terus menatap sosok berjubah hitam di hadapannya.

 

"Kita harus kumpulkan kekuatan untuk melawan anak didiknya si tua renta itu, ditambah kekuatan lain yang membantunya," jelas Ratu Cantika membuat Sastro semakin tidak mengerti.

 

"Cepat minum air itu," Ratu Cantika menyodorkan segelas air merah pekat. Sastro yang mengerti maksud junjungannya lebih menatap lagi penuh tanya.

 

"Tapi, ini kan belum waktunya kita melakukannya, Ratu," protes Sastro. Wanita berjubah hitam itu menepiskan tangannya.

 

"Aku tidak peduli. Cepat minum dan berikan spermamu untukku," perintahnya sambil dia juga meminum air yang sama. Tanpa berkomentar, Sastro mengambil gelas tanah itu dan meneguk habis air di dalamnya.

 

Seketika itu juga tubuh Sastro berubah menjadi sosok lelaki yang sangat gagah tampan berkulit bersih dengan nafsu birahinya juga ikut memuncak. Sedangkan Ratu Cantika yang juga meminum air yang sama, setelahnya dia berubah menjadi sosok Wanita cantik seperti biasanya. Sastro langsung melangkah mendekat dan membopong tubuh itu melangkah menuju bilik di mana dia biasa melayani nafsu bejatnya.

 

Malam ini tidak seperti biasanya, Ratu Cantika meminta Sastro melakukannya dua kali dengan obat perangsang yang telah diraciknya hingga semua hasrat mesum itu tersalur, tidak kenal sebuah kata dosa.

 

Setelah puas keduanya lantas bergegas ke luar bilik. Ratu Cantika kini semakin mempesona, wajahnya manis dengan alis tebal juga mata bulatnya. Rambutnya yang tergerai bebas menutupi punggungnya terlihat hitam legam, sedangkan Sastro telah kembali menjadi sosok yang semula.

 

"Nah, Sastro, sekarang siapkan seranganmu. Aku akan membantumu dari sini," Ratu Cantika duduk di tumpukan tulang belulang.

 

"Ingat, habisi adikmu. Bikin mampus dia supaya dendamku pada si tua renta itu tuntas habis," lanjut Ratu Cantika. Sastro mengangguk, lalu dia memakai jubahnya kemudian mengambil tongkat, bersiap menyambut kedatangan Otong, adik kandungnya.

 

 

Kembali ke rombongan Lia.

 

Lama menanti, tapi tidak ada gelagat penyerangan dari lawan yang telah memasang kuda-kudanya.

 

"Gimana nih, Pak?" tanya Mala yang sudah tidak sabar, hanya berdiri memantau arah kejauhan. Pak Otong mendesah, menarik napas panjang, lalu dia membalikan tubuhnya.

 

"Ini baru jam tiga pagi. Apa masih bisa kalian ibadah malam untuk memperkuat kekuatan kalian sendiri?" ucap Pak Otong. Semua orang tertegun menatapnya, termasuk Lia dan Mala yang ikut membalikan badan.

 

"Maksud Bapak, sholat tahajud?" timpal Ustad Abas. Pak Otong mengibaskan tangan, mengangguk.

 

"Apa pun namanya, kalian harus meminta pertolongan pada Tuhan kalian, karena hanya itulah sumber kekuatan diri kalian. Pasrahkan pada keyakinan kalian bahwa Tuhan kalian akan selalu membantu kita," lanjut Pak Otong.

 

"Betul sekali itu, Pak," jawab Pak Haji Hanif tersenyum penuh wibawa.

 

"Sekalian menunggu waktu, jauh lebih baik kita tahajud dulu," sambung Pak Haji menolehkan kepala ke kanan kiri. Seakan mengerti maksud Pak Haji Hanif, Pak Otong menimpali.

 

"Apa kalian bisa ibadah di ruang alam terbuka seperti ini?" tanya Pak Otong.

 

"Bisa sih, Pak, tapi kita harus wudhu dulu," Mala merespon.

 

"Apa itu?" Pak Otong balik menjawab.

 

"Kita butuh air bersih untuk membersihkan diri kita sebelum sholat, Pak," Lia yang menerangkan.

 

"Oh, begitu," Pak Otong lalu menjentikkan tangannya, lalu menunjuk ke sebuah batu besar yang berada tidak jauh di samping kanannya, dan BYUUUR... dari permukaan batu itu muncrat air seperti sebuah air terjun. Semua mata terbelalak.

 

"Subhanallah," seru setiap orang menyaksikan apa yang dilihatnya.

 

"Seperti itu bisa kalian gunakan kan?" tanya Pak Otong menyapu pandangannya ke semua orang.

 

"Tenang, itu air alami, bukan ilmu hitam yang aku gunakan. Aku cuma mencari mata airnya dan mengeluarkannya dengan kemampuanku saja," jelas Pak Otong yang tidak ingin semua orang salah paham dengan apa yang dipikirkan, lalu dia melangkah menjauh, duduk bersila di atas barisan kerikil yang menutupi tanah di sekitarnya.

 

Pak Haji Hanif menarik napas panjang dan menghempaskannya.

 

"Bismillah, kita niatkan hanya karena Allah dan lakukan itu semua juga semata menyerahkan diri kita hanya kepada Allah," ucapnya lalu melangkah mendekati kucuran air dari permukaan batu, diikuti Ardi, Riski, Ustad Abas, Abi Tarno, dan Anto.

 

Pak Setiawan diam memperhatikan aktivitas semua orang rombongannya yang bergantian membasuh diri berwudhu dengan air pancuran itu.

 

"Papa, mau sholat juga enggak?" tanya Lia yang melihat papanya masih diam memperhatikan mereka yang sedang berwudhu.

 

"Papa mau bareng kamu dan Mala, sekalian ngejagain kalian," jawab Pak Setiawan.

 

Setelah semua orang selesai berwudhu, barulah Lia dan Mala yang ditemani Pak Setiawan melangkah ke air pancuran itu. Sebelum melangkah, Lia menoleh ke Taufik yang masih diam di tempatnya.

 

"Ayo, Om, berwudhu. Siapa tahu jauh lebih segar," ajak Lia. Taufik tersenyum getir, mengangkat bahunya, lalu dia malah melangkah mendekati Pak Otong yang sedang asyik menghisap lintingan lisonya.

 

Lia mendesah melihat kelakuan Taufik, lalu dia melangkah menuju ke air pancuran itu.

 

Beralaskan sebuah tikar plastik yang ada di dalam mobil mereka, semua kusyuk mengerjakan sholat malam lalu berzikir.

 

Mala yang telah selesai mengerjakan dua rakaat tahajud dengan satu rakaat witir dan juga telah berzikir, lalu mengambil ponselnya.

 

"Baru jam empat kurang lima belas menit, berarti setengah jam lagi subuh," ucapnya pada diri sendiri.

 

"Sapu tangan loe mana, La?" tanya Lia yang menoleh ke Mala dan tidak melihat Mala mengenakan sapu tangan itu.

 

Refleks Mala merogoh saku celananya dan memamerkan sapu tangan berwarna biru muda itu.

 

"Ini, tadi gue lepas pas mau wudhu," ucapnya lalu memasang kembali sapu tangan itu ke depan dada kirinya.

 

"Kok di situ pakainya, La?" kembali Lia protes bertanya. Mala menoleh, tersenyum.

 

"Suka-suka gue lah. Kan kata Pak Otong, gue kudu ikutin kata hati gue, bukan emosi dan ketakutan. So, di sini kan juga cantik, kaya bros gitu, Li," jelas Mala mengelus-elus sapu tangan itu. Lia hanya dapat menghela napas, mengangkat bahunya.


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar