Cincin Bermata Tiga Bagian 39

Table of Contents

Sepertiga malam telah tiba. Lia bersama rombongannya menjalani waktu di gerbang hutan jati yang tampak sangat misterius. Dari jarak 200 meter, sudah terlihat kerikil hitam menaburi jalan masuk ke dalam hutan. Pepohonan berderet dengan batang kokoh serta bonggol akarnya yang membentuk alur misterius menambah kecekaman suasana di gerbang hutan.

 

Rombongan Lia yang telah memutuskan Taufik untuk melangkah masuk ke dalam hutan terlihat tegang. Wajah-wajah mereka penuh ketegangan, mencari tahu dengan pikiran masing-masing tentang keberadaan hutan tersebut.

 

"Li, serem amat ya," ucap Mala sambil merangkul lengan Lia kuat. Lia menoleh dan tersenyum. "Santai saja, kita tidak sendirian kok," ujar Lia lembut memberikan sugesti.

 

"Tunggu, Pak!" seru Pak Otong menghentikan langkah Taufik. Taufik membalikkan sebagian tubuhnya menatap Pak Otong penuh tanya. "Kembali ke sini, Pak," perintah Pak Otong sambil mengangguk. Taufik pun berbalik badan, melangkah penuh lega sebab rasa ketakutannya memudar seketika, lalu ia kembali ke rombongan.

 

"Kok enggak jadi, Pak?" tanya Mala yang berdiri di samping Lia, sedangkan Lia berdiri di samping Pak Otong.

 

"Mereka sudah tahu kedatangan kita, sekarang kita tunggu saja kehadiran mereka," ucap Pak Otong tetap menatap lurus ke depan.

 

"Mb Alia dan yang lainnya, bersiaplah dengan gelang manik-manik kalian," perintah Pak Otong membuat semua orang merogoh saku mengambil tasbih mereka masing-masing.

 

"Bocah ingusan, kamu pegang terus sapu tangan itu dan gunakan dengan mengikuti kata hatimu, bukan emosi dan ketakutan. Sapu tangan itu akan banyak membantu kamu," ucap Pak Otong sambil menoleh ke Mala. Mala mengangguk sambil meremas-remas sapu tangan berwarna biru langit di tangannya.

 

Jauh di dalam hutan, setelah Taufik pergi, Ririn yang ditahan Ki Sastro diperlakukan dengan berbagai keanehan. Ketika matahari terbit, Ririn dimasukkan ke dalam penjara yang bertralis tulang-belulang dengan bau anyir yang sering kali membuat Ririn muntah. Dia hanya diberi makan satu kali sehari dan minum hanya disuguhkan sebotol air yang diberikan oleh Ki Sastro.

 

Sebelum masuk ke sebuah kamar tidur, terlebih dahulu Ki Sastro menyiram tubuh Ririn dengan seember air yang telah dicampur bunga beraneka rupa dengan wewangian yang sangat segar dan mengoda. Lalu, dia melemparkan sehelai kain hitam untuk menutupi seluruh tubuh Ririn. Setelah itu, Ki Sastro menyuruh Ririn untuk mandi sendiri.

 

Setelah Ririn selesai mandi, dia baru disuruh melayani nafsu bejat Ki Sastro. Ririn harus memuaskan keinginan Ki Sastro sebanyak tiga atau empat kali setiap malam. Setelah Ki Sastro puas, Ririn dimasukkan ke dalam ruangan tempat empat wanita lain yang sedang meringkuk tak berdaya. Mereka semua adalah korban kebejatan nafsu birahi Ki Sastro.

 

Kesemuanya adalah orang-orang yang meminta bantuan Ki Sastro untuk membalaskan dendam pada seseorang. Namun, karena kelicikan Ki Sastro, mereka harus menggantikan tumbal yang mereka tak sanggup berikan.

 

Bukan hanya sampai di situ, Ki Sastro juga melakukan kekejatan pada Nyai berjubah hitam yang kini menjadi junjungannya dan dia panggil Ratu Cantika.

 

Jauh kembali ke awal pertemuan Sastro dengan wanita berjubah hitam, setelah membantu wanita itu membunuh Mbah Maut dengan melempar keris beracun, wanita hitam itu membawa Sastro ke sebuah puncak gunung, tempat tinggal Ratu Cantika.

 

"Nah, Sastro, mulai sekarang kita akan jadi rekan kerja," ucap Ratu Cantika. "Aku akan selalu membantu semua kejahatanmu dan mengabulkan semua keinginanmu," lanjut Ratu Cantika. Sastro diam, hatinya riang dengan pernyataan wanita di hadapannya.

 

"Akan ku kembalikan kau ke tempat si tua renta itu dan akan kusebarkan berita bahwa kau bisa membantu orang yang akan membalaskan dendamnya," Ratu Cantika terus mengutarakan maksudnya, termasuk ucapan terima kasih atas bantuan Sastro yang diluar perkiraannya dengan melemparkan keris beracun yang membuat Mbah Maut tewas.

 

"Tapi semua itu tidak gratis," tandasnya, membuat Sastro penasaran. "Apa syaratnya, Ratu?" tanya Sastro.

 

"Carikan aku tumbal seorang bayi, paling besar umurnya harus di bawah tiga bulan, dan itu harus kau berikan ke aku setiap bulan purnama," jelas Ratu Cantika. Sastro diam berpikir.

 

"Anak bodoh," bentak Ratu Cantika melihat wajah Sastro. "Bukan kamu yang mencarinya, tapi pasienmu yang harus melakukannya," Ratu Cantika menggelengkan kepala. "Aku tahu, kamu itu bodoh dan bejat sama seperti bapakmu. Bedanya, otakmu itu kotor dan mesum," Ratu Cantika tertawa. Sastro tertunduk.

 

"Tatap aku, Sastro," perintah Ratu Cantika tegas, membuat Sastro mengangkat kepalanya dan menatap wanita tua yang memakai jubah hitam yang tegak berdiri di hadapannya. Tatapan mereka beradu, Sastro merasakan sebuah hawa aneh masuk ke dalam rongga matanya dan mengalir ke seluruh tubuhnya. Belum sempat Sastro menikmati sensasi itu, tiba-tiba Ratu Cantika melangkah mendekat dan memukulkan kedua bahu Sastro dengan telapak tangannya. Sastro menjerit kesakitan, serasa kedua bahunya tersengat listrik tegangan tinggi.

 

"Aduh!" jeritnya tak tahan memegangi bahunya yang berdenyut. Tapi sebelum Sastro bereaksi, Ratu Cantika segera bersiul, dan keluarlah ribuan serangga yang menyerupai lebah menyerang tubuh Sastro. Sastro ingin berlari, tapi kedua kakinya seakan terpaku disana hingga dia pasrah menerima serangan itu.

 

Diluar dugaan Sastro, ribuan serangga itu tidak menyakitinya, malah mereka menyemburkan cairan hitam hingga seluruh tubuh Sastro bermandikan cairan hitam itu, dan tak lama Ratu Cantika kembali bersiul, membuat seluruh serangga itu lenyap.

 

Lagi-lagi Sastro terpukau dan ingin mengatakan sesuatu, tapi Ratu Cantika buru-buru melemparkan sebuah tulang sebesar ruas jari telunjuk yang tepat masuk ke dalam mulut Sastro yang sudah terbuka ingin mengatakan sesuatu. Sastro diam, refleks dia menutup mulutnya.

 

"Buka mulutmu," perintah Ratu Cantika. Sastro melakukannya, dan seketika itu Sastro muntah mengeluarkan darah merah segar yang cukup banyak. Ratu Cantika tertawa lepas, suaranya melengking memekakkan telinga.

 

Sastro yang lunglai nyaris terhuyung tiba-tiba tubuhnya mendadak menjadi ringan, dan dia mampu melayang di atas tanah. Sastro riang menikmati apa yang dia dapati.

 

"Turun, anak bodoh," sentak Ratu Cantika, dan Sastro pun menjejakan kembali kakinya ke tanah. "Sebentar lagi kekuatan dirimu akan lebih meningkat lagi," ucap Ratu Cantika tertawa dengan ciri khasnya, yaitu lengkingan suaranya.

 

"Nah, sekarang segera kamu mandi sebersih mungkin, lalu temui aku di sana," Ratu Cantika menunjuk ke sebuah bilik yang tak jauh dari keberadaan mereka sekarang dengan lirikan matanya. Sastro diam, menatap Ratu Cantika.

 

"Anak bodoh," bentaknya dengan melemparkan sebuah sarung berwarna hitam. "Pakai ini setelah kau mandi, lalu temui aku di tempat itu, bodoh," perintahnya sambil mengomel. Tanpa berkomentar, Sastro lalu berdiri, melangkah mengerjakan perintah Ratu Cantika.

 

"Sebelum kau mandi, minum terlebih dahulu air yang ada di dalam botol hitam di pinggir tempayan," jelas Ratu Cantika yang melihat Sastro berjalan menuju sebuah bilik kamar mandi.

 

Sampai di sebuah bilik yang terbuat dari batang pohon yang hanya dipagari kain hitam, Sastro mengamati situasi di sekitarnya lalu dia segera masuk. Dilihatnya ada sebuah botol hitam, dia langsung mengambil botol itu, membuka tutupnya, dan meneguk hingga habis air di dalamnya, lalu dia mulai mandi.

 

Setelah mandi dan berada di luar kamar mandi, dia merasakan dirinya seperti mendapatkan kekuatan gaib yang dia sendiri tak mampu menceritakannya. Badannya segar, seolah seluruh kekuatan dirinya kian kuat. Selain desiran darahnya mengalir lebih teratur ke seluruh tubuhnya, seluruh inderanya berfungsi jauh lebih peka lagi. Dengan hanya memakai sarung, Sastro tersenyum puas.

 

"Yes!" serunya, menjejakan kaki, dan bersamaan dengan itu, tanah di sekelilingnya bergetar. "Yes, yes, yes!" dia menari memutarkan tubuhnya, membuat angin bertiup lebih kencang, bahkan seolah angin topan. "Mantap!" soraknya, lalu dia mencoba meninju sebuah batu besar yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Sebuah dentuman keras terdengar memekakan, bersamaan dengan batu itu hancur. Lagi-lagi Sastro melompat kegirangan, tapi justru tubuhnya melayang terbang. Kesempatan ini tak disia-siakan, dia mengibaskan tangannya ke segala arah, dan setiap desiran angin yang keluar berubah menjadi buliran hitam yang menyala.

 

Sastro belum puas dengan semuanya, dia mencoba bersiul lagi, dan lagi-lagi suara siulannya membuat barisan serangga yang menyerupai kumpulan lebah hitam datang mengerumuninya, lalu mengikuti ke mana pun Sastro bergerak, bahkan kekuatan Sastro kini bertambah kuat dengan bantuan desiran angin dari ribuan serangga itu. Dia mencoba beberapa gerakan lain yang membuat keajaiban tersendiri dirasakannya, seolah ingin menikmati kehebatan dirinya sendiri, dia tetap terbang berkeliling dengan melakukan apa yang dia mau, penuh suka cita. Namun, keasyikan terusik oleh seruan Ratu Cantika.

 

"Cukup, anak tolol," Sastro tersentak, lalu dia terbang kembali ke tempat di mana Ratu Cantika menunggunya. "Sebelum masuk, minum dulu air di dalam gelas itu," suara Ratu Cantika dari dalam bilik terdengar sedikit aneh bagi Sastro, ya bagaimana tak aneh, selama ini suara itu melengking seperti suara seorang nenek-nenek renta, tapi kali ini suara itu sangat lembut, seolah itu adalah suara seorang gadis belia.

 

Sedikit terperangah, Sastro diam, membayangkan sesuatu, ingatannya kembali pada gadis kembang desa di masa mudanya. "Lekas, jangan malah menghayal," sentak suara itu lagi, membuyarkan hayalan Sastro, lalu dia meraih sebuah gelas tanah yang berisi air berwarna merah menyala dengan aroma yang mengugah selera. Tanpa berpikir panjang, Sastro meneguk habis seluruh isi gelas itu, dan meletakannya kembali di tempat semula. Entah air apa itu, yang pasti tiba-tiba Sastro merasa tubuhnya panas, darahnya seakan lebih deras mengalir, detak jantungnya pun lebih cepat berdenyut, dan yang lebih dahsyat adalah alat kelaminnya mendadak ingin mengeluarkan sesuatu.

 

"Cepat masuk," suara lembut itu menambah gairah Sastro semakin bergelora, langkahnya lebar membuka tirai hitam, betapa terkejutnya Sastro ketika melihat seorang Wanita cantik dengan tubuh moleknya, Wanita itu tersenyum, matanya yang jahil manja memanggil Sastro, Wanita itu hanya mengenakan sehelai kain hitam yang menutupi tubuhnya.

 

Tak mau gegabah Sastro bertanya, "Si...siapa kamu?" Suaranya terbata. Wanita itu tersenyum, bahkan kali ini senyumnya semakin membuat desiran darah Sastro mendidih. "Aku Ratu Cantika," singkat dia menjawab sangat lembut. Sastro masih tak percaya, dia menatap menyeledik ke seluruh tubuh Wanita yang telah berbaring di atas tumpukan akar pohon dengan dedaunan tertata rapi menutupinya, ditambah tumpukan jerami membuat tempat itu seolah seperti ranjang.

 

"Tapi, Ratu, apa maksudnya?" tanya Sastro masih tak mengerti. Wanita itu tertawa kecil dengan suara yang sangat merdu seakan membuai Sastro. Dia sedikit membuka kain hitamnya hingga terlihat jelas lekuk tubuh atasnya dengan warna kulit bersih serta aroma wewangian yang sangat menyejukan.

 

"Lekas lakukan, setelahnya baru aku akan katakan semuanya," Ratu Cantika melambaikan tangan, dan Sastro pun mendekatinya lalu mereka melakukan perbuatan mesum itu.

 

Selesainya Ratu Cantika duduk bersila di atas ranjang dan telah mengenakan jubah hitamnya, tapi masih menyerupai seorang gadis cantik. Rambutnya yang hitam legam terurai menutupi punggungnya dan menyuruh Sastro duduk di hadapannya.

 

"Mulai saat ini setiap satu hari sebelum purnama tiba kamu harus temui aku dan lakukan seperti tadi," ucapnya. Sastro tertegun, pikiran serta otaknya masih terbuai dengan kenikmatan sesaat itu.

 

"Sudah cukup, Sastro, jangan meminta lagi padaku," Ratu Cantika memelototinya, tetapi raut kecantikan wajahnya masih menggoda Sastro. Ditambah wangi sekujur tubuhnya serta harum rambutnya membuat Sastro masih ketagihan untuk memintanya kembali.

 

"Aku mau lagi, Ratu," lembut dia merajuk meraih lengan Ratu Cantika.

 

"Dasar otak mesum," bentak Ratu Cantika dengan menampar pipi Sastro. Sastro terkejut memegangi pipinya yang terasa sedikit berdenyut, tapi kini pikiran mesumnya hilang seketika.

 

"Aku butuh kepuasan seperti ini untuk memperkuat tubuhku, makanya ingat setiap satu hari sebelum purnama kamu harus melakukan seperti tadi, dan pas bulan purnama penuh kamu harus memberikan tumbal bayi padaku," jelas Ratu Cantika.

 

"Sampai kapan Ratu akan secantik ini?" Sastro menatap wajah Ratu Cantika seakan dia tak ingin Wanita cantik di hadapannya berubah kembali menjadi seorang Wanita tua. Ratu Cantika tertawa lepas.

 

"Aku akan cantik selamanya jika tumbal yang kau berikan tepat pada waktunya, serta kau akan terus melakukan seperti tadi di waktu yang aku telah tentukan," tawanya semakin riang.

 

"Tapi, Ratu, gimana kalau aku sedang ingin..." Sastro bertanya tapi dia tak melanjutkan perkataanya, Ratu Cantika semakin tertawa.

 

"Bodoh, otak mesum," sentaknya. "Cari Wanita lain untuk memuaskan nafsu bejadmu, yang penting jatahku hanya satu malam sebelum purnama tiba," katanya lalu dia mengambil sebuah tulang yang berada di samping kanannya. Lalu dia meniup tulang sebesar gagang sapu itu, dan seketika itu tulang itu berubah menjadi tongkat kayu hitam dengan ujung atasnya bermatakan tiga tengkorak berwarna merah lalu menyodorkan pada Sastro.

 

"Ambil ini dan aku akan mengantarmu ke tempat tua renta itu," Ratu Cantika berdiri mengibaskan jubah hitamnya. Desiran angin dirasakan Sastro sangat menyejukan, tapi tiba-tiba dari kibasan jubah itu keluarlah jubah lain yang sama persis dengan yang dipakai Ratu Cantika.

 

"Pakai itu, Sastro, dan bersiaplah dengan tugasmu yang baru," Ratu Cantika melempar jubah hitam itu ke arah Sastro yang tanpa berpikir serta berkomentar langsung mengenakan jubah itu.

 

Magic lagi-lagi dirasakan Sastro, kini tubuhnya semakin terasa ringan serta lebih bertenaga.

 

"Sekarang minumlah air itu," Ratu Cantika menunjuk sebuah gelas yang berada di tempat di mana tadi sewaktu Sastro juga meminum segelas air sebelum memasuki bilik Ratu Cantika. Lagi-lagi tanpa protes Sastro langsung melangkah mengambil gelas tanah liat itu dan menenggak habis air di dalamnya yang berwarna hitam pekat tanpa rasa. Sastro tersenyum setelah menaruh kembali gelas di tempat semula. Kini bukan hanya tubuhnya merasa ringan dan kuat, tapi penglihatannya kini mampu menembus batang pohon yang sangat besar dan melihat setiap jengkal isi batang pohon itu. Tak hanya sampai di situ, dia juga bisa menembus pandang lapisan tanah di bawahnya. Ya, kini Sastro sudah jauh lebih sempurna ilmu yang diturunkan oleh Ratu Cantika, dia merasa puas dan siap mencarikan tumbal seorang bayi untuk junjungannya dengan membuka praktek ilmu hitamnya.

 

"Nah, Sastro, pegang ini lalu pejamkan matamu," Ratu Cantika menyodorkan sebatang lidi ke arah Sastro. Sastro menurut perintah Ratu Cantika dan sekejap kemudian dia merasakan tubuhnya bergerak menembus sesuatu, dan beberapa saat kemudian suara Ratu Cantika kembali terdengar.

 

"Buka mata mu."

 

Sastro terbelalak ketika menyadari keberadaannya sekarang, yaitu kini dia sudah duduk di atas tumpukan tulang belulang di mana dulu Mbah Maut selalu menghabiskan waktunya untuk bersemedi. Sastro tersenyum puas.

 

"Terima kasih, Ratu," dia menunduk ta'zim.

 

Ratu Cantika tak menggubrisnya, dia mengibarkan jubah hitamnya lalu mengibaskan ke segala arah, dan seketika itu seluruh ruangan berubah. Kini hanya terlihat ruangan kosong dengan alas tulang belulang serta barisan botol yang berisi air berwarna merah darah.

 

Meski terbelalak dengan kesemuanya, tapi Sastro tersenyum pongah.

 

"Nah, Sastro, sekarang sudah waktunya kamu beroperasi, ingat syarat yang aku minta," ucap Ratu Cantika menatap Sastro. Sastro mengangguk, lalu desiran angin menyelimuti seluruh ruangan, dan sekejap itu pula sosok Wanita berjubah hitam itu lenyap. Mulai sejak itu, Sastro melancarkan praktek kejahatannya, ditambah otaknya yang mesum membuat nafsu birahi Sastro memuncak ketika ada seorang Wanita cantik meminta bantuannya. Dengan kelicikannya, dia memanfaatkan Wanita itu untuk melepas syahwatnya, termasuk Ririn.

 

Sepertiga malam ini, Ki Sastro baru saja memuaskan nafsunya dengan Ririn, dan ketika dia kembali ke peraduan tempat duduknya, betapa terkejutnya dia melihat cermin yang berada di dasar air dalam baskom tanah liat itu menampilkan wajah Otong adiknya dengan beberapa orang yang telah berdiri di tak jauh dari gerbang hutan.

 

"Bangsat, bajingan keparat," makinya sambil melempar salah satu tulang belulang di dekat kakinya, dan seketika itu sebuah dentuman keras memekakan telinga terdengar.

 

"Keparat..." emosinya memuncak, dan sekali lagi dia melemparkan sebuah tulang ke segala arah, dan lagi-lagi dentuman keras terdengar ketika tulang tersebut jatuh ke tanah.

 

"Keparat kau, Otong, kita selesaikan urusan yang masih tertunda," omelnya lalu menjentikkan jemarinya sebanyak tujuh kali, dan bermunculanlah ribuan semut hitam berantena dan bermata merah darah.

 

"Habisi bangsat itu hingga tuntas tanpa bersisa," perintahnya lalu mengibaskan tongkat hitamnya, dan ribuan semut itu menghilang.


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar