Cincin Bermata Tiga Bagian 35
Pagi
tiba, rimbunan ranting dan dedaunan yang menutupi cakrawala tak mampu menahan
sinar surya yang memancar penuh kehangatan. Terlihat sosok tubuh terbang
melayang, membopong sosok lainnya. Tubuh mereka seakan seringan kapas, terbang
menembus celah dedaunan. Ketika melintas di sebuah padang yang tak begitu luas,
sosok yang dipanggul menepuk kedua bahu orang yang mengotongnya.
Surotong
menghentikan gerakannya, turun menjejakan kaki ke tanah. Mbah Maut gesit
melompat turun dari bopongan Surotong, tubuh rentanya mengeliat, mengepakan
kedua tangannya membentuk sayap seekor burung.
"Ikuti
gerakan aku, Otong," perintahnya, masih terus mengepakan kedua tangannya.
Tanpa menjawab, Surotong ikut melakukannya.
Dari
gerakan itu, Surotong merasakan seolah tangannya berubah menjadi beberapa
bagian. Dia merasakan tangannya kini bukan hanya ada dua, melainkan beribu
tangan yang dimilikinya.
"Bagus,
Otong," Mbah Maut bertepuk tangan, menghentikan gerakan Otong.
"Sekarang putar kedua tanganmu seperti baling-baling."
Otong,
yang tak pernah membantah, selalu cepat melakukan apa perintah Mbah Maut. Dia
memutar kedua tangannya 360 derajat, persis baling-baling. Tangan Otong memang
terlihat berputar terarah. Selama melakukan putaran tangannya, Otong merasakan
kedua tangannya semakin kuat. Ada otot-otot baru yang muncul dari semua sel
darahnya. Selain itu, Otong juga merasakan sekujur tubuhnya berubah menjadi
lebih kuat.
"Bagus,
Otong," Mbah Maut menatapnya puas. Tak berapa lama, dia bertepuk tangan,
menyuruh Otong berhenti.
Otong
menarik napas dalam dan dengan membusungkan dadanya, dia menghembuskan perlahan
oksigen dari dalam tubuhnya.
"Sekarang
kamu tendangkan kakimu ke depan dan ke belakang secara berirama," Mbah
Maut memerintahkan Otong untuk melakukan sebuah gerakan. Otong pun langsung
mengerjakannya. Tendangan Otong yang awalnya tampak berat dan tak terarah, lama
kelamaan lelaki yang telah menguncir rambutnya itu terlihat menikmati setiap
gerakan kakinya. Kini, Otong tampak ringan menendang ke depan, ke belakang, hingga
serasa dirinya melayang setinggi satu meter.
"Bagus,
Otong!" Mbah Maut terkekeh puas, sedikit bersorak. "Hebat kamu,
Otong. Tak sia-sia petapaanku selama ini." Mbah Maut berkata sambil
bertepuk tangan, memerintahkan Otong berhenti.
Otong
menjejakan kakinya, tersenyum puas. Dirinya juga merasa bangga dengan apa yang
baru saja dialaminya.
"Sekarang
tendangkan kakimu ke kiri kanan berirama," Mbah Maut memberikan
instruksinya lagi. Dan seperti biasanya, Otong segera melakukan apa perkataan
Mbah Maut.
Seperti
tadi, awalnya Otong merasa beban kakinya seperti tertimbun berton-ton batu. Dia
sulit sekali menendangkan kaki kanan kirinya ke samping. Benar-benar perlu
ekstra tenaga kali ini. Hal itu terlihat dari butiran peluh yang membanjiri
wajah Otong. Bahkan, tangannya pun ikut basah oleh keringat.
"Terus,
Otong! Kamu harus bisa melakukannya!" Hardik Mbah Maut yang melihat Otong
tampak kelelahan dan sedikit menurunkan tenaganya. "Pusatkan pikiranmu ke
arah kedua kakimu dan terus gerakkan dia seperti perintahku." Mbah Maut
memacu lagi semangat Otong dengan memberikan sugesti pada muridnya. Otong
menghela napas, lalu diam, memusatkan pikirannya. Dia menatap kedua kakinya dan
menepuk-nepuk pahanya sendiri. Setelahnya, dia kembali melakukan apa yang diperintahkan
Mbah Maut.
Awalnya
memang masih terasa amat berat kakinya. Perlahan, dia terus mencoba
mengerakanya. Dan perlahan pula kekuatan itu hadir dengan rasa ringan serta
leluasa. Otong melakukan gerakan tendangan kaki kanan kirinya ke samping.
Bahkan, terlihat Otong seperti terbang mengarah ke kanan kiri. Mbah Maut
berlonjak kegirangan sambil terkekeh macam bocah yang baru melihat sebuah
tontonan menarik.
"Bagus,
Otong! Bagus, Otong!" Serunya riang sambil terus bersorak tanpa tepuk
tangan. Hanya jingkrakan kakinya saja yang mengetarkan seluruh tanah di
sekelilingnya.
Tiba-tiba,
Mbah Maut berlari cepat mengelilingi Otong yang masih terus menendangkan kaki
kiri kanan ke samping. Gerakan Otong kini kian cepat dan terarah. Dan ketika
Mbah Maut berlari memutarinya, gerakan Otong justru berputar mengikuti arah
gerak Mbah Maut, tetapi masih dengan kaki yang menendang ke samping.
"Padukan
dengan gerakan tangan memutar," seru Mbah Maut, terus berlari memutari
tubuh Otong.
Kini
Otong bak baling-baling yang memang sedang bergerak. Perlahan tubuhnya melesat
cepat ke atas, menembus ranting dedaunan hingga patah. Setelah setinggi 25
meter, tubuh Otong kini berbalik, meluncur turun dan menghantam tanah di
bawahnya hingga berlubang. Otong masuk ke dalam lubang yang berdiameter sebesar
rentangan tangannya. Tubuh Otong melesat menembus bumi beberapa detik, lantas
melesat lagi ke udara. Tepukan tangan Mbah Maut menghentikan gerakan Otong.
"Hebat!"
Seru Mbah Maut bangga.
Laki-laki
sepuh ini melangkah mendekati Otong yang berdiri tegak dalam posisi kuda-kuda
yang sangat kokoh. Kedua tangannya tergegam, diletakkan di samping pahanya.
Dagunya diangkat dan tatapan matanya buas, bersiaga.
"Sekarang
coba kamu gunakan kekuatan untuk menghancurkan batu itu tanpa
menyentuhnya," perintah Mbah Maut, menunjuk sebuah batu besar yang
teronggok di hadapan mereka.
Jarak
batu dengan Otong berdiri sekitar 100 meter. Besar batu itu seperti gundukan
gunung berapi.
"Hancurkan
cepat, Otong! Tanpa kamu menyentuhnya!" Hardik Mbah Maut tak sabaran.
Otong mendesah, rahangnya bergemerutuk, dan kepalan tangannya semakin menguat.
Dia mengambil napas panjang, memejamkan mata, memusatkan pikirannya pada batu
yang ditunjuk Mbah Maut.
"Lekas,
cecunguk!" Bentak Mbah Maut yang tak sabar, karena Otong hanya terdiam
tanpa melakukan apapun.
Otong
terus memusatkan perhatiannya, tetapi dia belum mampu bertindak apapun untuk
menghancurkan batu besar itu yang menyerupai seekor gajah sedang duduk.
"Cepat,
keparat! Atau kau kubuat mampus sekarang juga!" Bentak Mbah Maut kasar,
yang tersulut emosi sebab Otong tak menjalankan kemauannya.
Sekali
lagi, Otong mengambil napas panjang dan menghembuskan sambil menjejakan kaki.
Sejurus kemudian, tubuhnya melesat menuju batu itu dan mengitari batu itu tiga
kali. Kemudian, dia mengepakan kedua tangannya dan menari di atas batu itu. Tak
lama kemudian, sebuah dentuman terdengar dan hancurlah batu itu rata dengan
tanah.
Mbah
Maut berlonjak kegirangan sambil ikutan menari dan bertepuk tangan.
"Bagus!
Bagus! Bagus!" Serunya riang.
Tak
berapa lama, Mbah Maut melangkah mendekati Otong.
"Duduklah,"
Mbah Maut menyuruh Otong duduk. Setelah dirinya duduk bersila, Otong mengikuti
tanpa berkata apapun.
Mbah
Maut membusungkan dadanya dan menatap tajam Otong yang balas menatapnya.
"Otong,
kini waktunya aku menurunkan ilmu tenaga dalam Aji Muktiku. Ini adalah Aji
andalanku yang sangat kubanggakan," ucap Mbah Maut ponggah. "Aku
memperdalam ilmu ini selama tiga purnama dan harus mati geni selama 40 hari.
Tapi kali ini, aku hanya meminta kamu mati geni selama satu bulan di tempat
ini," lanjutnya, menjelaskan bahwasanya Otong diperintahkan untuk
bersemedi di tempat ini. Otong mengangguk.
"Bagus.
Aku senang karena kamu tidak banyak omong seperti kakakmu," Mbah Maut
mengangkat ke atas tangan kanannya, dan seketika seluruh ruangan di sekeliling
mereka menjadi gelap. Seolah Mbah Maut mengunci ruang terbuka ini dengan
selimut gaib. "Nah, Otong, silakan memulai petapaanmu untuk menyempurnakan
mati genimu," lanjut Mbah Maut, mengangkat kedua bahunya dan berdeham.
Lalu, dia merentangkan kedua tangannya dan sinar keemasan menutupi seluruh
tubuhnya dan melenyapkan dirinya dari hadapan Otong yang telah memulai
petapaannya.
Posting Komentar