Cincin Bermata Tiga Bagian 36
Mbah
Maut kembali ke peraduannya setelah menurunkan beberapa ilmu kanuragan pada
Otong yang diperintahkan untuk bersemedi. Lelaki renta ini duduk kembali di
singgasana tulang belulang. Dia berdehem, menatap Sastro yang masih duduk
bersila dengan mata terpejam serta kedua tangannya menggegam sebatang tongkat
kayu jati berwarna hitam legam dengan ujung berupa tengkorak kepala manusia.
"Fokuskan
lagi konsentrasimu, Sastro. Jangan ngelantur mikir yang lain," ucapnya
sambil mengambil sebatang lidi yang terselip di telinganya. "Aku tahu
selama aku tinggalkan, kamu masih ngelantur," lanjutnya dengan menunjuk ke
arah wajah Sastro dengan lidi yang dipegangnya. "Lekas kamu konsentrasi
atau lidi ini akan menusuk jantungmu."
Mbah
Maut membentak. Dia bisa tahu bahwa Sastro sebenarnya belum memulai petapaannya
seperti apa perintah Mbah Maut, tetapi dia tak berani menjawab apapun, terlebih
lagi dengan ancaman yang baru saja Mbah Maut ucapkan. Sastro menarik napas
panjang dan menghembuskan perlahan. Kini dia mencoba melakukan apa yang
diperintahkan Mbah Maut. Namun, tetap saja pikirannya masih melayang
kemana-mana. Dan yang paling parah adalah ingatannya pada Ningrum, wanita yang
membuatnya jatuh cinta. Siluet wajah ayu Ningrum tersenyum manis dengan lesung
pipinya, menatap Sastro manja. Bahkan siluet itu malah membentuk adegan mesum
yang selama ini Sastro dambakan, tetapi belum pernah sekalipun Sastro bisa bercumbu
dengan Ningrum, kembang desa yang sangat terkenal keayuan wajahnya. Tak sadar,
Sastro merasakan alat kelaminnya basah. Seketika itu juga, Mbah Maut marah
sejadinya.
"Bangsat!
Keparat! Anak mesum!" Makiannya penuh emosi. Lalu, dia berdiri mendekati Sastro
yang masih menikmati khayalan mesumnya.
PRAK!
Sebuah tamparan tepat mendarat di pipi kanan Sastro yang membuatnya gelagapan
dan berdiri. Terpatah-patah dia berusaha menerangkan, membela diri.
"Anak
setan!" Maki Mbah Maut lagi. "Kamu sudah mengotori singgasana itu
dengan pikiran mesummu." Lidi yang ditanganya tepat menyentuh kening
Sastro. Sastro merasakan seolah tersetrum listrik tegangan tinggi. Dia
mengejat, tetapi tubuhnya tetap tegak berdiri.
"Rasakan
ini, anak mesum!" Mbah Maut menancapkan lidi itu ke kening Sastro hingga
membuat Sastro jatuh tergeletak, mengepar. "Rasakan itu dan nikmati sampai
kesadaranmu pulih kembali. Baru lidi itu akan keluar dari jidatnya," omel
Mbah Maut sambil mengambil sebuah botol plastik yang berukuran setengah liter.
Tangannya membuka tutup botol itu dan menguyur tubuh Sastro yang masih
mengelepar. Seketika itu juga, tubuh Sastro berhenti bergetar dan diam, seolah
dia sedang tidur.
"Kalau
kamu masih mau jadi muridku, lekas konsentrasi. Pusatkan pikiranmu pada ilmu apa
yang mau kamu miliki," Mbah Maut mengomel sambil mengambil lagi botol
lain. Setelah membuka tutup botol itu, dia menyiram tempat di mana tadi Sastro
duduk. "Dasar anak mesum," omelnya sambil terus menyiram tempat itu.
Kembali
ke dalam mobil BRV. Pak Otong menghela napas, mengubah posisi duduknya. Lia dan
Mala pun melakukan hal yang sama.
"Kenapa
berhenti, Pak?" Tanya Mala penasaran.
"Bocah
ingusan, saya haus," omel Pak Otong, lalu mengambil sebotol air mineral di
samping kirinya, tepatnya di pintu mobil. Lalu, dia tenggak air itu. Lia
tersenyum, menepuk bahu Mala.
"Loe
penasaran ya, La?" Tanya Lia, melirik Mala yang menoleh menatapnya.
"Emangnya
loe enggak?" Balik Mala bertanya sambil mengangkat sebelah bahunya. Lia
tertawa kecil, memberi jawaban.
"Ayo,
Pak, lanjutin," sela Riski yang justru meminta Pak Otong kembali
bercerita. Pak Otong terkekeh, mengangguk.
Kembali
ke Surotong alias Pak Otong yang lagi bersemedi. Wajahnya terlihat santai,
seolah dia sedang tertidur pulas. Ada segaris senyum tersungging dari bibirnya
yang sedikit tebal, tetapi air mukanya tampak dia sangat berkonsentrasi dalam
ritualnya. Teriknya matahari tak membuyarkan konsentrasinya. Padahal jelas dia
berada di alam terbuka tanpa pelindung apapun. Ups, itu salah. Sebelum pergi,
Mbah Maut telah membuat rumah transparan untuk Otong bersemedi. Namanya
transparan, yang ya untuk kasap mata jelas tak terlihat. Sebuah sinar perak
berbentuk persegi empat yang memagari posisi Otong duduk.
Di
kesunyian itu, tiba-tiba WUSH! Sebuah bayangan datang mendekat ke arah Otong.
Dan desiran angin itu pun melenyapkan tirai transparan itu.
"Bagus,
Otong!" Mbah Maut berlonjak girang sambil bertepuk tangan. Laganya seperti
bocah yang baru saja mendapatkan sesuatu. "Bagus! Bagus! Bagus,
Otong!" Riang Mbah Maut terus bertepuk tangan, yang membuat Otong membuka
mata dan mengangguk ta'zim.
"Terima
kasih, Mbah," kedua tangannya disatukan di depan dadanya sebagai tanda
penghormatannya.
"Lekas
berdiri dan kejar aku," perintah Mbah Maut yang langsung berlari. Otong
pun berdiri, sedikit mengerakkan tubuhnya. Dia mengeliat sebentar, lalu
menyusul Mbah Maut.
Terjadilah
kejar mengejar seperti bocah yang sedang bermain. Tapi lama-kelamaan, keduanya
terlihat berlari di atas tanah. Sungguh pemandangan yang menakjubkan, karena
yang awalnya mereka hanya berlari saling mengejar, tapi kini ada banyak adegan
menegangkan yang mereka lakukan.
Mbah
Maut terus berlari. Sesekali dia mengangkat tangannya dan terbentuklah sebuah
tirai transparan yang membuat Otong tak bisa mengejarnya. Namun, entah kekuatan
darimana, Otong bisa menembus tirai itu. Ya, memang pada awalnya Otong sempat
menabrak tirai itu dan membuat tubuhnya terpelanting. Tetapi kejadian itu hanya
sekali, dan selanjutnya Otong leluasa menembus tirai yang tak hanya satu kali
dibentuk oleh Mbah Maut.
"Bagus,
Otong," seru Mbah Maut riang. "Sekarang rasakan ini!" Umpat Mbah
Maut yang menendang ke belakang hingga terbelahlah tanah di belakangnya,
membentuk jurang yang sangat dalam. Lagi-lagi, Otong sempat terjebak ke dalam
jurang transparan itu. Dengan segala perjuangan, Otong bisa kembali ke atas
tanah. Dan dengan menendang ke depan, jurang itu menutup kembali.
Mbah
Maut lagi-lagi bersorak riang, melompat-lompat membuat tanah bergetar seperti
gempa bumi. Keseimbangan Otong sempat membuat tubuhnya terhuyung, namun dia
menghela napas dan mengepakan kedua tangannya seperti burung terbang. Seketika
itu juga, tanah yang bergetar berhenti.
Belum
sempat Otong melangkah, tiba-tiba Mbah Maut meludah dan membuat lubang besar
yang di dalamnya ada cairan panas yang bergejolak. Cairan itu menyembur ke
atas, memuncerat ke mana-mana, termasuk menyerang ke arah Otong. Cairan merah
itu seperti terkendali, menyerang Otong dari segala penjuru. Posisi Otong
benar-benar terjepit. Hawa sangat panas dia rasakan, membuat keringat
membanjiri seluruh tubuhnya. Otong mendesah dan berdehem, lalu dia
mengerucutkan mulutnya dan seperti sedang meniup sesuatu, dilakukanya berulang
kali, membuat dadanya terlihat turun naik. Namun, cairan merah bergejolak itu
masih menyerangnya dari semua arah. Santai itu terlihat dari pembawaan sikap
Otong. Dia tak tampak panik sedikitpun, justru dia tersenyum meski peluh telah
memandikan tubuhnya. Otong memejamkan mata, berkonsentrasi, lalu dia menjejakan
kaki dan WUSH! Tubuhnya melayang setinggi 10 meter. Lalu, dikepakan kedua
tangannya, berpadu juga dia memutarkan tangannya hingga desiran angin keluar.
Otong semakin cepat menggerakan tangannya dan bersamaan dengan itu, sebuah
angin taufan terlihat keluar dari tubuh Otong dan WUSH! Gumpalan angin itu
melenyapkan kubangan cairan merah yang bergejolak sangking panasnya tanpa
berbekas.
"Bagus!
Bagus! Bagus!" Mbah Maut tampak senang bermain dengan murid yang satu ini.
Dia kembali berlari. "Kejar aku, Otong!"
Otong
menghela napas, menatap lurus ke depan. Dilihatnya Mbah Maut berubah menjadi
sebuah titik sinar emas yang bergerak tak menentu ke segala arah.
Otong
memusatkan pikirannya. Dia memejamkan mata, mengangkat dagunya dan menaruh
kedua tangannya di pundaknya. Seketika itu juga, tubuh Otong menghilang,
berubah menjadi sinar perak.
Kini
kedua sinar itu saling berkejaran tak menentu. Bahkan saling berlomba mengadu
kecepatan hingga sebuah dentuman keras terdengar dari pondok Mbah Maut.
Ternyata
di sana, Sastro sudah kembali siuman dan mencoba berdiri. Dia meraba jidatnya
dan sudah tak ada lagi lidi yang menancap di sana. Lalu, dia berjalan ke arah
singgasana yang tadi dia duduki. Tetapi baru saja dia ingin menempelkan
bokongnya, justru sebuah dentuman menghajar tubuhnya hingga dia terpental
sejauh 30 meter.
Sastro
mencium tanah. Dia mendarat dengan tubuh telengkup. Beruntung dia tak mengalami
apapun pada tubuhnya. Dia hanya terpental dan tersungkur di bawah pohon jati
yang sangat rindang.
"Sial,"
maki Sastro yang mencoba bangkit berdiri. "Kenapa tempat itu malah
meledak?" Umpatnya lagi sambil menolehkan kepalanya ke kanan kiri.
"Tempat sialan," makinya terus sambil memegangi perutnya yang terasa
lapar. "Lapar, ke mana aku nyari makan nih?" Gerutunya terus, menyapu
sekeliling dengan tatapan menyelidik. "Ke mana si Otong?" Ocehnya
sambil melangkah mencari buah-buahan hutan yang bisa menganjal perutnya yang
sudah melilit.
Kedua
bayangan itu tak mempedulikan suara dentuman itu. Kini justru keduanya terlihat
lebih kuat, menunjukan kemampuan diri untuk benar-benar sirna tanpa bekas,
tetapi masih tetap saling berkejaran.
Posting Komentar