Cincin Bermata Tiga Bagian 37

Table of Contents

Otong dan Mbah Maut telah menyelesaikan permainannya. Keduanya tampak bersuka cita dari semua hal yang mereka lakukan. Kini, mereka sedang duduk bersila di tepi sungai kecil. Airnya masih tampak jernih tanpa polusi sampah, langit cerah dengan aneka bentuk awan yang berarak, ditambah kicauan burung yang berterbangan.

 

“Otong, kamu sudah mewarisi dua pertiga ilmuku,” ucap Mbah Maut menatap air yang mengalir. Otong ta’zim mendengarkan.

 

“Kata semua orang aku ini bengis, menakutkan, dan penuh misteri. Padahal, aku adalah manusia biasa yang Gusti Allah ciptakan,” lanjutnya. Nada suaranya sangat bijaksana, penuh wibawa, bertolak belakang dengan kesaharian yang selama ini Otong rasakan.

 

“Aku ingin memiliki seorang murid yang berhati putih seperti dirimu,” sambungnya. Otong setia mendengarkan petuah Mbah Maut yang telah menurunkan sebagian ilmunya.

 

“Sudah ribuan orang datang, tetapi kesemuanya berhati sesat. Jadi, aku terbius untuk sesat juga,” Mbah Maut terkekeh panjang.

 

“Sekarang, Gusti Allah mengirimmu. Makanya, aku tahu bahwa umurku pun tak akan lama lagi,” raut kesedihan terpancar di muka Mbah Maut.

 

“Otong, kamu harus ikuti kata hatimu. Jangan terpancing sesat seperti bapakmu,” Mbah Maut menoleh ke Otong. Otong juga menoleh sehingga mereka saling bertatapan. Otong merasakan sebuah desiran angin memasuki kedua bola matanya.

 

“Kalau aku mati, kamu harus melewati sebuah proses hingga kamu menjadi orang baik,” lanjut Mbah Maut.

 

“Proses?” desis Otong yang tak mengerti.

 

“Ya, hanya sebuah cinta yang akan membuatmu melewati masa tersulitmu untuk menjadi orang baik,” sambung Mbah Maut menarik napas dan menghembaskannya.

 

“Nah, Otong, sekarang buka bajumu. Kenakan sempakmu saja,” perintah Mbah Maut. Otong menoleh menatap tak mengerti. Mbah Maut terkekeh, tapi matanya melotot seakan memberikan ketegasan perintahnya.

 

Otong tak menjawab, meski penasaran, dia tetap melakukan apa yang Mbah Maut perintahkan. Dia bergeser beberapa langkah ke samping dan melepaskan pakaiannya. Lalu, dia menaruhnya di atas tumpukan akar pohon dan melangkah kembali ke samping Mbah Maut.

 

“Berdiri di hadapanku,” pinta Mbah Maut ketika Otong telah melepas semua pakaiannya. Dengan sedikit sungkan, Otong melangkah ke depan Mbah Maut.

 

“Menghadap ke arah sungai, belakangi aku,” ucapnya memerintah karena Otong berdiri menghadapnya. Segera, Otong membalikan badan membelakangi Mbah Maut yang masih duduk bersila santai. Mbah Maut meniup punggung Otong lembut, penuh kekuatan magis yang dirasakan Otong. Dia seolah mendapatkan kekuatan dingin yang mengalir di seluruh tulang belakangnya. Bahkan, Otong juga merasakan aliran darahnya kini berpacu dengan teratur melewati seluruh tulang belakang di sekujur punggungnya. Namun, selagi Otong menikmati sensasi itu, BRAK, sebuah benda tak kasat mata tepat menghantam kepala belakangnya, membuat tubuhnya limbung dan tersungkur.

 

“Bangun Otong!” bentak kasar Mbah Maut. Tetapi, Otong merasakan kepalanya sangat berat dan berdenyut sakit luar biasa. Dia meringgis memegang kepalanya.

 

“Bangun Otong!” hardik Mbah Maut sambil mengambil sebatang lidi yang terselip di telinganya.

 

Susah payah Otong berusaha bangkit. Namun, sebelum Otong benar-benar berdiri tegak, Mbah Maut melemparkan lidi itu tepat ke arah mata kanan Otong. Beruntung, Otong sempat memiringkan kepalanya sehingga lidi tersebut lolos menancap ke sebuah batu yang terletak di seberang sungai. Batu itu hancur rata dengan tanah, bahkan ada lubang besar menganga di mana batu tadi berada.

 

Otong terbelalak. Dia menghembuskan napas lega ketika berpikir bagaimana kalau tadi lidi itu menancap matanya. Belum sempat Otong bertindak apa pun, tiba-tiba sebuah benda berbentuk cincin yang jumlahnya tak terhitung menyerangnya bak kumpulan lebah yang akan menyengat tubuh Otong yang memang tak ada selembar benang pun menutupinya kecuali celana dalamnya.

 

Otong menghentakkan kakinya mencoba melawan tanpa berpindah tempat. Tetapi, ribuan cincin itu kini berpencar membentuk formasi seperti sebuah belati yang siap menikam tubuh dan menyerang Otong dari segala arah. Tak kuasa menghindar, akhirnya Otong terjun ke dalam sungai. Dia merasa lega terbebas dari ribuan cincin bak kumpulan lebah yang masih menanti Otong di atas permukaan air. Namun, belum sempat Otong berenang ke tepi sungai, ada seekor binatang yang menyerangnya dari dalam sungai. Binatang itu menyerupai seekor gurita, tapi dalam bentuk yang besar. Kepalanya hampir menutupi permukaan sungai, bagaimana bila kaki seluruh gurita itu menyeruak keluar. Otong yang panik sempat menoleh memperhatikan binatang aneh itu. Dalam benaknya, dia tak percaya bila di sungai ada gurita. Selain itu, matanya terbelalak ketika pandangannya memperhatikan kaki gurita yang ternyata berupa sebuah keris raksasa yang siap menikam mangsanya, yang jelas itu adalah dirinya. Otong panik. Dia sekuat tenaga berenang menuju tepi sungai. Upayanya berbuah hasil dengan kemampuan penuh, akhirnya dia nyaris sampai di tepi. Tetapi, baru saja dia bernapas lega ingin naik ke permukaan, tiba-tiba kakinya seakan tersedot lumpur hidup. Otong tenggelam ke dasar sungai.

 

Tak hilang akal, Otong mencoba berenang dengan gaya tangan dikepak-kepakan dan kedua kakinya ditendang-tendang. Sekuat tenaga dilakukan itu hingga dia berhasil muncul di permukaan sungai. Napasnya tersengal, tapi dia merasa lega sudah berhasil melewati badai itu. Kini, Otong bisa leluasa naik ke daratan.

 

Mbah Maut bersiul dan muncullah ribuan keris sebesar jari telunjuk mengarah menyerang Otong yang masih basah kuyup.

 

Kali ini, Otong tak menunggu lama. Dia balik bersiul sambil memejamkan mata membayangkan sebongkah bola api raksasa dan WUUSS…. Dari siulan yang Otong keluarkan muncul sebuah bola api raksasa yang tingginya saja melebihi tubuh Otong. Bola api itu menyemburkan hawa panas membakar ribuan keris yang menyerang. Otong menjejakan kaki dan desiran angin menghempaskan bola api itu terlempar sejauh 100 meter dan menghanguskan semua rimbunan pohon tua yang berjajar.

 

Mbah Maut bertepuk tangan bersorak riang diselingi lonjakan layaknya bocah yang sedang menonton pertunjukan hebat.

 

“Bagus bagus bagus,” suka cita dia puas dengan perkembangan Otong.

 

“Legas pakai lagi bajumu,” perintahnya mengibaskan tangan dan duduk kembali.

 

Setelah memakai baju, Otong duduk di samping Mbah Maut.

 

“Otong, ilmumu sudah nyaris sempurna,” ucapnya tegas.

 

“Ikuti kata hatimu. Jangan tergerak dengan nafsu dan gunakan ilmu itu untuk jalan kebenaran,” Mbah Maut memberikan wejangan.

 

“Maaf Mbah,” sela Otong yang menoleh menatap Mbah Maut. Laki-laki sepuh itu melirik dengan sudut matanya.

 

“Kenapa Mbah justru menyuruh berbuat kebaikan bukan membantu dengan menjahati orang lain?” tanya Otong. Mbah Maut terkekeh panjang.

 

“Otong Otong Otong…” Mbah Maut masih terkekeh lalu dia menepuk paha Otong.

 

“Aku ingin menghadap Gusti Tuhan dengan satu kebaikan, nah itu adalah kamu,” ucapnya. Otong terperangah menatap Mbah Maut.

 

“Dari awal kedatangan si Bejo, aku yakin bahwa salah satu anak Bejo itu adalah anak yang baik. Dan ketika melihatmu, aku tambah yakin bahwa benar kamu itu yang akan mewarisi kebaikan aku,” jelasnya.

 

“Sekarang, tinggalkan hutan ini dan bergabunglah dengan manusia lain untuk melakukan kebaikan,” sambung Mbah Maut.

 

“Tapi Mbah…” sanggah Otong.

 

“Gimana aku ngejelasinya sama Bapak?” Otong mengutarakan ketakutanya pada reaksi Pak Bejo, ayahnya. Mbah Maut terkekeh lagi.

 

“Tidak sekarang juga kamu pergi. Kamu harus banyak berlatih sambil menunggu perkembangan kakamu,” lanjut Mbah Maut yang kemudian beranjak berdiri.

 

“Kita pulang sekarang,” ajaknya sambil melangkah. Otong mengikutinya.

 

Sastro yang benar-benar merasa kelaparan berjalan tak tentu arah. Rasanya dia sudah jauh melangkah, tapi belum juga dia menemukan sesuatu yang bisa dimakan.

 

“Hah…” umpatnya kesal dan menjatuhkan dirinya duduk di bonggol pohon. Matanya menyapu sekitar mengamati seluruh penjuru mencari keberadaan sesuatu yang bisa dimakanya. Tak ada yang membahagiakan dia. Dia mendesah mengangkat kedua bahunya. Tiba-tiba, kakinya terasa sakit tergigit sesuatu. Sastro mengusap punggung kaki kirinya dan mendapatkan seekor semut. Diambilnya semut itu dan diamatinya seksama.

 

“Aneh,” gumamnya sendiri ketika melihat bentuk semut itu. Semut yang ukuranya lebih besar dari seekor semut biasa dan semut ini berwarna hitam dengan antena merah menyala ditambah mata bulat dengan sorot tajam berwarna merah juga.

 

“Semut apa ini?” tanyanya sendiri.

 

Tiba-tiba, desiran angin dirasakan bersamaan sekelebat bayangan hitam menghempas beberapa kali.

 

Sastro tertegun menggelengkan kepala berulang kali ke kanan kiri mengikuti kelebatan bayangan hitam itu.

 

“Siapa kamu?” sentak Sastro penasaran dan WUSH… muncullah sosok wanita tua berpakaian hitam dengan tongkat hitam yang di ujungnya ada tengkorak hitam pula.

 

“Si si siapa kamu?” terbata Sastro ketakutan mengeser mundur letak duduknya.

 

Wanita itu tertawa lepas. Suaranya memekakkan telinga karena mirip priwitan yang tak berjeda. Sastro menutup kedua telinganya menatap ketakutan wanita berjubah hitam yang masih tertawa sambil sesekali mengoyangkan tongkatnya.

 

“Siapa kamu?” Sastro terus bertanya karena penasaran. 

Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar