Cincin Bermata Tiga Bagian 38

Table of Contents

Suasana menggigit kulit itu dirasakan Sastro. Bulu tengkuknya merinding, sementara nyanyian di perutnya semakin melilitkan semua ususnya. Sastro masih diam, menutup telinganya karena suara tawa wanita berjubah hitam di hadapannya masih memekakkan telinganya. Sastro berusaha menatap sosok yang mirip nenek sihir di negeri dongeng itu. Mata bulatnya menyala merah, dengan hidung mancungnya serta bibirnya yang tipis. Tapi, kesemuanya jelas tersirat kebengisan. Aura kejahatan juga Sastro rasakan dari sorot matanya.

 

Sejenak, wanita itu diam. Dia balik menatap Sastro dengan sorot menyelidik.

 

“Anak kunti, kenapa kamu berkeliaran di wilayahku?” ucap wanita itu penuh emosi. Sastro mengangkat kedua bahunya, tersenyum getir.

 

“Anak gemblung!” sentak wanita berjubah hitam sambil menunjuk hidung Sastro dengan tongkat hitamnya. Sastro mundur beberapa langkah, tapi kakinya terantuk bonggol pohon dan membuatnya jatuh tersungkur. Hidungnya mencium tanah, dan di saat itu juga, wanita hitam mengetukkan tongkatnya ke punggung Sastro, membuat tubuh Sastro melayang. Wanita itu tertawa lepas sambil memainkan tongkatnya yang membuat tubuh Sastro melayang searah dengan ayunan tongkat.

 

“Anak kunti, ini menarik juga ya….” Hardiknya terus menggoyangkan tongkatnya.

 

“Turunin aku!” teriak Sastro berulang kali karena dia merasa mual diperlakukan seperti ini. Teriakan Sastro tak dipedulikannya. Justru, wanita itu malah lebih cepat memainkan tongkatnya, menggoyangkannya ke segala penjuru, yang membuat tubuh Sastro mengikuti arah tongkat hitam berujung kepala tengkorak itu bergerak.

 

“Ampun. Ampun. Ampun, turunin aku!” pinta Sastro berteriak. Tapi, suaranya lambat laun semakin parau, terserap kekuatan gaib yang menyelimuti tubuhnya.

 

“Diam anak keparat!” bentak wanita berjubah hitam sambil menghentakkan tongkatnya dan PRAK, tubuh Sastro jatuh tersungkur mencium tanah. Sastro mencoba bangkit, tapi entah mengapa dia merasakan tubuhnya teramat berat hingga sulit digerakan. Untuk mengangkat kepala saja Sastro tak mampu, apalagi sampai duduk. Akhirnya, dia hanya pasrah teronggok mencium tanah.

 

Wanita berjubah hitam itu masih tertawa, tapi kini nada tawanya berubah iramanya. Dia tertawa seakan puas melihat sosok manusia yang teronggok tak berdaya di hadapannya.

 

“Aku lapar,” lirih Sastro berusaha mengucapkan sesuatu.

 

“Sudah hampir seminggu aku tidak diberi kesempatan sama Mbah Maut untuk makan,” lanjut Sastro yang mencoba mencari rasa simpatik dari wanita berjubah hitam itu.

 

Mendengar nama Mbah Maut, raut muka wanita itu berubah menjadi sebuah kebencian.

 

“Si Maut renta!” pekik wanita itu membuat Sastro sedikit mengoyangkan kepalanya tanda membenarkan ucapannya.

 

“Si renta keparat!” maki wanita itu lalu dia mengoyangkan tongkat hitamnya membuat tubuh Sastro bisa duduk. Sastro merasa sedikit lega. Dia berusaha menarik napas dalam.

 

“Aku haus dan lapar, Nyi,” lirih Sastro mengatakan keinginan perutnya.

 

“Anak kunti,” bentak wanita itu mengadahkan tangan dan meniupnya. Sekejap kemudian, muncullah sepiring nasi lengkap dengan lauknya di atas telapak tangannya. Mata Sastro terbelalak menyaksikan magic kejadian di hadapannya, seolah seperti dia sedang menonton pertunjukan sulap.

 

“Anak kunti, cepat kamu makan dan ceritakan apa hubungannya kamu sama aki renta itu,” ucap wanita berjubah hitam sambil menyerahkan sepiring nasi di tangannya pada Sastro. Tanpa berpikir panjang, Sastro menerimanya dan langsung makan dengan lahapnya.

 

Tak butuh waktu lama, Sastro telah menuntaskan semua isi piring. Belum sempat Sastro berkata apa pun, wanita berjubah hitam itu membentaknya.

 

“Cepat ceritakan aki-aki yang uzur itu.” Sastro menelan ludah. Dia menarik napas dalam lalu mulai bercerita soal kedatangannya ke Mbah Maut bersama adiknya. Serta, diceritakan semua perlakuan Mbah Maut padanya, yang pasti dilebih-lebihkan karena Sastro menangkap ada kebencian dari sorot mata wanita berjubah hitam di hadapannya. Akhirnya, Sastro menyelesaikan ceritanya setelah dia juga mengatakan bahwa Mbah Maut telah menurunkan ilmunya pada adiknya, sedangkan dia tak dianggap.

 

“Anak kunti,” sentaknya sambil menggoyangkan tongkatnya.

 

“Apa kamu mau balas dendam sama si tua renta itu?” tanya wanita berjubah hitam itu memelototi Sastro. Tanpa berjeda, Sastro mengangguk.

 

“Baik, sekarang kamu kembali ke si tua renta itu dan suguhkan minuman ini ke dalam gelas yang biasa dia pakai,” terang wanita itu sambil menyodorkan sebotol air.

 

“Ingat, kamu sendiri juga harus minum bersamanya agar tak terlihat racun yang telah ku beri,” lanjutnya, membuat Sastro begidik karena dia berpikir akan meminum racun yang sama. Wanita itu tertawa.

 

“Jangan takut anak kunti,” semprotnya lalu dia memukul kedua bahu Sastro dengan tongkat hitamnya. Sastro merasakan ada sesuatu yang masuk mengalir ke tubuhnya.

 

“Telan ini anak kunti,” wanita itu mengoyangkan tongkat ke telapak tangan sebelahnya dan muncullah dua buah biji sebesar kacang hijau, tapi biji itu berwarna hitam. Sastro menatapnya tak mengerti.

 

“Ambil dan telan semuanya sekarang,” bentak wanita itu memelototi Sastro. Gemetaran tangan Sastro menerima dua biji hitam itu lalu memasukannya ke dalam mulut.

 

“Itu penawar racunnya, jadi kamu tak usah takut mati. Setelah si tua renta itu terkapar, lekas ambil keris yang ada di bawah tempat duduknya lalu pergi ke ujung hutan. Aku tunggu kau di sana,” perintah wanita itu lalu dia mengibaskan tongkatnya dan desiran angin pun melenyapkan dirinya dari hadapan Sastro.

 

Sepeninggalan wanita berjubah hitam, Sastro merasakan perbedaan yang terjadi dalam tubuhnya. Dia merasa lebih ringan serta pandangan matanya seolah dapat menembus batang-batang pohon yang berjajar. Sastro berdiri. Dia menegakan tubuhnya, menoleh ke kanan kiri dan menatap lurus ke depan. Sedikit bingung, dia menentukan ke mana arah ingin kembali ke tempat Mbah Maut.

 

“Aku lewat mana ya?” tanyanya pada diri sendiri yang masih menoleh ke kanan kiri ingin menentukan arah mana yang diambilnya. Tiba-tiba, kakinya tersengat sesuatu.

 

“Aduh,” pekik pelan Sastro menunduk mengusap telapak kakinya yang terasa sakit.

 

“Semut ini lagi,” ucapnya ketika matanya melihat seekor semut yang menatapnya.

 

“Ikuti aku Sastro,” semut itu berbicara membuat Sastro melengo.

 

“Gi gimana caranya aku ngikutin kamu?” tanya Sastro yang belum paham apa maksud semut itu.

 

Sang semut tiba-tiba terbang. Kini, dia menyerupai seekor lebah. Sastro tersigap lalu dia melangkah mengikuti arah semut itu terbang.

 

Di dalam ruangan, tampak Mbah Maut sedang duduk bersila menatap sebuah benda tanah liat yang mirip baskom yang terisi air.

 

“Otong,” panggilnya. Otong yang sedang berada di luar ruangan sedang memotong dahan kayu untuk membuat kayu bakar segera menghampiri.

 

“Ada apa Mbah?” tanya Otong yang langsung duduk di hadapan Mbah Sastro.

 

Lelaki tua itu segera menundukan kepalanya, menengok ke bawah singgahsananya lalu dia merogoh tangannya ke dalam lubang yang ada di sana.

 

“Simpan ini dan lekas kau tinggalkan tempat ini,” perintah Mbah Maut memberikan sebuah keris bermata tiga yang menyala merah.

 

Otong menatap benda itu takjub, seakan terhipnosis oleh cahaya yang terpancar dari ketiga mata di ujung keris.

 

“Ambil Otong!” sentak Mbah Maut membuat Otong langsung menerima keris itu.

 

“Tiup ujungnya bila kau tidak mau menggunakannya dan tiup juga bila kau ingin mempergunakannya,” Mbah Maut menerangkan sesuatu. Otong menyimak ta’zim lalu mencobanya. Dia meniup tiga kali ke arah ketiga mata di ujung cincin dan BLUSH. Keris itu sekarang berubah menjadi sebuah tongkat hitam bermata tiga di ujungnya. Tongkat itu hanya sebesar ruas jari telunjuk hingga mudah disimpan di saku.

 

“Bagus,” ucap Mbah Maut senang.

 

“Sekarang, cepat kamu tinggalkan tempat ini tanpa membantah,” lanjut Mbah Maut mengibaskan tangannya.

 

“Tapi Mbah…” Otong ingin bertanya pada sesuatu yang menurutnya terasa ganjil.

 

“Bocah edan, cepat pergi. Tinggalkan tempat ini sejauh mungkin,” bentak Mbah Maut menggoyangkan tubuhnya hingga terasa gempa kecil di sekelilingnya.

 

Otong tak mampu berkata apa pun. Dia bangkit berdiri, berjalan meninggalkan Mbah Maut. Meski berjuta pertanyaan melesat di benaknya, tapi Otong tetap memilih pergi.


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar